MOJOK.CO – Bagaimana rasanya punya bapak yang ahli dalam ilmu supranatural? Orang boleh sebut sebagai paranormal, tapi kalau mau disebut dukun, saya bisa apa?
Satu hal yang tidak bisa saya pungkiri dari kehidupan ini adalah saya terlahir dari seorang bapak ahli klenik atau bahasa ilmiahnya; ahli supranatural. Bapak merupakan orang kejawen yang beragama Islam. Jadi selain mengamalkan ajaran agama yang dianut, Bapak juga mengamalkan kemampuan yang nyeleneh.
Saya tak tahu persis apa sebutannya, tapi barangkali bisa disebut Bapak sukses mengembangkan indra keenam versi Jawa-nya. Kalau kalian mau bilang Bapak saya adalah seorang dukun, barangkali saya juga tidak bisa protes.
Berkali-kali saya membuktikan sendiri kemampuan dukun bapak saya ini. Pengalaman masa sekolah, tiap mau ujian biar saya tidak gugup ketika mengerjakan soal ujian. Sebelum berangkat saya akan diberi air putih dalam gelas yang rasanya asin. Ya dikasih garam pastinya. Uniknya, hal semacam itu saya alami sampai lulus kuliah.
Nah, satu hal yang masih saya hafal adalah bacaan tiap mau meminum ramuan ini. Sesudah membaca Surat Al-Fatihah dan bacaan shalawat sebanyak tiga kali, saya akan disuruh merapal ini:
Mbah Slamet rama ibu Mbah slamet ingkang njangkungi guwa garba kula, nyuwun edi pangestunipun supados kekarepan kula saged kasembadan.
Setelah dilafalkan, lalu lanjut dengan menghentakkan kaki kiri ke tanah sebanyak tiga kali.
Itulah mengapa saya juga tidak akan bisa menjawab apakah kemampuan saya sendiri yang selalu membuat saya jadi peringkat satu mulai bangku SD sampai bangku kuliah? Atau karena ada andil juga dari bacaan aneh-aneh ala dukun itu? Yang saya tahu setelah membaca semacam mantra itu hati ini jadi mantap menghadapi segala macam ujian. Entahlah.
Di samping kegiatan rutinnya selaku abdi negara, Bapak tiada henti menerima tamu yang meminta pertolongan. Mulai dari barang hilang, masalah rumah tangga, sampai minta doa supaya arisan cepat keluar. Wow.
Saya dengan setia akan duduk manis di samping Bapak, karena disuruh Ibu untuk menerima sekadar uang terima kasih dari para tamu. Alasannya sederhana, karena Bapak nggak pernah mau menerima amplop berisi uang dari tamu-tamu yang minta pertolongan tersebut.
Nah, kemampuan Bapak kemudian semakin berkembang saat saya ikut tes pegawai negeri. Tahu sendiri, kan? Tes pegawai negeri itu cukup berat karena harus berkompisi dengan ribuan pesaing lainnya. Beredar semacam celetukan di masyarakat saat itu bahwa kalau ingin jadi pegawai harus memiliki satu di antara empat D, yakni: drajat (jabatan/tahta), dulur (saudara), dhuwik (uang), dan dukun.
Sedangkan saya? Dengan berbekal ijazah, doa, dan melakoni syarat dari Bapak, Alhamdulillah saya bisa lolos dalam sekali tes. Memang apa syarat dari Bapak saat itu? Selain merapal bacaan di atas, saya juga diharuskan membalik kaus dalam yang sedang saya pakai ketika tes. Benar-benar di luar akal sehat sih, tapi ya bagaimana? Nyatanya saya lolos betulan. Saya pun tidak risih jika dikatakan bahwa saya menjadi pegawai dengan jalur D yang kedua dan keempat. Alias dulur dan dukun.
Begitulah. Tiap kali saya berurusan dengan sistem kepegawaian di tempat saya bekerja, saya jadi terbiasa untuk mendahulukan meminta syarat dulu dari Bapak. Seperti misalnya akan mengajukan kenaikan tingkat. Berkas yang sudah saya kumpulkan akan “disyarati” dulu oleh Bapak supaya lancar dan nggak kembali harus direvisi karena satu dan lain hal. Diwenehi pemanis, begitu istilahnya kalau tidak salah.
Bahkan ketika saya mengurusi mutasi antarkabupaten pun trik pemanis itu juga yang saya pakai. Maklum saja kan, mutasi tanpa penggantian selalu berkonotasi memakai uang pelicin. Ya isunya sih begitu. Untuk saya, selama saya jadi pegawai, saya nggak pernah pakai hal begituan, ya syukurlah. Gara-gara keseringan mutasi, saya ini tergolong sebagai pegawai kutu loncat. Selama 20 tahun jadi pegawai, saya sudah mengalami mutasi atas permintaan sendiri sebanyak lima kali.
Memang apa saja ritual yang harus saya lakukan saat mengajukan mutasi?
Biasanya, awal pengajuan kan saya harus menghadap pimpinan untuk memperoleh lolos butuh. Nggak hanya satu orang, kalau antar kabupaten malah harus menemui banyak orang. Nah, saat menghadap itulah saya harus mengikuti hitungan naga dina dan hari baik dari bapak. Kapan saya harus menghadap, pukul berapa, bahkan sampai detail remeh semacam posisi arah duduk atau posisi badan selepas turun dari sepeda motor semua diatur! Urut dan runtut saya ikuti.
Rapalan mantra yang saya pun ditambah dari semula: Mbah Slamet rama ibu Mbah slamet ingkang njangkungi guwa garba kula, nyuwun edi pangestunipun supados kekarepan kula saged kasembadan.
Ditambah jadi: Mbah Mulyorejo Raden Musthofa Mbah Waliagung Mbah Demang Ponorogo jabang bayine bapak/ibu… saged manut dhumateng kula. Bapak/ibu … paring welas dhumateng kula. Sungguh, kalau saya ingat-ingat lagi kejadian tersebut saya sering terpana tak percaya.
Meski begitu, pernahkah saya abai terhadap kemampuan supranatural Bapak tersebut? Oh, jangan salah, saya pernah menolak alias tidak nurut dengan instruksi Bapak saya.
Saya pernah melarikan diri dari kekangan ilmu Bapak karena saya dilarang untuk menikah dengan pacar saya. Memangnya apa kata Bapak? Katanya, dilihat dari sudut mana pun pacar saya ini tidak berjodoh dengan saya.
Baik dari weton (hari lahir), arah rumah, dan arah kota. Menurut hitungan Bapak, pacar saya tidak baik untuk saya. Karena hal itu, saya pun melakukan aksi mogok bicara dengan Bapak sampai tiga bulan. Bapak pun luluh dan merestui pernikahan saya dengan syarat membuang ayam jago di setiap sungai besar yang nanti akan dilewati rombongan temanten. Oke deh, beres.
Setelah kejadian tersebut saya semakin menjauh dari kehidupan dan cara lelaku Bapak. Saya berusaha melepas semua kekangan rapal-rapal yang diajarkan Bapak pelan-pelan. Saya katakan setelahnya, berulang dan terus-menerus bahwa semua hal-hal tersebut bisa jadi membuat segala capaian saya ini jadi masuk kategori syirik kepada Allah.
Oleh karena itu, saya sangat akan membuktikan bahwa kemampuan Bapak ini salah. Salah satu yang saya lakukan adalah menikah dengan calon yang tidak direstui oleh Bapak.
Sampai kemudian prahara di usia pernikahan ke-15 yang tidak bisa saya cegah terjadi. Keluarga saya kolaps, hancur berantakan. Tiada tempat berlari selain kepada keluarga. Apa yang pernah ditakutkan oleh Bapak benar-benar terjadi. Cinta suami saya ternyata beralih ke lain hati.
Hal yang membuat saya jadi semakin bingung, siapa yang benar di antara kami selama ini? Saya yang ingin lepas dari kekuatan ilmu Bapak atau justru bapak saya?