MOJOK.CO – Hubungan casual date tidak bisa dilakukan semua orang. Hanya orang-orang yang nekat seperti saya yang masih memungkinkan untuk menjalaninya.
Casual date adalah istilah yang baru saya dengar awal tahun 2023. Saya kenal dengan istilah itu saat baru pindah ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Tak pernah terbesit di dalam pikiran, bahwa di tahun itu juga saya menjalin hubungan kasual dengan seseorang yang belum lama saya kenal.
Ceritanya berawal dari riset yang saya lakukan tentang casual date untuk urusan pekerjaan. Saat itu, tidak terbesit macam-macam di pikiran saya. Sampai akhirnya di bulan Maret 2023 saya bertemu pria dari aplikasi kencan yang hanya menginginkan hubungan tersebut.
Sebut saja Ahsya. Secara personal, saya tidak begitu tertarik dengan Ahsya. Tapi saya tertarik tentang profilnya. Dia masih muda, baru berusia 28 tahun, tapi sudah menjadi product manager di sebuah perusahaan startup di Jogja.
Untuk usia yang masih 20an, saya pikir itu pencapaian yang besar. Apalagi Ahsya juga memiliki penampilan yang cukup baik walau tak begitu mencolok. Kompeten, banyak uang, dan mengendarai BMW. Saya yakin dengan ketiga hal itu dia memiliki modal yang cukup untuk serius dengan satu perempuan. Tapi kenapa dia memilih casual date?
Kenapa orang menyukai dan memilih casual date?
Dalam pertemuan singkat kami malam itu, saya berusaha menelisik lebih banyak tentang dirinya lewat pertanyaan-pertanyaan “intim” saya.
“Mas ada alasan khusus kenapa cuman pengin casual date? Past trauma, perhaps?” Tanya saya saat kami masih berada di sebuah coffee shop di dekat Prambanan Jazz. Jawabannya sungguh membuat saya tercengang.
“There’s no reason, An. I am just too busy to think about complicated relationships. Semua waktu dan energi sudah habis buat pekerjaan. Casual date, for me, is more like a refreshing place.”
Saya tidak akan tercengang itu jika alasan yang dia berikan adalah trauma masa lalu. Atau setidaknya konflik personal yang ada dalam dirinya. Saya sama sekali tidak berekspektasi, karier menjadi alasan seseorang memilih casual date.
Terlepas dari rasa tercengang yang saya rasakan, obrolan kami malam itu sangat menyenangkan. Malam itu juga saya menyadari obrolan kami tidak akan selesai di coffee shop. Bersama deru BMW yang membawa kami menuju “tempat lain”, saya bertekad untuk menjadikan itu pertemuan pertama dan terakhir kami.
Keputusan memiliki hubungan kasual
Satu bulan setelahnya, saya mengalami patah hati yang cukup serius setelah mendapat penolakan dari seseorang yang begitu saya inginkan. Saya menyayangi orang ini sejak beberapa bulan terakhir.
Patah hati akibat penolakannya membuat saya merasa benar-benar tidak berdaya. Usia saya yang masih sangat muda dan karier yang belum seberapa membuat saya merasa semakin kurang. Meski alasan penolakannya adalah tentang ketetapan keluarganya, saya merasa tidak layak untuk diperjuangkan.
Rasa tidak layak itu membuat saya memutuskan untuk berhenti mengejar cinta. Saya bertekad untuk memperbaiki segala aspek dalam hidup, sebelum mengejar cinta pada seseorang. Saya pun mulai menyibukkan diri dengan banyak urusan. Namun di antara banyaknya kesibukan, ada ruangan kosong yang membuat saya sering merasa kesepian. Kehampaan itu terkadang muncul begitu saja seperti mimpi buruk.
Di bulan Me 2023, saya mengenal seorang laki-laki lewat komunitas. Sebut saja Joseph. Untuk alasan yang sangat konyol, saya tertarik padanya. Yaitu karena dia paling “senior” di komunitas. Usianya awal 40-an, tapi dia suka berbaur dengan anak-anak komunitas yang rata-rata berusia 20an atau awal 30an.
Entah mengapa, keberadaan Joseph mulai mengisi kekosongan yang saya rasakan, meski kami hanya terlibat dalam interaksi yang sangat terbatas. Di momen itu saya teringat pada jawaban Ahsya tentang alasannya menjalani casual date. Saya mulai bisa merasakan apa yang dia rasakan.
Saya mulai melihat casual date sebagai sebuah opsi
Penolakan yang pernah saya rasakan masih membawa rasa takut menjadi seseorang yang tidak layak diperjuangkan. Casual date menjadi pilihan menarik supaya saya tetap bisa fokus pada karier, tanpa harus merasakan kekosongan yang mengerikan. Pada dasarnya, yang saya butuhkan adalah support system. Mendapat support dari pasangan kasual atau pasangan serius, itu tidak masalah bagi saya.
Setelah memikirkan itu semua saya mulai mendekati Joseph secara intens. Biasanya saya tidak bersikap agresif ketika mendekati laki-laki. Tapi dengan Joseph saya bisa lebih agresif supaya dia lebih mudah menangkap intensi saya. Dan saya tahu, Joseph akan menyukainya.
Sama seperti saya, Joseph rupanya juga tidak memiliki intensi pada hubungan yang serius. Beberapa hari kemudian, hubungan kasual kami pun dimulai.
Bagaimana hubungan kasual harusnya berjalan
Meski menjalani casual date, saya tidak menyarankan orang lain untuk merasakannya. Bukan karena alasan moral maupun sosial. Tetapi karena memang tidak semua orang bisa menjalani hubungan kasual. Apalagi alasan yang saya miliki sangat personal dan mungkin tidak relete dengan banyak orang.
Dalam menjalani hubungan kasual, ada beberapa hal yang harus benar-benar diperhatikan. Pertama, soal kesepakatan. Kedua belah pihak harus paham bahwa ini adalah hubungan kasual. Atau setidaknya paham bahwa hubungan ini tidak akan seperti hubungan serius pada umumnya.
Kedua, mengenai batasan. Saya harus tegaskan bahwa batasan adalah hal yang sangat krusial dalam menjalani casual date. Banyak orang, bahkan saya sendiri, sering “kebablasan” soal batasan yang seharusnya dijaga baik-baik. Inti dari hubungan kasual adalah hubungan yang ringan, menyenangkan, dan tidak memberatkan satu sama lain. Tapi yang namanya manusia, kadang suka teledor.
Status casual date bukanlah antitoksin dari segala permasalahan yang bisa dialami seseorang dalam menjalin hubungan. Jangan anggap mentang-mentang kasual, hubungan bisa bebas dari perbedaan pendapat. Dengan orang asing yang sama sekali tidak dikenal saja kita bisa berkonflik. Entah karena perbedaan paham politik atau beda kubu capres. Konflik tidak bisa dihindari dari setiap aspek kehidupan. Apalagi dalam hubungan, meskipun itu hubungan kasual.
Kesadaran akan batasan
Satu-satunya hal yang bisa meredam setiap konflik dalam hubungan casual date adalah kesadaran akan batasan. Lewat kesadaran soal batasan, hubungan kasual bisa kembali berada di “jalur yang seharusnya”. Yaitu jalur yang ringan, menyenangkan, dan tanpa beban.
Ketiga, aturan tidak tertulis dalam casual date. Secara status, masing-masing pihak yang menjalani casual date bisa dikatakan masih single. Sehingga tidak ada larangan untuk seseorang dalam hubungan kasual, jalan dengan orang lain, siapa saja dan untuk alasan apapun.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah mengenai kerentanan. Casual date memiliki dua kerentanan. Jika dalam hubungan serius masing-masing pihak bisa merasa terikat secara fisik maupun emosional, juga bisa bergantung satu sama lain, tidak dengan hubungan kasual ini. Dua individu dalam hubungan kasual tetaplah menjadi individu yang berdiri sendiri-sendiri, dan hanya bersama untuk alasan yang sangat privat dan personal.
Realita yang tidak banyak orang tahu
Seperti yang saya katakan sebelumnya. Saya tidak menyarankan hubungan ini untuk dilakukan orang-orang dengan hati yang lentur. Orang-orang yang mudah “terbawa suasana”.
Saya harus akui bahwa kesenangan yang datang dari hubungan kasual kadang tak sebanding dengan konsekuensi yang juga besar. Konsekuensi lingkungan/sosial soal dua orang yang menjalin hubungan ini, apalagi jika keduanya masih terhubung dalam satu komunitas, tak sesederhana yang terlihat. Ada lapisan-lapisan yang harus tetap “dikencangkan” supaya hubungan itu tak membawa situasi pelik bagi komunitas.
Bahkan jika 2 belah pihak tak terhubung dalam 1 komunitas, yang artinya konsekuensi lingkungan tak lagi jadi soal. Juga bukan berarti hubungan kasual mudah dilakukan. Konsekuensi paling berat dari hubungan kasual adalah soal kelenturan perasaan.
Soal baper-baperan mungkin bisa diantisipasi dari awal. Tapi tidak baper bukan berarti tidak peduli satu sama lain. Tidak punya “perasaan” pada pasangan kasual, bukan berarti tidak memiliki empati. Sebab manusia dibentuk oleh struktur psikologis yang unik. Hal-hal sepele bisa membuat kita berempati.
Kerentanan-kerentanan yang mulai terlihat dari diri pasangan, bisa membangkitkan rasa peduli. Ada beberapa tipikal manusia dewasa yang tidak bisa melepaskan diri dari rasa bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. Belum lagi jika mulai muncul rasa sayang as human being (meski bukan cinta/sayang yang romantis).
Empat hal tersebut bisa mengendurkan batasan yang seharusnya dijaga dengan baik. Tetapi jika batasan itu dijaga dengan terlalu ketat, kita juga akan mengkhianati insting manusiawi sebagai human being yang bisa merasa empati, peduli, bertanggung jawab, dan menyayangi sebagai sesama manusia.
Maju salah, mundur juga salah
Yang sering terjadi dalam hubungan casual date, segala pilihan menjadi serba salah. Kompleksitas yang ada dalam hubungan kasual itu sama seperti hubungan pada umumnya. Konflik-konflik yang ada di dalamnya juga kurang lebih sama. Bedanya, casual date membuka lebih banyak kemungkinan untuk seseorang tetap mencari the one miliknya sembari menjalin hubungan kasual itu.
Menjalani casual date itu ribet. Dipikirkan dari sudut pandang mana saja; kognitif, emosi, maupun sosial; itu adalah jenis hubungan paling ribet dan nyeleneh yang dilakukan manusia dengan sadar. Tapi, bukannya manusia kadang-kadang lebih suka melakukan sesuatu yang ribet dan aneh daripada gabut nggak ngapa-ngapain? Untuk sekadar mengatasi rasa kesepian, manusia bisa melakukan apa saja. Dan itulah yang saya lakukan.
Jadi, apa hubungan kasual selalu buruk?
Kesan saya pribadi menjalani casual date memang tidak buruk-buruk amat. Dan mungkin kesan ini akan berbeda jika saya menjalani hubungan kasual dengan orang yang berbeda. Ada banyak situasi dalam hubungan ini yang membuat saya merasa telah melakukan sesuatu “yang benar” berdasarkan apa yang saya butuhkan; companionship.
Memiliki support seperti yang saya singgung di awal, maupun perasaan sekadar memiliki “pasangan”. Pada dasarnya keputusan saya menjalin hubungan kasual adalah untuk companionship. Agar saya memiliki setidaknya satu orang yang bisa hadir secara “nyata” dalam hidup saya.
Entah untuk sekadar sharing opini, ide, atau rencana masa depan. Untuk saya bisa menyalurkan sisi paling liar dari dalam diri saya, atau ketika saya membutuhkan nasehat bijaksana dari seseorang yang jaaauuuhhh lebih dewasa dan berpengalaman soal hidup daripada saya.
Sebanding dengan konsekuensinya
Tentu saja, semua keuntungan yang saya dapat dari hubungan kasual itu sebanding dengan konsekuensi psikologis maupun psikososial yang harus saya tanggung. Sebagai perempuan yang masih sering dianggap “terlalu muda” oleh orang-orang yang lebih tua, tentu pilihan ini terlihat sembrono.
Tapi, hal-hal yang terjadi di hidup telah membentuk diri saya menjadi seseorang yang nekat dan perhitungan. Perhitungan dalam menentukan setiap langkah yang saya ambil dalam hidup. Dan nekat menjalaninya tanpa mendengar atau melihat apa yang terjadi di sekeliling saya.
Intinya adalah, hubungan casual date tidak bisa dilakukan semua orang. Hanya orang-orang yang nekat seperti saya yang masih memungkinkan untuk menjalaninya. Atau orang-orang yang memang brengsek saja yang menjadikan hubungan kasual sebagai sumber kenikmatan tanpa batas. Menjadi nekat ataupun brengsek, dua-duanya sama saja. Tiap individu harus paham bahwa hubungan apa pun pasti ada enak dan tidak enaknya.
Hal paling penting dari keputusan menjalin hubungan kasual adalah dengan siapa kita menjalaninya. Seperti hubungan pada umumnya. Dengan siapa kamu berhubungan juga menentukan apakah kamu akan lebih banyak merasa senang atau menderita.
Penulis: Elya Ra Fanani
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Punya Pengalaman Pacaran Itu Penting, Tolong Sempatkanlah! dan pengalaman menggairahkan lainnya di rubrik ESAI.