MOJOK.CO – Gagal lolos SBMPTN dan masuk perguruan tinggi favorit? Jangan cemas begitu, kawan. Jangan-jangan cemas itu cuma solusi saja.
Pada suatu hari di kosan yang pengap akibat banyak harap yang menguap, aku melihat beberapa kawanku bertafakur dalam gawai sembari ngelindur. Rupanya kawanku sedang fokus menutupi kehampaan dalam diri mereka. Penutup itu berupa pencarian informasi Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN) dan perguruan tinggi terbaik yang akan mereka masuki.
Ujian adalah cara mutakhir untuk lolos SBMPTN dan masuk kampus impian. Oleh sebab itu, ujian menjadi fantasi yang mendorong gairah belajar mereka.
Kulihat kawan-kawanku sibuk meneguk latihan soal hingga wajahnya keriput nyaris kehilangan akal, langit-langit sekolah penuh dengan impian mereka, langit-langit mereka kosong layaknya kecerdasan sekolah. Bayangkan saja, obrolan terkait SBMPTN dan perguruan tinggi terbaik sudah menjadi kosakata yang wajib dimuntahkan lidah setiap hari.
Lihat saja, di dalam kamar mereka berhamburan nama-nama perguruan tinggi yang menjadi impian, di dapur penuh bahan-bahan pembelajaran, di meja makan terhidang materi-materi ujian yang musti ditelan, entah apakah semua itu akan larut di toilet bersama kotoran.
Posisi perguruan tinggi favorit yang makin sakral
Layaknya pepatah, obrolan tentang perguruan tinggi idaman kian sakral wujudnya. Layaknya hadis Nabi, obrolan terkait perguruan tinggi menjadi dalil yang suci. Apakah kampus idaman itu adalah jelmaan surga firdaus di dunia? Atau jangan-jangan, kampus idaman itu tempat akhir dari kehidupan?
Aku tahu aku naif jika melihat sinis kawanku yang mendambakan lolos SBMPTN dan perguruan tinggi idaman, sebab aku sendiri juga demikian. Hari-hariku dituntun oleh materi-materi tes ujian, sampai-sampai saat aku terbayang almamater kampus impian saat bangun tidur, bahkan wajah para pengajar bimbel berubah menjadi messiah dalam mimpiku.
Kudengar informasi bahwa salah satu kawanku ditangkap oleh “polisi”, dia ditahan untuk “rehabilitasi diri” agar dapat masuk perguruan tinggi. Tak kusangka bahwa “polisi” yang menahannya adalah orang tuanya. Di sisi lain, ada kawanku yang mengalami overdosis belajar. Kebahagiaannya kering, penderitaannya besar. Sungguh ironis wujudnya. Jiwanya telah tiada sebab tertinggal di antara tumpukan soal SBMPTN. Ada juga kawanku yang semringah saat dia mempelajari materi ujian masuk perguruan tinggi. Keceriaannya penuh hingga tumpah di atas kartu peserta, rupanya dia ini manusia langka yang bisa belajar sambil menghayati diri.
Kenapa kami menginginkan kampus impian? Ada apa di sana?
Rupanya aku lebih disibukkan mencari jawaban pertanyaan ini ketimbang belajar menjawab latihan soal-soal ujian SBMPTN. Kesadaranku menuntut pikiranku tuk mengembara mencari jawaban akan pertanyaan ini walau pencarianku akan jawaban dari pertanyaan ini tak seheroik kisah pencarian kitab suci oleh Sun Gokong dan Biksu Tong.
Namun, aku tetap gigih tuk terus mencari. Mulai dari wawancara kawan-kawanku yang telah menjadi mahasiswa, berdoa pada Tuhan, hingga mempelajari eksistensialisme dan psikoanalisa.
“Kampus idaman itu biasa saja. Cuman yah, diromantisasi saja. Padahal banyak masalah di dalamnya. Seperti biaya yang mahal, dosen yang serakah, dan semacamnya,” ujar kawanku yang menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi idaman. Aku tak percaya pada mereka.
Kulanjut dengan berdoa pada Tuhan tapi jawaban tak kunjung datang. Ah, jangan-jangan aku salah menafsirkan kemahakuasaan Tuhan gara-gara gairah masuk kampus idaman.
Lanjut kupelajari eksistensialisme dan psikoanalisa. Walau sudah nemu jawabannya tapi aku tak percaya. Aku ingin tahu praktiknya. Karena kesibukanku mencari pertanyaan ini, aku melupakan keharusanku tuk melakukan pendaftaran akun guna mengikuti ujian SBMPTN. Saat aku ingat, pendaftaran akun tuk ujian masuk kampus ini telah ditutup. Di sini aku gagal sebelum berperang, tapi tebesit sebuah pertanyaan dalam pikiranku.
Apa itu kegagalan?
Sedih rasanya tak dapat mendaftarkan diri ke perguruan tinggi idaman akibat luput melakukan pendaftaran. Sebenarnya masih bisa tuk masuk kampus idaman menggunakan jalur lainnya, yakni jalur mandiri yang mahal harganya gara-gara privatisasi perguruan tinggi oleh pemerintah.
Yah, aku tak sanggup melakukannya karena masalah biaya. Keputusasaan menghujam tubuhku dengan sangat kejam. Kepedihan mengoyak pikiranku sampai jiwaku mengalami pendarahan. Tak dapat aku jelaskan bagaimana rasanya kepedihanku waktu itu. Apalagi saat teman-temanku mengajakku tuk belajar latihan soal SBMPTN guna persiapan ujian masuk kampus idaman (lainnya). Ujian yang mana aku sudah gagal sebelum mengikutinya.
Tak banyak kawanku yang tahu soal diriku yang gagal mengikuti ujian SBMPTN ini. Bahkan orang tuaku yang mengetahui hal ini hanyalah ayahku. Beliau mengatakan tak apa dengan guratan kecewa yang terlukis di wajahnya. Ayah menyuruhku untuk tidak bercerita pada ibuku soal kegagalanku mengikuti SBMPTN sebab ibu adalah orang yang paling mengharapkanku masuk perguruan tinggi impian.
Ibuku jelas akan hancur jiwanya saat mendengar kabar tentang anaknya yang gagal mengikuti SBMPTN. Pikirku, ini semua gara-gara pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuat fokus diriku menyimak informasi mengenai perguruan tinggi teralihkan, andai pertanyaan itu tak pernah muncul, mungkin aku akan mengikuti SBMPTN dan tak mengecewakan orang tuaku.
Di tengah-tengah belenggu kekecewaan, ayahku dengan kata-kata bijaknya datang tuk memotong rantai kesedihan yang mengikatku. Dia tahu bahwa aku terlalu fokus pada pertanyaanku sehingga melupakan hal penting, yakni SBMPTN.
Dengan raut wajah yang masih kecewa namun nampak guratan harapan di dahinya, ayah menasehatiku banyak hal. Meliputi hakikat hidup sesungguhnya, arti pendidikan, arti kebijaksanaan, dan tentang hukum bahwa hidup tetap berlangsung walau kita sedang tidak beruntung.
Kekecewaanku mulai menguap perlahan oleh nasihat ayah yang menghangatkan. Di sini aku mendapatkan pelajaran yang sungguh berharga, yakni bahwa “anak semestinya tidak mengecewakan orang tua, dan orang tua mesti siap dengan kekecewaan yang datang dari anaknya”. Akhirnya aku memutuskan tuk bercerita pada ibuku soal kegagalan yang kualami. Aku tak kuasa menceritakan bagaimana kondisi ibuku saat mendengar kabar buruk itu.
Dihangatkan oleh Jogja
Saat hari SBMPTN dilaksanakan semakin mendekat, ayah menyuruhku berangkat ke Jogja untuk menemui tokoh pendidikan guna meminta nasihat hidup. Ayah ingin aku tidak terpuruk saat melihat manusia berlalu-lalang mengikuti tes ujian masuk kampus impian di Kota Malang yang dekat dari rumah, sekaligus aku ingin melanjutkan pencarianku atas jawaban dari pertanyaan yang meremukkan hidupku. Tanpa banyak berpikir, aku berangkat ke Jogja dengan membawa bekal harapan orang tua, juga sebongkah pertanyaan, tak lupa seperangkat pikiran.
Jogja, yang menjadi tempat pelarian dari kegagalan, menyambutku dengan ramah. Lingkungan di sana seolah tahu bekas benturan yang telah menghantamku. Orang-orang di sana terlihat memahami paras penasaranku dan suasana Kota Jogja seperti menuntunku menuju sebuah jawaban akan pertanyaan yang meremukkan diriku.
Dan benar saja, Jogja mempertemukanku dengan seorang tokoh pendidikan nasional, sosok pendiri sekolah tanpa seragam, tanpa pelajaran, sebuah sekolah kebebasan yang bernama Sanggar Anak Alam. Hari pertemuanku dengan beliau tepat saat hari pertama SBMPTN dilaksanakan. Pesan dari beliau yang menggema dalam pikiranku hingga kini adalah: “Jadilah manusia biasa, biasa bermanfaat bagi sesama, biasa bahagia, biasa menjaga perdamaian semesta.”
Sepulang dari Jogja aku terbahak-bahak karena telah mengetahui jawaban dari pertanyaan yang kucari “Kenapa aku dan kawanku sebegitu menginginkan kampus impian? Ada apa di sana?”
Dan yah, keinginanku masuk perguruan tinggi impian ternyata berasal dari ilusi budaya saja. Tak lebih dari itu.
Ada apa di sana?
Hanya ada ilusi budaya belaka.
Ilusi budaya berupa tuntutan-tuntutan yang membuat kita tak tenang menjalani kehidupan. Ilusi ini membuat kita tak sadar bahwa sejatinya kehidupan tak menawarkan apa-apa, yang oleh karenanya kita tak perlu melakukan apa-apa. Ilusi inilah yang membuat kita bergairah tuk mengejar SBMPTN dan perguruan tinggi idaman walau mengorbankan masa muda, yang dalihnya adalah kesuksesan.
Bukankah kesuksesan itu hanyalah kegagalan yang tertunda? Bukankah kesuksesan itu hanyalah ilusi budaya? Kita bisa ambil hikmah dari perkataan Lacan di sini: “Every truth has the structure of fiction.”
Ragam kekecewaan ketika gagal SBMPTN
Saat hasil SBMPTN diumumkan, sembari mengupil, kulihat berbagai macam wajah. Ada yang wajahnya kusut seperti kentut padat, ada yang semringah sampai matanya terus terbuka, ada yang biasa saja, ada pula yang setengah semringah dan kusut mirip kasut.
Upilku jatuh akibat terkejut melihat kawan-kawanku yang rajin dan cerdas gagal SBMPTN dan tidak diterima perguruan tinggi favorit mereka. Kawanku yang biasa saja justru diterima. Ketimpangan macam apa ini batinku sambil membersihkan upil yang terjatuh.
Kawan-kawanku yang putus asa karena tak diterima bercerita padaku betapa tak adilnya dunia. Aku hanya bisa mendengarkan mengingat betapa anehnya dia masih tak menyadari ilusi yang ada.
Agak heran sebenarnya, saat aku mencoba memahami apa yang sesungguhnya dicemaskan oleh kawan-kawanku yang cerdas tapi tidak diterima, padahal mereka sudah memiliki basis gerakan dan relasi sendiri. Aku jadi teringat perkataan Jacques Lacan, “Objek kecemasan adalah hal yang tidak ada.” Jangan-jangan tidak ada yang sebenarnya dicemasi oleh kawan-kawanku, mereka hanya cemas kalau kecemasan mereka itu tiada.
Jangan-jangan ini semua hanya ilusi
Aku alihkan pandangan dari cerita kawanku, kutatap beberapa anak kecil yang sedang asyik bermain, kusela cerita temanku dan kuajak dia menatap hal yang sama. Dia menatapku heran, kukatakan, “Mereka adalah anak-anak yang mungkin heran pada kita yang stres karena tidak diterima di kampus impian.”
Kawanku terdiam sejenak.
“Ah ternyata kehidupan hanyalah senda gurau belaka,” katanya sambil tertawa sampai kegagalannya berhamburan kemana-mana.
Aku melanjutkan, “Sekarang sudah sadar kan bahwa kau ini gagal? Tak usah dipikir kau itu gagal karena apa, karena memang sejak awal kau gagal memahami dunia.”
Akhirnya kami pun tertawa sembari ngupil bersama. Barangkali sisa-sisa kegagalan masih ada di tubuh kita. Kegagalan adalah ketidaksesuaian kita dengan budaya atau kebiasaan yang ada. Dengan kata lain, kegagalan adalah diri kita yang sesungguhnya, diri kita yang belum tunduk pada kebiasaan dan budaya.
Akhirnya aku menyadari bahwa manusia selalu mengalami keberkekurangan sebab dibentuk oleh budaya yang tak pernah sempurna. Selama ini, hasrat tuk masuk perguruan tinggi idaman itu merupakan alibi tuk menutupi kekurangan permanen dalam diri manusia. Kita bisa ambil hikmah lagi dari perkataan Lacan: “Keberkekurangan itu sendiri mengalami keberkekurangan; kegelisahan adalah kurangnya berkekurangan.”
Dan saat kami melihat acara ospek di kampus-kampus idaman lewat media, kami melihatnya dengan tatapan semringah yang penuh kegagalan di dalamnya.
BACA JUGA Buat Kalian Pejuang SBMPTN, Inilah 5 Hal yang Harus Dipersiapkan Sebelum dan Sesudah Pengumuman dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI
Penulis: Mohammad Rafi Azzamy
Editor: Yamadipati Seno