MOJOK.CO – Apa kamu lupa kalau industri musik Indonesia tempat Jerinx dan Via Vallen menggantungkan periuk nasi ini sudah sejak lama dibangun dari kaki para pembajak?
Jagad per-Twitter-an yang biasanya dipenuhi spesies cebong dan kampret kali ini mendapat sedikit penyegaran rohani lewat Jerinx dan Via Vallen. Drummer bertubuh ginuk-ginuk ini sedang memberi kursus singkat Copyrights for Dummies kepada Indonesia Koplo Darling, Via Vallen.
Jerinxk menyebut penggunaan lagu “Sunset Di Tanah Anarki” oleh Via Vallen di berbagai pentas dan mengantarnya ke tangga popularitas sampai saat ini belum berizin. Seperti biasa, perang maya ini kemudian menyulut keikutsertaan Outsiders dan Ladyrose, Vianisty, serta segenap pendengar, pembaca, dan pemirsa Dahsyat lini masa.
Sebelum perseteruan Pangeran Anarki Kuta Rock City dengan Ratu Koplo Sidoarjo ini, persoalan pakai memakai lagu pernah mengemuka saat Hanin Dhiya, penyanyi spesialis lagu-lagu milik orang lain, menyanyikan ulang “Akad” milik Payung Teduh. Dua peristiwa ini punya benang merah sama yakni tanpa izin. Ada keuntungan komersial buat salah satu pihak, dan yang paling terlihat jelas: ketidaktahuan bagaimana hak cipta bekerja.
Industri musik Indonesia tempat Jerinx dan Via Vallen menggantungkan periuk nasi sebetulnya dibangun dari kaki-kaki pembajak. Keputusan keluar dari Konvensi Berne pada tahun 1958 ditengarai sebagai pemicu. Kebijakan yang dikeluarkan Perdana Menteri Djuanda tadi akhirnya berimbas ke industri musik tanah air.
Album-album musik beredar dan diesploitasi bebas tanpa ada sepeser duit yang diberikan untuk pencipta karya. Puncaknya waktu Bob Geldof marah-marah gara rekaman hajatannya di Live Aid 1985 diedarkan bebas dalam bentuk kaset oleh cukong-cukong pembajak. Iya Live Aid yang nongol jadi ending film Bohemian Rhapsody.
Baru setelah itu pemerintah mulai beres-beres dapur dengan menerbitkan berbagai aturan tentang hak cipta. Aturan paling baru diatur di Undang Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Secara sederhana hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan.
Mari kita iris pelan-pelan. Hak cipta paling dasar adalah hak moral, yang terus melekat pada penciptanya dan tidak bisa dihilangkan. Setelah itu ada hak ekonomi untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan dalam bentuk royalti.
Hak moral bisa dipenuhi dengan memohon izin penggunaan dan memberikan informasi jelas tentang karya dan penciptanya. Sedang hak ekonomi beranak pinak jadi bermacam-macam seperti mechanical rights yang mengatur reproduksi ciptaan dalam bentuk rekaman fisik, performing rights untuk penggunaan ciptaan secara komersial di hadapan publik seperti pentas music, serta synchronization rights yang digunakan untuk mengatur penggunaan karya dalam medium seperti film atau iklan televisi.
Via Vallen kemudian menjadi contoh pemahaman hak cipta di Indonesia masih belum becus bahkan di tingkatan paling dasar sekalipun. Ketidakpahaman mengenai prosedur (sesuatu yang aneh untuk penyanyi dengan pendapatan level miliaran) atau sikap masa bodoh dan mau untung sendiri memakai karya cipta orang lain tanpa meminta izin dan memberi kompensasi ekonomi.
Harus diakui, ranah dangdut terutama sub genre dangdut koplo adalah tanah anarki buat segala konsepsi ideal tentang hak cipta. Ranah ini dibangun dari jiplak menjiplak, curi mencuri, dan segala macam pelanggaran.
Contohnya, setiap ada satu lagu meledak jadi hits, mendadak bermunculan satu demi satu batang hidung yang mengaku sebagai penyanyi dan pencipta aslinya. Namun justru hal-hal seperti ini yang membuat dangdut koplo jadi hidup sekaligus menjungkirbalikkan kaidah ndakik-ndakik untuk kaya dari musik.
Satu lagu bisa dijahit dari berbagai sampling lagu-lagu yang lagi populer sekolong jagad, jalur distribusi diperluas lewat persebaran rekaman video yang diputar mulai dari ponsel murahan sampai di atas deru bus antarkota antarprovinsi. Karena sifatnya yang tidak terikat aturan ini, dangdut jadi lebih mudah untuk menelusup, termasuk ke lagu-lagunya Jerinx.
Marahnya Jerinx karena karya dipakai tanpa izin adalah kewajaran, tapi argumen-argumen Pangeran Anarki seputar eksklusifitas karya ini juga tak kalah menggelikan. Sebagai cah pang rock, Jerinx sepertinya alergi dengan semua hal-hal populer.
Dulu dia pernah menyemprot bocah-bocah telolet yang dianggap menganggu kerja-kerja aktivis sosialnya. Sekarang, dia risih karena Via Vallen sudah membunuh ruh dari lagu yang dia dedikasikan buat Wiji Thukul dan mendiang Munir.
Jerinx mungkin masih belum merasa bandnya sekarang punya basis massa yang nyaris menyamai Slank, yang membuat lagu-lagunya bisa tersebar lebih cepat, dinikmati berbagai kalangan, dan akhirnya membuat lagu tadi populer dengan berbagai cara.
Dengan cara yang diharapkan atau sama sekali tidak diharapkan, termasuk jadi pengiring jogedan hokya-hokya. Kita juga nggak tahu apakah Mike Ness dan Social Distortion oke-oke saja Jerinx membawakan lagu-lagunya atau malah merasa segala polah Jerinx membuat lagu-lagunya jadi terdegradasi.
Untuk hal terakhir ini saya rasa bli perlulah memberikan penjelasan. Dulu Ahmad Dhani pernah dicap plagiat karena mencontek lagu “Real Life” milik Sergio Mendes untuk “Cinta Mati II” yang dinyanyikan Mulan Jameela.
Usut punya usut ternyata Master Mister ini sudah membeli lisensinya. Juga lagu-lagu lain seperti “Tears Never Dry” milik Stephen Simmonds yang disadur menjadi “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada” serta dua lagu milik Queen yakni “Mustapha” dan “I Want To Break Free”. Sayang, syahwat politik malah membuatnya tersandung izin memakai “We Will Rock You” tanpa sepengetahuan Brian May dkk.
Saran saya sih supaya semua pihak dapat untung, mending Jerinx yang—tentu—sudah jauh berpengalaman menjelajah dimensi (((indie))) hingga mainstream, sekalian saja mengajarkan dan kalau perlu membuatkan music publisher Via Vallen.
Di Amrik yang industrinya sudah maju, pencipta lagu mendaftarkan karyanya ke music publisher. Publisher ini yang akan menjajakan karya lagu untuk dipakai dalam berbagai format. Pihak yang akan menggunakan karya, mulai dari label rekaman, penyanyi yang akan menyanyikan ulang, atau rumah produksi film tinggal menghubungi publisher buat menghitung berapa kompensasi yang harus dibayar.
“Biar kamu nggak perlu repot-repot lagi, ay…”
Lalu mereka hidup berdua bahagia selamanya dalam romansa dangdut koplo di tanah anarki.