MOJOK.CO – Semakin banyak orang belajar agama dengan nonton video-video ceramah ustaz di Youtube. Memangnya enggak boleh?
Untuk mendapat sejumlah keahlian mendasar dalam bidang apapun, sekarang ini sudah cukup memungkinkan lewat Youtube. Bahkan dengan mengandalkan keuletan tertentu semua orang bisa terlihat tampak cakap sekali berbicara mengenai apa saja tanpa perlu modal ijazah pendidikan tinggi di bidang tersebut. Ini kita bicara otodidak ya, alias belajar sendiri tanpa bantuan guru secara langsung.
Nah, lalu pertanyaannya: dalam bidang agama bisakah kita juga belajar otodidak? Tanpa guru, tanpa pesantren, tanpa madrasah?
Begini.
Seperti yang kita juga tahu, dahulu orang kalau mau belajar mengenai agama itu aturannya cukup serius. Barangkali lebih serius dari yang tampak sekarang. Pada titik-titik tertentu ilmu mengenai agama itu perlakuannya seperti trah keluarga atau mungkin hampir sama seperti warisan. Didapat dari seorang guru, diberikan kepada murid, murid mentransfer ke muridnya lagi, begitu seterusnya. Atau istilah yang kita kenal; sanad, sebagai jalur transmisi.
Selama ini acapkali kita memahami perkara soal sanad hanya diperuntukkan untuk melacak kesahihan sebuah hadis. Misalnya Syeikh Bukhori menulis suatu hadis. Tentu saja beliau tak mendapatkan hadis itu dengan cara download seperti kita, melainkan dari seorang guru. Gurunya tadi juga dari guru atau seniornya. Begitu seterusnya sampai guru itu dirunut sampai ke atas dipercaya mendengar langsung dari kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Tidak hanya pada perkara hadis, pada metode mengaji sampai menghafal Al-Quran juga begitu perlakuannya. Kamu menghafal lalu menyetorkan pada seorang guru. Guru tersebut akan membenarkan bacaanmu, sesuai dengan makhorijul khuruf sampai tajwid-tajwidnya. Guru ini dipercaya juga punya runtutan keilmuan yang punya rantai transmisi sampai ke penutur pertama ayat-ayat tersebut muncul, alias ya dari kanjeng Nabi Muhammad lagi.
Akan tetapi perlakuan istimewa ini tidak berhenti hanya pada hadis dan cara baca ayat-ayat Al-Quran saja. Ada cukup banyak pinisepuh di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan agama seperti pesantren dalam mengajar beberapa kitab seperti Safinah (soal fikih), Alfiah (soal gramatika Bahasa Arab), hingga Ta’limul Muta’allim (soal akhlak) menggunakan logika yang sama.
Semua guru ini dipercaya memiliki sanad yang dirunut akan sampai ke penulis kitabnya langsung. Pada beberapa amalan, ada juga yang model formatnya berupa ijazah. Bukan seperti ijazah kalau kita lulus kuliah, melainkan ijazah ini berupa izin langsung dari guru untuk diperbolehkan mengajar ke orang lain. Artinya pada pemahaman ini, di segala aspek perihal keagamaan semua ada gurunya, bukan otodidak.
Nah, itu tadi kalau dalam bentuk pengajaran agama yang paling serius. Kalau yang lebih longgar, seperti—paling tidak—sudah ada seorang ustaz, sudah ada yang mengajarimu ilmu meski ndak ada sanad atau ijazah macam tadi. Asalkan dalam proses belajar itu ada kurun waktu yang cukup intens. Istilahnya Imam Syafi’i; thuli zamani atau lama waktunya. Bisa jadi hal-hal semacam itu juga boleh-boleh saja.
Saat ini, pendidikan agama lewat madrasah, pesantren, atau perguruan tinggi agama adalah bentuk paling masuk akal dari sistem cari ngelmu. Skema sanad mungkin tak lagi populer belakangan ini. Yang penting ada kurikulum yang jelas, guru yang kompeten, dan ada ruang belajar. Jika pada mulanya mempelajari agama berjalan hanya dengan rantai transmisi berupa sanad, sekarang ada sistem yang menjamin cari ngelmu menjadi lebih praktis.
Akan tetapi pada kenyataanya, hal yang tersusun sudah begini rapi ini masih juga dianggap kurang “rileks”. Sebab, semakin banyak kalangan yang masih kepingin shortcut. Belajar yang tak bertopang pada guru, sistem, dinding madrasah, ataupun kurikulum. Orang-orang yang ingin belajar agama sebagai kegiatan part-time, sampingan. Lha gimana? Tak semua orang punya waktu untuk mondok je.
Ini juga yang jadi sebab, kenapa buku-buku seperti 30 Hari Mencari Cinta Hafal Al Qur’an, Cara Praktis Haji, Panduan Singkat Zakat, sampai Kunci Jawaban Pertanyaan Alam Kubur, banyak diminati bahkan sampai masuk kategori best seller.
Tidak hanya itu, kanal-kanal Youtube bertema kajian keagamaan juga semakin ramai dan jadi favorit. Kesemuanya punya kecenderungan yang sama: menawarkan ilmu agama secara instan. Masyarakat bisa belajar sendiri tanpa harus mendaftar di lembaga pendidikan agama seperti pondok pesantren atau madrasah. Semuanya bisa dilakukan secara otodidak.
Lalu apa ini masalah? Kalau menurut saya sih tidak. Malah, pada tataran tertentu, hal ini justru bagus.
Bagi kamu yang pernah bertahun-tahun mondok boleh saja sewot dan tidak sepakat, tapi saya punya beberapa alasan kenapa konten-konten Islam oleh ustaz-ustaz di Youtube itu saya anggap cukup bagus—dengan catatan tentu saja.
Pertama; belajar agama yang berkenaan dengan ibadah sehari-hari itu fardhu ‘ain.
Artinya, kewajiban per gundul ini tak bisa diwakili orang lain. Kamu mesti tahu cara wudhu, cara salat, dan cara bersihkan najis sebagaimana kamu juga mesti tahu cara menggauli istri. Padahal kecukupan waktu masing-masing orang itu berbeda-beda. Coba saja bayangkan kalau kewajiban itu hanya dipahami kudu masuk pesantren dan madrasah; atau merguru dalam kurun waktu yang lama.
Lha terus yang bakulan angkringan siapa? Yang jadi driver ojol siapa? Yang ngurus negara siapa? Yang nulis di Mojok buat bikin konten-konten menarik siapa?
Pada akhirnya, pilihan logis yang sesuai dengan zamannya ya belajar agama secara part-time dan praktis tadi lewat cara receh seperti Youtube atau media sosial lainnya.
Kedua; perkembangan zaman memungkinkan orang untuk belajar secara jejaring.
Artinya mengambil ilmu dari arah mana saja dan dengan cara apa saja. Kalau dulu aturan soal keilmuan agama kelihatan begitu ketat, ya karena saat itu pemilik otoritas keilmuan memang sangat terbatas, cara menemukannya pun terbatas. Bahkan orang-orang yang memiliki kualifikasi ini pun terbatas pula.
Pantas saja jika kemudian kepercayaan kesahihan sebuah ilmu agama hanya bisa didapatkan melalui rantai sanad tadi. Meski tentu saja ini tidak berlaku untuk urusan sanad hadis dan sanad keilmuan baca Al-Quran, alias ya hanya persoalan dasar-dasar pengetahuan agama seperti fikih, tajwid, dan sebagainya.
Sedangkan saat ini semua orang bisa interaksi langsung dengan banyak ulama tanpa perlu secara fisik hadir dalam majelis atau pengajian. Pada akhirnya kewajiban-kewajibannya yang lain pun bisa dilaksanakan dalam waktu hampir bersamaan. Misalnya seorang ibu-ibu melihat video kajian seorang ustaz di Youtube sambil merawat anak atau ketika jam istirahat dari kerjanya si bapak bisa browsing sebentar untuk mencari ilmu mengenai cara mandi junub yang sah.
Cara-cara ini justru lebih masuk akal dan memudahkan dalam mengakses pengetahuan agama. Coba bayangkan jika untuk mengetahui cara mandi junub yang benar saja seseorang harus mondok bertahun-tahun dan meninggalkan kewajibannya sebagai seorang suami dan bapak? Sementara ada cara di mana seseorang bisa menjadi bapak dan suami yang bertanggung jawab, bersamaan dengan menjadi santri—meski hanya di depan laptop.
Lantas yang terakhir atau ketiga; soal biaya.
Ya harus diakui akses ke Youtube berdurasi 5 menit tentang ilmu fikih, jelas lebih murah dari uang pangkal masuk ke madrasah. Dengan murahnya biaya untuk belajar, maka semakin banyak juga orang yang bisa mengerti mengenai hukum-hukum agama. Kalau kemudian semakin banyak orang tahu agama lalu kok juga makin banyak orang beragama yang beringas, nah itu perkara yang berbeda lagi.
Maka dari itu, mestinya begini…
Di satu sisi, kelompok masyarakat yang menapaki jalan panjang belajar agama (alumni pesantren misal) agar membuka akses seluas-luasnya untuk berbagi. Jangan lagi merasa lebih eksklusif dan menganggap semua orang harus seperti dirinya di masa lalu. Harus mondok, harus tirakat, harus takzim kepada kiai atau guru. Sebuah proses yang tidak semua orang bisa mengikuti laku hidup serupa.
Sebab, kalau tataran belajar beragama cuma sesempit itu, ya jangan kecewa jika eksistensi orang-orang yang sudah mondok belasan tahun, kalah dengan ustaz-ustaz yang baru hijrah. Ya gimana? Di saat kita merasa punya kemewahan keilmuan dengan metode sanad lalu mengganggap semua orang kalau mau belajar agama harus mondok, ya ruang-ruang di luar akan diisi oleh ustaz-ustaz seperti itu.
Di sisi lain, saya pikir ada hal yang tidak boleh dilupakan untuk sahabat-sahabat yang ingin ambil jalan pintas dengan belajar agama melalui konten-konten di Youtube dan sebagainya. Yakni, biasakan tidak puas hanya tahu dari satu pendapat saja.
Maksudnya, tiap kali ingin mengerti tentang satu persoalan; biasakan membagi pikiran menjadi 3 bagian. Sepertiga untuk menerima pendapat dari Aqshal Yamin (kanan jauh), sepertiga dari Aqshal Yasar (kiri jauh), dan sepertiga lagi dari kalangan moderat (tengah-tengah). Secara sanad, rumus ini saya dapatkan dari mantan rektor saya waktu di Tripoli, Prof. Fathullah Zayadi.
Sebab, dengan membiasakan diri menampung banyak hal berbeda dalam melihat sebuah perkara, paling tidak kita sudah berusaha untuk tidak jadi umat yang kagetan, suka marah-marah, dan terlalu fanatik pada sesama manusia.
Jadi, mari saatnya kita Youtube-an!