MOJOK.CO – ZEE Indonesia di perairan Natuna itu memang bisa kapan saja dipermasalahkan oleh negara-negara lain. Tak cuma oleh Cina. Malaysia dan Vietnam pun bisa.
Menyimak adu mulut Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia versus Kemenlu Cina terkait perseteruan kedua negara di perairan Natuna, sudah kayak seperti menonton pertunjukan baku hantam netizen negeri +62 saja: sama-sama ngotot mengajukan versi kebenaran masing-masing.
Cina bersikeras tidak terima nelayannya yang menangkap ikan di perairan Natuna dituding Indonesia telah melakukan “IUU”, penangkapan ikan secara ilegal. Sebab, kata juru bicara Kemenlu Cina, tempat kejadian perkaranya adalah di zona maritim di mana berlaku “hak kedaulatan” (zhuquan quanyi) Cina di situ.
Makanya, kalau nelayan dan penjaga pantai Cina beroperasi di sana, lanjut sang jubir, itu “legal dan masuk akal” (heli hefa) belaka. Apalagi itu sudah berlangsung turun-temurun sejak zaman baheula.
Indonesia jelas menolak dalil Cina. Alasannya, perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
“Klaim historis RRT atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.”
Padahal, suka atau tidak, kita mesti mengakui bahwa klaim Indonesia dan Cina terhadap perairan Natuna masih sama-sama bersifat unilateral, alias sama-sama klaim sepihak semata. Cuma bedanya, dilihat dari perspektif hukum, landasan klaim Indonesia jauh lebih kokoh dibandingkan dengan Cina.
Indonesia mengklaim perairan Natuna pakai hukum laut Internasional (UNCLOS) yang juga sudah diratifikasi Cina. Sedangkan Cina mendasarkan klaimnya menggunakan pendekatan historis.
Ya maklum. Cina punya catatan sejarah yang amat sangat runut selama ribuan tahun, sementara Indonesia tidak. Kalau diserang pakai perspektif historis, Indonesia bakal mudah keok.
Sebaliknya Cina kalau dibombardir pakai pendekatan hukum, jelas akan gampang babak belur karena sembilan garis putus-putus (nine-dash line) di petanya yang dipakai untuk mengklaim hampir kesuluruhan kepulauan dan perairan Laut Cina Selatan (LCS) telah diputus ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) pada 2016 silam. ZEE Natuna ya masuk bagian LCS itu.
Masalahnya, kendati klaim Indonesia terhadap ZEE Natuna lebih kuat ketimbang Cina secara hukum, Kepulauan Natuna bertetangga dengan Vietnam dan Malaysia.
Sebagai negara pantai (coastal state) yang juga meratifikasi UNCLOS, Vietnam dan Malaysia memiliki hak yang sama dengan Indonesia untuk mendapatkan zona maritimnya yang dihitung dari garis pangkal (baseline) pulau terluarnya. Zona maritim ini terdiri dari 12 mil laut (22 km) laut teritorial, 24 mil laut zona tambahan, 200 mil laut ZEE, dan landas kontinen yang bisa diperpanjang lebih dari 200 mil laut.
Lantaran jaraknya yang berdekatan secara geografis, zona maritim yang diukur dari masing-masing garis pangkal pulau terluar Indonesia, Vietnam, dan Malaysia saling tumpang tindih (overlapping) di perairan sekitar Kepulauan Natuna tadi.
Tak pelak, ketiga negara ini harus rela berbagi zona maritim yang bertampalan itu dengan cara delimitasi, menetapkan batasnya. Gede sih, tapi harus rela bagi-bagi.
Dengan Malaysia, Indonesia sudah melakukan delimitasi di kawasan dimaksud pada 1969. Menyusul dengan Vietnam pada 2003. Tapi, yang berhasil dibagi hanya landas kontinennya. Alias dasar lautnya saja. Bukan kolom air (ZEE) yang ada di atasnya.
Kita tahu, dalam UNCLOS, batas dasar laut dan batas air laut adalah dua hal yang regulasinya berbeda.
Sebenarnya, Indonesia sudah mengusulkan batas ZEE Natuna melalui peta terbitan Mei 2015. Namun, untuk mengesahkannya, perlu dirundingkan dengan Malaysia dan Vietnam dahulu.
Artinya, sepanjang belum disepakati, ZEE Indonesia di perairan Natuna itu masih sebatas klaim sepihak Indonesia yang bisa kapan saja dipermasalahkan negara lain.
Inilah mengapa penangkapan kapal ikan asing dan aseng di perairan itu acap diprotes balik oleh negara asalnya, karena nelayan mereka dianggap beroperasi di wilayah sendiri, bukan di ZEE Indonesia.
Sampai di sini paham, kan, duduk perkaranya?
Nah, dalam UNCLOS, lautan itu berbeda dengan daratan. Di daratan berlaku kedaulatan penuh. Di lautan nggak begitu. Lagian, ZEE itu bukan kedaulatan (soverignty, atau zhuquan dalam bahasa Cina).
Di lautan, kedaulatan penuh hanya bisa berfungsi di pulau, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Pada zona maritim di luar perairan kepulauan dan laut teritorial, hak berdaulat saja yang berlaku –kekuasaan penuh (kedaulatan) suatu negara tidak dapat diaplikasikan di sana.
Makanya, kalau kapal Cina masuk ke laut teritorial Natuna, misalnya, silakan tiup terompet perang sekencang-kencangnya. Sebab itu melanggar kedaulatan namanya. Tapi kalau cuma masuk ke ZEE Natuna, ya nggak perlu begitu.
Karena yang dilanggar mereka adalah hak berdaulat (sovereign rights atau yang Cina sebut zhuquan quanyi) semata. Yaitu hak untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya yang ada di dalamnya.
Lagi pula, Cina sejak 12 November 2015 sudah secara benderang mengakui bahwa kedaulatan Natuna sepenuhnya berada pada Indonesia. Sekalipun, di waktu yang sama, dirinya mengklaim punya hak kedaulatan yang tumpang tindih di wilayah yang Indonesia klaim sebagai ZEE Natuna.
Dengan lain kata, menurut logika Cina, Kepulauan Natuna benar punyanya Indonesia, tapi Cina juga merasa berhak menikmati kekayaan alam yang ada di dalam zona maritimnya.
Ini belum dengan Malaysia dan Vietnam yang kalau kekuatan militer dan ekonomi mereka lebih kuat dari Indonesia di masa depan, bakal bisa iseng ikut-ikut pakai cara Cina. Ngetes dulu pakai beberapa kapal. Lalu lihat reaksi Indonesia gimana.
Kalau nggak ada emak-emak yang suka ngeledakin kapal pencuri ikan, ya lanjut aja deh. Iseng-iseng berhadiah ini. Kalau dapat syukur, kalau nggak dapet ya itung-itung Hanura di Natuna. Hanya numpang rame di Natuna.
BACA JUGA Sengketa Natuna dan Alasan Prabowo-Luhut Bersikap Lunak atau tulisan Novi Basuki lainnya.