Saya merasakan horor ketika membayangkan program bela negara yang dicanangkan Mz Ryamizard Ryacudu. Selama sebulan dibangunkan sirine atau suara senapan tiap pukul 5 pagi. Diteriaki berulang-ulang di muka saat baris-berbaris di bawah terik matahari. Lari, berguling, merayap, upacara. Lalu sisa-sisa hari dihabiskan untuk mendengarkan ceramah “Papua milik kita”, “awas bahaya laten komunis”, dan “NKRI harga mati”. Sambil menahan kantuk, tentu saja, daripada dituduh tidak nasionalis dan disuruh push-up dua puluh kali.
Mz Ryamizard pasti lagi demen-demennya sama ucapan Bung Besar,“Right or wrong it’s my country.” Ini memang betul, wong saya lahir di sini. Saya besar jadi warga negara sini, bukan warga negara Inggris. Mau ini negara jadi monarki, kapitalis, komunis, fasis, sampai jungkir balik sekalipun, Indonesia is still my country. Tapi jangan paksa saya untuk membelanya jika ia salah. Saya ndak pernah diajari guru saya untuk membela yang salah. Pacar saya saja ndak saya bela kok kalau salah. Diputus ya biarin.
“Lho, salahnya negara di mana?”, mungkin ada dari situ yang tanya (pembaca Mojok sih harusnya ndak tanya lagi).
Gini ya, Mas, Mbak. Dimana negara ketika warga sipil dibedili aparat? Di mana negara ketika warganya ndak bisa beribadah? Di mana negara ketika Widji Thukul hilang dan Munir diracun di udara? Di mana negara ketika warga kehilangan tanah dan rumahnya? Di mana negara ketika nenek-nenek yang mengambil kayu bakar bisa dipenjara, tetapi koruptor malah akan dijamin tidak dipidana asal duitnya dibawa balik ke Indonesia?
Saya ndak mau menuduh negara ada di balik semua itu. Tapi kalau untuk menegakkan keadilan saja ndak bisa, melindungi yang lemah saja ndak bisa, apanya yang mau saya bela?
Saya sih mendingan. Saya pegawai negeri. Kelas menengah. Tinggal di Jawa yang bebas bencana asap. Rumah saya aman, ndak ada sengketa dengan pabrik besar. Kerjaan saya aman, ndak perlu ketar-ketir sama outsourcing dan upah murah. Seandainya saya wajib ikut bela negara, paling banter saya cuma nggerundel.
Lha tapi bagaimana dengan orang Papua, orang-orang yang lahannya diserobot tambang, orang-orang yang kemarin sesak napas karena asap, juga buruh-buruh yang ditekan agar negara ini ekonominya “lebih kompetitif”? Apa ya tega disuruh bela negara, saat negara tidak membela mereka? Apes betul.
Kalau ikut, sakit hati. Kalau tidak mau ikut, kata Pak Ryamizard disuruh hengkang dari NKRI. Hengkang ke mana? Masak mereka harus berakhir terkatung-katung seperti pengungsi Suriah hanya karena ndak mau baris-berbaris? Ndagel!
Saya bukannya skeptis. Saya percaya negara ini bisa jadi lebih baik. Tapi jika sekarang ini saya dan banyak orang lain malas membela negara, itu bukan karena kurang baris-berbaris! Kalau negara ini bersih, adil, dan ngayomi, saya mau ikut bela negara dengan sukarela. Kalau negara ini bisa menyuruh aparatnya untuk tidak menembaki warga sipil, satu tahun latihan bela negara pun saya lakoni.
Cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya kalau yang dicintai itu memang baik. Orang akan mempertahankan sesuatu jika ia memang layak untuk dipertahankan. Kalau ndak percaya, tanya saja itu sama orang-orang yang gagal move on dari mantannya.
Makanya, tak perlulah menghabiskan anggaran buat belajar baris dan patriotisme ini-itu. Sedari SD orang-orang juga sudah kenyang makan yang begituan. Mending anggaran itu dialihkan saja buat bidang kesehatan dan pemberantasan kemiskinan. Yang lebih konkret gitu lho. Latihan upacara kan ndak bisa bikin orang bayar tagihan rumah sakit atau beli beras.
Menjelang tahun pertama pemerintahannya, kok nampaknya Pak Jokowi makin jarang blusukan. Bukan hanya blusukan ke rakyat kecil, tapi juga blusukan ke kantor menteri-menterinya sendiri. Lha bikin kebijakan kok ndak selaras sama yang dikampanyekan waktu nyalon dulu.
Saya dan mungkin banyak pemilih Jokowi lainnya kan memilih beliau karena beliau ndak suka militer-militeran. Munculnya kebijakan wajib bela negara ini bikin saya lumayan sedih.
Ngomong-ngomong, presiden kita masih Pak Jokowi yang bukan dari militer itu kan? Maaf, takut salah. Saya pikir saya sedang mimpi kalau yang menang calon presiden yang satunya lagi. Saya mulai susah membedakan, soalnya.