MOJOK.CO – Alih-alih menjadi film yang menghibur, Budi Pekerti menjadi sejenis film yang memantik kita untuk berdiskusi dan berkaca pada diri sendiri.
Rilisnya Budi Pekerti sudah saya tunggu-tunggu sejak tahu Wregas Bhanuteja mengerjakan proyek film terbaru. Bagi saya, nama Wregas Bhanuteja adalah jaminan mutu untuk menonton film ini dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya.
Selain nama Wregas, pemilihan judul film ini juga memicu saya untuk segera menontonnya. Budi Pekerti. Rasanya, ini bukan judul yang lazim dalam perfilman Indonesia. Dan ketika betulan ditonton, film ini sudah terasa sangat memikat sejak menit-menit awal. Sebagai penonton, perhatian saya langsung terkunci saat adegan Bu Prani memberikan konseling daring pada siswanya.
Konflik Budi Pekerti yang dekat dengan kehidupan
Ya, konflik awal dalam film ini terasa sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan, saya sendiri pernah mengalami apa yang dialami Bu Prani. Misalnya, seseorang menyerobot antrean saat saya membeli makanan tradisional (yang ternyata) sedang viral.
Bedanya, saat itu, saya tak cukup punya nyali untuk menegur orang-orang yang titip pesanan ke orang yang memiliki nomor antrean lebih kecil. Titip pesanan itu membuat urutan antrean menjadi kacau. Pengalaman pribadi itu menjadi set psikologis saya saat mengikuti naik turunnya emosi Bu Prani dalam film Budi Pekerti.
Bukan hanya karena pernah punya pengalaman sama yang membuat saya merasa film ini sangat mengena di hati. Tangan dingin Wregas dalam mengarahkan pemain, teknik yang dia gunakan dalam pengambilan gambar, dan editing suara yang luar biasa, seolah menyatu dalam harmoni cerita. Entah bagaimana film ini menimbulkan sensasi seolah kita yang menonton juga sedang berada di dalam filmnya. Saat Bu Prani melakukan buka tutup ear plug di telinganya, rasanya diri kita adalah dia.
Baca halaman selanjutnya: Film yang tidak menghibur, tapi wajib kamu tonton.