MOJOK.CO – Belum kelar dibanting dengan Omnibus Law, upah buruh di masa pandemi harus kena prank dari Kemnaker soal penundaan kenaikan upah minimum.
Pemerintah sedang lucu-lucunya tahun ini. Entah emang mau ngelawak untuk menghibur masyarakat yang butuh hiburan, atau emang sedang mengambil peran antagonis karena udah pada capek pura-pura merakyat.
Ya gimana nggak lucu, wong perihal Omnibus Law belum juga kelar eh tiba-tiba muncul Surat Edaran Kemnaker yang isinya soal ketentuan nggak akan ada kenaikan upah minimum untuk tahun 2021. Ebuset.
Surat Edaran Kemnaker Nomor M/11/HK.04/2020 yang diterbitkan pada tanggal 26 Oktober 2020 kemarin ditujukan untuk seluruh Gubernur Indonesia.
Isinya membahas Penetapan Upah Minimum tahun 2021 pada masa pandemi Covid-19 dengan tiga poin utama.
Pertama, melakukan penyesuaian penetapan nilai upah minimum tahun 2021 sama dengan tahun 2020. Kedua, melaksanakan penetapan upah minimum setelah 2021 sesuai peraturan perundang-undangan. Ketiga, adalah menetapkan dan mengumumkan upah minimum provinsi tahun 2021 pada tanggal 31 Oktober 2020.
Alasan utama dari Yang Mulia Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah tidak menaikkan upah minimum adalah karena kondisi ekonomi sedang minus diakibatkan pandemi Covid-19 yang belum kelar.
Jadi apabila Covid-19 belum juga bakal kelar sampai akhir 2021, sudah dipastikan upah minimum tahun 2022 juga akan sama dengan upah minimum 2020. Ini namanya kan kegilaan yang lucu-lucu menyebalkan.
Kalau memang berdalih pertumbuhan ekonomi sedang minus, hambok coba ngaca ke tahun 1998 pas krisis besar-besaran.
Pada tahun itu upah minimum tetap naik meskipun pertumbuhan ekonomi minus 17,49 persen. Ingat, minus 17 persen itu angka yang jauh lebih mengerikan apabila dibandingkan dengan proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang menurut Sri Mulyani hanya minus 1,7 persen.
Idih, kok lucu benar alasan Menteri Ketenagakerjaan kita satu ini?
Dalam salah satu alasan kenapa upah minimum tahun 2021 bakal sama dengan tahun 2020 yang tertulis pada latar belakang Surat Edaran Kemnaker juga menyebutkan, “Dalam rangka memberikan perlindungan dan kelangsungan bekerja bagi pekerja/buruh serta menjaga kelangsungan usaha…” rasanya saya pingin teriak, “MEMBERIKAN PERLINDUNGAN GUNDULMU!!1!1”
Ya kali, apanya yang memberikan perlindungan bagi pekerja atau buruh?
Kalau memang nasib pekerja atau buruh diperhatiin, harusnya yang dilakukan Kemnaker nggak usah muluk-muluk, tinggal naikin Upah Minimum kayak tahun-tahun sebelumnya aja. Nggak usah sok kreatif dengan cocokologi pandemi Covid-19 segala.
Lagian yang pada mulanya meremehkan Covid-19 sejak awal siapa sih? Kenapa yang harus nrima ing pandum malah pekerja dan buruh?
Lagian penyantuman narasi perlindungan kepada pekerja atau buruh itu nggatheli banget. Seolah-olah Kemnaker baik-baikin kaum pekerja dan buruh dulu dengan kalimat manis, tapi eh ujung-ujungnya nempeleng pake sandal musala.
Kayaknya Ibu Fauziah nggak ngerti deh kalau sepanjang pandemi Covid-19 itu nggak sedikit pekerja atau buruh yang bayaran per bulannya dibikin nggak full. Banyak yang hanya terima setengah dari pendapatan awalnya. Belum dengan yang kena “efisiensi” perusahaan. Dari yang di-PHK sampai dijadikan pegawai honorer.
Makanya, sekalipun upah minimum tahun 2021 naik, belum tentu juga pekerja atau buruh terima full upah mereka. Yang diharapkan dari kenaikan upah minimum tahun 2021 itu adalah meski upah para pekerja atau buruh nggak full, tapi paling tidak ada lah kenaikan dikit-dikit.
Nggak perlu jauh-jauh deh, saya ambil contoh posisi saya sebagai pekerja.
Saya tinggal di Jogja. Selama pandemi pendapatan saya dipotong setengahnya. Kalau upah minimum tahun 2021 naik, maka ada kemungkinan upah saya yang hanya dibayar setengahnya itu akan naik dikit. Dikit, dikit banget tapi.
Nah, dari potensi kenaikan yang nggak seberapa itu, saya pun harus rela untuk tidak berharap lagi gara-gara keputusan Kemnaker. Padahal harapan pekerja atau buruh itu nggak muluk-muluk, kalau toh sama-sama nggak dibayar full paling tidak ada batas upah minimum yang naik sedikit.
Lah kalau upah minimum tetep sama dan banyak pekerja atau buruh masih dibayar setengah tiap bulannya, gimana mau meningkatkan daya beli masyarakat? Gimana bisa kembali normal ekonominya?
Padahal kan salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi itu (salah satunya) adalah dengan kemampuan daya beli masyarakat. Gimana daya beli bisa tinggi kalo upah minimum aja nggak naik? Udah gitu yang dibayar cuma setengah lagi. Owalah, krezi… krezi.
Dalam kasus ini, saya sepakat dengan Said Iqbal selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang mengatakan, “Menaker tidak memiliki sensitivitas nasib buruh, hanya memandang kepentingan pengusaha semata.”
Iya sih, saat ini kebijakan pemerintah itu arahnya selalu soal apa-apa yang penting pengusaha besar senang. Dari Omnibus Law yang penting investor senang, sampai upah minimum 2021 nggak naik yang juga bikin pengusaha besar senang.
Kenapa hanya pengusaha besar?
Soalnya kalau usahamu hanya mengandalkan karyawan 2-5 orang, itu mah nggak bakal terasa pengaruhnya. Kebijakan ini cuma menguntungkan perusahaan dengan jumlah ribuan sampai ratusan ribu buruh karena perkalian beban upah jadi bisa ditekan sehingga kebijakan ini baru terasa signifikan.
Duh, duh, Bu Menteri… apa sampean nggak mikir kalau ada lebih banyak pekerja atau buruh di negeri ini? Memangnya semua orang di Republik ini pengusaha dan investor semua? Mbok sesekali itu bikin kebijakan yang nguntungin pekerja atau buruh kenapa sih? Ada masalah apa sih? Mbok cerita… jangan dipendam. Jadi penyakit lho.
Lagian, nggak semua sektor usaha anjlok total kan, Bu Menteri?
Sektor kesehatan contohnya deh, dari semua sektor, sudah pasti sektor kesehatan justru paling mentereng pas masa pandemi kayak gini. Ya kali pekerja di bidang kesehatan nggak dapet kenaikan upah minimum dengan dalih pukul rata penurunan pertumbuhan ekonomi.
Masa iya sudah bertaruh nyawa, masih kena prank Kemnaker pula. Howalah, tega… tega….
BACA JUGA Apakah Buruh dan Karyawan Itu Berbeda? dan tulisan Riyanto lainnya.