MOJOK.CO – Cerita Teguh Arifiyadi ketika “mendampingi” Ahmad Dhani dalam dua sidang kasus ujaran kebencian. Baik yang di Jakarta, maupun yang di Surabaya.
Mas Ahmad Dhani akhirnya bebas dari LP Cipinang setelah jalani vonis satu tahun karena kicauan akunnya di Twitter beberapa tahun lalu. Saat itu Mas Dhani ditetapkan bersalah karena mengomentari apa yang disebutnya… “siapa saja yang dukung penista agama bla-bla-bla…”.
Kebetulan saat persidangan, saya menjadi salah satu ahli UU ITE atas permintaan penyidik. Secara umum, keterangan saya—mungkin—lumayan memberatkan Mas Ahmad Dhani. Meski begitu, kalau melihat dari fakta persidangan, sebetulnya belum ada bukti yang cukup kuat kalau kicauan tersebut dibuat oleh Mas Dhani langsung.
Sebab, hasil pemeriksaan saksi dan bukti elektronik, kicauan yang jadi persoalan itu sebenarnya diketik oleh asisten Mas Ahmad Dhani. Walaupun patut diduga kicauan itu muncul atas perintah Mas Ahmad Dhani juga. Oh iya, pihak Mas Dhani sendiri sudah menyangkal dugaan ini saat sidang.
Perbedaan ini sekilas memang remeh sekali. Walaupun sama-sama diketik orang lain memakai akun kita, tapi adanya perintah atau tidak dari pemilik akun cukup krusial bedanya. Dalam persidangan yang menghasilkan kekuatan hukum, hal-hal sedetail ini benar-benar harus diperhatikan.
Di berita acara ahli sebetulnya saya sudah pernah jelaskan, jika kicauan dibuat bukan oleh Mas Dhani, maka pentolan Dewa 19 ini bisa saja dikenakan pasal turut serta/turut melakukan (55 KUHP) atas pidana pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Dengan catatan ada pelaku utama yang juga dipidana. Artinya asisten Mas Ahmad Dhani bakal ikut terseret.
Uniknya, Mas Dhani akhirnya benar-benar divonis bersalah turut serta/turut melakukan tindak pidana ujaran kebencian. Sesuai dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE yang saya sebutkan tadi. Namun di akhir cerita persidangan, tidak ada pelaku lain yang dipidana selain Mas Dhani.
Jika mengutip pendapat R. Soesilo, penerjemah KUHP paling masyhur. Pasal “turut serta” atau “turut melakukan” dipersamakan dengan tindak pidana “bersama-sama melakukan”.
Artinya sedikit-dikitnya harus ada dua orang pelaku. Pertama, orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger). Itulah kenapa tadi saya bilang “unik”. Karena dalam kasus ini, hanya Mas Ahmad Dhani yang akhirnya dipidana.
Agak janggal memang, tapi saya tidak berani komentar banyak karena sejujurnya saya belum baca detail pertimbangan para hakim di putusan kasus tersebut. Toh, kuasa hukum Mas Ahmad Dhani yang lebih berhak menerangkan hal demikian ke publik.
Masalahnya, meski sudah bebas dari vonis hukuman ujaran kebencian, Mas Ahmad Dhani harus bersiap jalani hukuman kedua dari vonis Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Mas Dhani kena wajib lapor minimal 1 kali dalam 6 bulan ke Kejari Surabaya. Hukuman ini memang berlaku setelah Mas Dhani bebas dari hukuman yang pertama.
Nah, pada kasus kedua di Surabaya ini, beda lagi ceritanya. Karena kebetulan saya juga hadir sebagai ahli UU ITE. Berbanding terbalik dengan kasus yang pertama, pada kasus ini saya menjadi ahli atas permintaan Mas Ahmad Dhani.
Pendapat saya di persidangan menyatakan, perbuatan Mas Dhani menyebarkan video melalui Instagram yang di dalamnya ada kata “celaan” seharusnya tidak bisa dipidana dengan pasal pencemaran nama baik UU ITE.
Semua unsur inti (klachten delict) dalam pasal pencemaran nama baik UU ITE tidak terpenuhi. Sekiranya mau dituntut sekalipun. Seharusnya pasal yang tepat adalah pasal tentang penghinaan ringan KUHP, yang ancaman maksimalnya hanya 4 bulan, bukan diancam 4 tahun dengan UU ITE.
Beruntung dalam kasus tersebut Mas Ahmad Dhani hanya dihukum percobaan, dan tidak harus dipenjara (setelah putusan banding). Saat itu saya ingat betul kalau hakim mempertimbangkan dengan baik pendapat para ahli.
Tentu saja, saya menyampaikan semua ini tidak ada tendensi politik apapun. Bagi saya, kita bisa mengambil banyak pelajaran dari keributan di media sosial sepanjang Pileg dan Pilpres 2019 kemarin, khususnya kasus yang menimpa Mas Ahmad Dhani ini.
Media sosial selama ini memang telah menawarkan ruang kebebasan berekspresi yang teramat luas. Sayangnya, popularitas dan efek candu dari fitur “like” dan “follower” bisa saja membuat kita terlena.
Terlewat semangat mengunggah apapun perasaan dan sikap politik kita, terkadang tanpa tidak sadar bikin kita melewati batas rambu yang ternyata ada aturannya. Jika itu yang terjadi, kita tidak hanya akan kehilangan perkawanan atau persaudaraan—karena diblokir dari media sosial, namun kebebasan kita juga bisa ikut terancam hilang.
Dan contoh itu—paling tidak—sudah diwakilkan dengan kasus Mas Ahmad Dhani.
Terlepas dari itu, saya hanya ingin sampaikan ke Mas Dhani, selamat menikmati udara bebasmu itu ya, Mas. Yah, meski baru “setengah bebas” juga sih.
Walaupun masih ada wajib lapor ke Kejari Surabaya, paling tidak sekarang sudah bisa kumpul dengan keluarga dan sahabat-sahabat lagi. Pun dengan kawan-kawan Baladewa yang kangen dengan konser atau karya besar Mas Dhani berikutnya.
Oh, iya, terakhir. Sebisa mungkin jauhi pernyataan kontroversial dan konfrontatifnya lagi ya, Mas? Biar saya nggak perlu harus datang ke persidangan sampeyan lagi.
Anu. Capek, Mas. Hehe.
BACA JUGA Habitat Ahmad Dhani Memang di Dewa 19, Bukan di Lapas atau tulisan Teguh Arifiyadi lainnya.