MOJOK.CO – Saya dari Pakistan dan saya menemukan bahwa toleransi bukan cuma kata indah di buku teks. Di Universitas Sanata Dharma, toleransi benar-benar hidup.
Ada pepatah dalam bahasa saya yang bisa diterjemahkan sebagai “Berlian di antara batu.” Artinya, kalau semua orang adalah superhero, maka tidak ada yang benar-benar istimewa.
Di Pakistan, saya hanyalah orang biasa. Tapi ketika datang ke Indonesia, saya mendadak jadi “spesial”. Setidaknya di mata orang-orang yang melihat saya sebagai “bule berjanggut dan bermisai”.
Ya, saya orang asing di Jogja. Nama saya Wali dan saya berasal dari kota Sialkot, sekitar enam jam dari Islamabad, ibu kota Pakistan.
Kota saya terkenal karena memproduksi bola sepak untuk Piala Dunia. Jadi, kalau kamu pernah menonton pertandingan bola internasional, kemungkinan besar bola yang dipakai itu buatan kota saya.
Tapi yang lucu, orang Pakistan justru lebih ramai menonton kriket daripada sepak bola. Jadi, kadang saya merasa seperti datang dari kota yang membuat bolanya, lalu pindah ke negara yang benar-benar main bolanya.
Rencana Awalnya UGM, Takdirnya Universitas Sanata Dharma
Saya sudah tinggal di Indonesia lebih dari dua tahun. Banyak orang bertanya kenapa saya memilih Indonesia. Lalu, kenapa Jogja. Terakhir, kenapa orang Pakistan kuliah di Universitas Sanata Dharma. Sudah begitu, kampus Katolik pula.
Jawabannya panjang, tapi sederhana. Saya punya gelar magister di bidang Sastra Urdu, dan saya ingin memperluas karya sastra itu ke bahasa lain. Saya ingin menjadi penerjemah antara Bahasa Urdu dan Bahasa Indonesia. Menurut saya, dua bahasa ini jarang dijembatani, padahal keduanya sama-sama kaya dengan nilai budaya dan sastra.
Saya memilih Jogja karena dikenal sebagai kota pelajar dan budaya. Ia tempat yang tenang untuk belajar dan menulis.
Awalnya, sebenarnya, saya ingin masuk Universitas Gadjah Mada. Sebelumnya, saya pernah belajar Bahasa Indonesia di sana. Jadi, saya sudah akrab dengan suasananya.
Tapi karena ada batas usia pendaftaran di universitas negeri, saya tidak bisa mendaftar ke sana. Akhirnya, saya mencari kampus swasta yang punya jurusan Sastra Indonesia. Pilihan saya jatuh pada Universitas Sanata Dharma karena programnya bagus dan saya diterima dengan tangan terbuka.
Beberapa orang Indonesia sempat heran, “Kok kuliah di kampus Katolik?” Tapi bagi saya, itu bukan masalah. Saya justru merasa nyaman. Sebagai seorang Muslim Ahmadi Pakistan, saya tahu bagaimana rasanya menjadi minoritas.
Dan di Sanata Dharma, saya belajar bahwa toleransi bukan cuma kata indah di buku teks. Toleransi di kampus ini benar-benar hidup di ruang kelas, di kantin, dan di antara teman-teman.
Baca halaman selanjutnya: Stigma yang melekat kepada orang Pakistan di luar negeri.












