Sebuah permintaan aneh buat calon pendeta
Semuanya kulalui dengan asik dan enjoy. Semuanya berjalan baik dan lancar. Hingga suatu ketika datang permintaan yang agak aneh untuk seorang calon pendeta. Bahkan aku sampai berpikir apakah kebiasaan orang Jawa ini adalah benar.
Suatu sore, seorang jemaat menelepon saya. Dia meminta aku datang ke rumahnya yang letaknya cukup jauh dari kota. Rumahnya ada di area pegunungan dan butuh waktu cukup lama untuk sampai ke sana.
Beruntung, aku sudah pernah ke rumah itu sebelumnya. Aku berangkat tanpa pikiran aneh. Begitu sampai, bapak pemilik rumah menyambut dengan hangat. Rumahnya sendiri memang memancarkan aura budaya Jawa yang kental.
Aku dipersilahkan duduk, disuguhi teh panas dan beberapa jajanan pasar. Semuanya berjalan normal dan perbincangan berjalan hangat, hingga satu hal yang mengganggu muncul dari ucapan sang tuan rumah.
“Nuwun sewu, ingkang sepindah kula ngaturaken panuwun awit panjenengan kersa rawuh wonten griya kula.” Aku berusaha mendengarkan dengan seksama. Melihat mukaku yang kebingungan, sang tuan rumah melanjutkan dengan Bahasa Indonesia.
“Jadi, maksud kami mengundang Mas pendeta untuk datang ke sini adalah mohon doanya untuk motor baru yang baru saja datang.” Ujarnya.
Lantas, dengan muka yang masih bingung, aku menoleh ke teras. Di sana memang ada motor baru yang beberapa bagiannya masih terbungkus plastik. Aku mengangguk dan bertanya dengan nada paling sopan yang aku tahu untuk orang Jawa.
“Maksudnya saya mendoakan Honda Forza itu? Untuk apa didoakan?” Aku sendiri tidak ingat pernah diajarkan mendoakan benda mati.
“Oh, jadi maksudnya itu sebagai ucapan syukur dan diberkati supaya motor ini berkah dan selalu dalam lindungan Tuhan. Begitu juga pengendara senantiasa ingat bahwa ini adalah pemberian Tuhan. Kebetulan besok anak kami akan pulang ke Jakarta untuk kembali bekerja. Supaya dalam perjalanan dilindungi Tuhan. Intinya kami bersyukur dan lebih marem kalau didoakan Mas Pendeta,” jawab tuan rumah.
Apakah ini rasa syukur khas orang Jawa?
Saya mulai menangkap maksudnya dan mulai berdoa. Tentu berdoa untuk rasa syukur yang dirasakan keluarga, untuk keselamatan perjalanan ke Jakarta menggunakan motor baru, dan supaya keluarga terus merasakan kasih Tuhan dalam kehidupannya, termasuk dalam berkat yang diterima dalam bentuk Honda Forza.
Singkat cerita aku pulang ke rumah dan sambil merenung serta mencerna apa yang baru saja terjadi. Satu hal yang tidak pernah aku duga adalah calon pendeta mendoakan Honda Forza.
Ternyata, dalam tradisi Jawa, rasa bersyukur itu bisa spesifik diwujudkan. Salah satu contohnya adalah dengan berdoa untuk kendaraan supaya pengendaranya selalu ingat Tuhan dan berhati-hati.
Begitu juga rasa syukur diwujudkan dalam bentuk tumpeng yang melambangkan jagad raya yang sudah Tuhan sediakan bagi manusia. Relasi manusia masih terjaga dengan keyakinan-keyakinan karena kita pasti membutuhkan orang lain, setidaknya untuk saling mendoakan.
Ternyata, relasi interpersonal sangat penting bagi kehidupan masyarakat Jawa. Alih-alih melihatnya sebagai sinkretisme antara kepercayaan Jawa dengan Kristen, tapi tentang bagaimana Orang Jawa mengedepankan “rasa” yang muncul dari “… kami marem didoakan Mas Pendeta…” Padahal bisa saja berdoa dan didoakan sendiri. Sesuatu yang tumbuh di batin itu menjadi penting bagi orang Jawa.
Rasa syukur harus diwujudkan
Rasa syukur itu, bagi orang Jawa, harus diwujudkan bukan hanya berhenti di dalam hati atau ungkapan dalam doa. Namun juga diwujudkan dalam bentuk memberikan segelas teh panas, jajanan pasar, dan obrolan yang ramah.
Dalam konteks yang lebih besar seperti kelahiran, sehabis panen, dan lain sebagainya, diwujudkan dalam bentuk slametan. Biasanya menghadirkan tetangga sekitar dan undangan untuk turut merasakan rasa syukur itu.
Slametan adalah ritus dan ritus adalah dimensi ekspresif dari yang dipercayai. Slametan yang merupakan ritus ini memiliki dua dimensi yang tak bisa dipisahkan. Pertama, adalah hubungan seseorang dengan yang lain. Kedua, adalah hubungan seseorang dengan Yang Ilahi. Satu hal yang saya hayati dari tradisi Jawa adalah rasa syukur, pentingnya rasa, dan kebersamaan.
Penulis: Rivaldi Anjar Saputra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Cerita di Balik Sekolah Teologi: Calon Pendeta Juga Manusia Biasa dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.












