MOJOK.CO – Dari sidang, kata “bisyaroh” muncul sebagai kode di kasus Romahurmuziy kena ciduk KPK. Duh, kenapa dulu nggak kasih gula, teh, kopi saja sih?
Pepatah lama mengatakan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Ternyata pepatah ini sudah ketinggalan zaman. Agar lebih mewakili dengan realitas sosial kekinian, mestinya pepatah ini sudah dimodifikasi atau diamandemen menjadi duit sedikit yang ditilep, kursi elite jadi nyungsep.
Maklum, urusan duit itu memang sangat kenyal, kental, original, binal, banal, sekaligus universal. Semua doyan, kecuali ayam. Paling tidak, raihan kursi dalam Hasil Pileg 2019 bisa dijadikan bukti.
Partai Golkar misalnya. Pada Pileg 2014 masih mengantongi 91 kursi, tapi gara-gara ulah Ketumnya, Setya Novanto yang kesandung proyek e-KTP sampai jidat benjol segede bakpao isi kacang ijo, pada Pileg 2019 ini perolehan kursinya tinggal 85.
Airlangga Hartarto sebagai Ketum pengganti, mati-matian berusaha menegakkan pohon beringin yang mulai doyong dihantam “tiang listrik” itu. Tapi hasilnya tetap saja kehilangan 6 kursi DPR.
Kemudian PPP. Gara-gara sang Ketum Romahurmuziy terkena OTT oleh KPK, partainya langsung kena tsunami Pemilu.
Pada Pileg 2014 masih mengantongi 39 kursi DPR di bawah pimpinan Suryadharma Ali. Tapi setelah Bung Rommy jadi pesakitan KPK, jatah kursi DPR-nya rontok, tinggal 19 kursi.
Meski kehilangan 20 kursi, namun demikian Tuhan masih sayang pada partai yang lahir pada “generasi” Orde Baru itu. Karena angka sembilan terasa istimewa bagi PPP dan PKB, maka dari 39 kursi turunnya di 19. Hm, angka keramatnya masih dominan.
Cuma sayangnya KPK itu ora pangerten (tidak pengertian). Meski sudah ada dua alat bukti cukup, mbok iyao sabar sedikit?
Waktu itu, Pemilu 17 April 2019 kan tinggal 1 bulan 2 hari, kenapa pada 15 Maret 2019 Ketum PPP, Romahurmuziy sudah di OTT sih?
Kan kalau mau sabar barang sedikit, atau misal OTT dilakukan sekurang-kurangnya pada 17 April (pada hari coblosan) pukul 13.05, alias ketika dimulainya perhitungan suara. Mungkin kursi PPP masih bisa diselamatkan. Siapa tahu perolehan suaranya bisa saja dari 39 menjadi 49? Atau melejit ke angka 59? Hm, cakep kan?
Tapi nasi udah jadi bubur, ketela udah jadi timus, dan bayam sudah jadi rolado. Gara-gara OTT Romahurmuzy, banyak pendukung PPP kabur ke parpol lain. Bak menegakkan benang basah, akhirnya Suharso Monoarfa sebagai Ketum Plt hanya bisa menyelamatkan 19 kursi PPP.
Tapi ini masih lumayan, ketimbang Partai Hanura yang dikasih nol kursi di Pileg 2019 kemarin.
Gara-garanya, OSO (Osman Sapta Odang) malah “poligami” jabatan. Sudah jadi Ketum Hanura masih mau juga jadi Ketua DPD. Ealah, akhirnya malah jadi lebay malang. DPR nggak dapat, DPD-nya juga ambyar. Tak jelas bagaimana nasib Hanura ke depan, apakah masih juga kecipratan kursi menteri, mengingat tak satupun kursi DPR bisa disabetnya.
Meski begitu, mari kita kembali ke PPP yang sedang apes. Praktik jual-beli jabatan di Kemenag yang diduga melibatkan Romahurmuziy kemarin itu kini tengah disidangkan di Pengadilan Tipokor, Jakarta.
Terdakwa Haris Hasanudin yang “diorbitkan” menjadi Kakanwil Kemenag Jatim seumur jagung mengakui, uang Rp 250 juta yang diserahkannya langsung ke Romahurmuziy merupakan tanda atau ucapan terima kasih belaka. Karena eks Ketum PPP itu telah membantunya dalam seleksi jabatan di Kemenag.
Sebagai sarjana S3 Ilmu Keislaman IAIN Sunan Ampel Surabaya, pastilah Haris Hasanudin tahu persis akan makna hadis: laknatullah ‘ala rosyi walmurtasyi (laknat Allah atas orang yang disuap dan menyuap). Jika ingat sejenak saja akan hadis tersebut, tak peduli siapa perawinya, niscaya Haris mikir dua kali untuk melakukannya.
Celakanya, dia menganggap uang terima kasih model begini bukanlah suap, tapi sekedar “bisyaroh” atau sebagaimana uang transport yang lazim diterima guru ngaji. Barangkali karena dilandasi dari definisi tersebut, Haris juga diduga kasih duit Rp70 juta ke Menag, Lukman Hakim.
Dia mungkin berlogika, yang namanya suap kan tentunya sudah ada deal-deal sebelumnya, baik kepada Bung Romahurmuziy maupun Menag Lukman Hakim. Sedangkan ini kan tidak (lagian mana ada bisyaroh kok deal-deal segala), sehingga misalkan tak diberikan pun tak mungkin keduanya akan minta atau menagihnya kan?
Tapi Haris Hasanudin lupa, bahwa kali ini dia bukan lagi berhadapan dengan guru ngaji atau ustaz yang baru saja memberikan pengajian, melainkan pejabat negara dan Ketum parpol.
Kepala Kanwil Kemenag Jatim seumur jagung itu juga lupa bahwa sebagai Pejabat Negara di Menag KPK mengharamkan untuk terima gratifikasi. Bila ketahuan, resikonya bisa kena gravitasi bumi. Langsung jatuh dari jabatannya, masuk penjara pula.
Jadi pertanyaan kemudian, andaikan Romahurmuziy bukan Ketum PPP dan Lukman Hakim bukan Menag yang punya kuasa mengatur-ngatur jabatannya, maukah Haris Hasanudin mengeluarkan “bisyaroh” dengan uang sebanyak itu? Hayo, mungkin tidak?
Kalau sekadar “bisyaroh” memberikan tanda terima kasih, tentunya tidak seperti itu. Haris sebagai priyayi Jawa kelahiran Trenggalek, dan Romahurmuziy anak muda kelahiran Sleman Ngayogyakarta Hadiningrat, masa iya lupa akan akar budayanya orang Jawa?
Ingatkah pada orang-orang kampung sampeyan ketika mengucapkan terima kasih pada seseorang yang telah membantunya? Misalkan memasukkan anak ke SD, atau saat putranya diterima jadi pegawai honorer di Kantor Pemda?
Para orang tua tidak perlu bawa uang berjut-jut. Cukup dibawakan gula, teh, kopi, atau beras beberapa beruk (takaran beras). Itu sudah cukup, yang diberinya pun pasti akan bilang, “Halah, kok le repot-repot ta Mas.” (Halah, kok repot-repot begini, Mas).
Tak mungkin sang dewa penolong itu ngegerundel sambil mengatakan, “Bangetan iki ah, wis dibantu ngaya-ngaya kok ming digawakake kaya ngene. Apa iki! (Kebangetan ini mah, sudah dibantu susah-susah kok cuma dikasih kayak gini. Apa ini!).
Itulah kearifan lokal orang Jawa, habitat sampeyan sedari kecil. Dengan cara demikian, di samping tidak memberatkan si pemberi tanda terima kasih, juga takkan terkena sanksi gratifikasi. KPK juga pasti tak bakal ngurusi hal-hal demikian.
Ya mana mungkin adegan kejar-kejaran bak film action antara KPK dengan Romahurmuziy saat OTT dulu itu hanya demi mengejar pelaku gratifikasi gula, teh, kopi, beras ya kan?
Lagian, kalau gula-teh-kopi-beras dimasalahkan juga, ruangan di gedung KPK yang dipakai mengumpulkan bukti pelaku suap lama-lama udah kayak toko sembako. Apalagi kalau gratifikasinya ditambah rokok. Fix. Jadi toko kelontong itu!