MOJOK.CO – Duh, berita Cina kampanye anti-halal ternyata menunjukkan media kita masih bergantung pada referensi Barat. Baik itu Detik, Tempo, Kumparan, bahkan sampai NU Online.
Tampaknya, apa yang berkaitan dengan Islam versus komunis hampir bisa dipastikan akan selalu membikin riuh dan—tentu saja—laku. Apalagi kalau lakonnya ditambah satu lagi: si aseng Cina, baik negaranya maupun bangsanya.
Dijamin sudah, tingkat kekonyolannya bakal tak kalah saing dengan drama Pak Prabowo Subianto beserta laskar pembela agama sekelas Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah wa ṣahbihi ajma‘īn yang ramai-ramai “mau dibohongi pakai” pengeroyokan si cantik Ratna Sarumpaet.
Beberapa hari terakhir, misalnya, hampir semua portal berita daring arus utama tanah air seperti Detik, Tempo, Republika, Kumparan, dan banyak lagi yang lainnya, serempak menayangkan artikel soal Partai Komunis Cina yang—kata media-media tersebut—menggelar kampanye anti barang-barang halal di Xinjiang.
Kita tahu, Xinjiang adalah wilayah luas nan kaya sumber daya alam di Cina barat laut yang penduduknya mayoritas bersuku Uighur. Kebetulan, kaum Uighur di sana banyak yang beragama Islam. Meski mayoritas, namun bukan berarti semua penduduknya muslim. Dan, dilihat dari sejarahnya, Uighur yang semula umumnya menganut Buddha, baru beralih ke Islam setelah kerajaan-kerajaan Buddhis dibumihanguskan tentara-tentara muslim dari Kerajaan Islam di Xinjiang bagian selatan.
Jadi mesti diakui, berbeda dengan Islam di wilayah Cina lainnya, Islam di Xinjiang memang lekat dengan pemaksaan—untuk tidak bilang kekerasan—sejak baheula sampai sekarang.
Oke, kembali ke permasalahan awal. Terkhusus soal perkembangan Islam di Cina secara keseluruhan, terus terang SBY, eh saya, prihatin terhadap masih kelewat bergantungnya media nasional kita pada referensi-referensi dari tangan kedua. Maksudnya, bukan pada sumber-sumber primer mutawatir yang bersanad langsung dari Cina.
Maklum, boleh jadi hal demikian disebabkan oleh keterbatasan beberapa orang untuk memahami bahasa Cina—baik bahasa Cina modern maupun bahasa Cina kuno yang tak ada titik koma dan harakatnya ala Alquran rasm al-‘Ustmānī.
Atau, bisa saja ini dikarenakan bias ideologi yang menjadikan mereka meragukan independensi atau netralitas literatur-literatur asal Cina sehingga yang lebih dikedepankan ialah informasi-informasi dari media-media asing yang utamanya berbahasa Inggris.
Celakanya, pemberitaan media asing soal Cina—terlebih perihal daerah agamis yang sensitif semisal Xinjiang dan Tibet—cenderung migrain alias berat sebelah, karena tak jarang dibuat bombastis padahal melenceng dari keadaan sebenarnya akibat pengutipan yang sepotong-sepotong.
Celakanya, berita-berita gaduh ihwal Cina sejenis itu yang demen didaur ulang oleh media-media kita. Lalu, dimamahlah oleh masyarakat kita yang religius plus anti komunisnya masyallah tapi tingkat literasinya sangat menyesakkan dada.
Hal seperti itu terjadi terus sampai jadilah lingkaran setan: komunis dan Cina yang selalu layak dikambinghitamkan. Yang salah siapa? Jelas komunis, Cina, dan Jokowi yang dekat sama aseng! Siapa lagi kalau bukan mereka?
Dalam konteks berita tentang kampanye anti barang-barang halal di Xinjiang, contohnya, NU Online yang mengutip Reuters menulis, “Otoritas China meluncurkan kampanye anti produk yang berlabel halal di Provinsi Xinjiang dengan alasan untuk memerangi ekstremisme dan menghentikan pengaruh Islam dalam kehidupan sekuler di China.” Di “sebuah pertemuan pada Senin (8/10) lalu,” lanjutnya, “para elit Partai Komunis [Cina di] Urumqi Xinjiang memimpin para kadernya untuk bertekad bertarung melawan ‘pan-halalisasi’.”
Apa itu “pan-halalisasi”? Mboh! Yang penting heboh.
Padahal, jika media yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama itu—dan media-media yang melansir berita serupa—tidak grusa-grusu dan sudi bertabayun untuk menelusuri bejibun info valid bin sahih dari media berbahasa Mandarin, tak sulit menemukan eksplanasi detail bahwa tidaklah tepat menuding pemerintah komunis Cina “meluncurkan kampanye anti produk yang berlabel halal di Provinsi Xinjiang” atau pula di tempat lainnya.
Dan, kalau media-media ini mau meluangkan waktu sejenak membaca perubahan Peraturan Daerah Otonom Uighur Tentang Deradikalisasi (Xinjiang Weiwuer Zizhiqu Qujiduanhua Tiaoli) yang disahkan oleh “para elite Partai Komunis [Cina di] Urumqi Xinjiang” dalam “sebuah pertemuan pada Senin (8/10) lalu” itu, niscaya akan mafhumlah kita apa definisi “pan-halalisasi” yang termaktub di bab 2 ayat 6.
Baiklah, saya comotkan isi lengkapnya: “Fanhua qingzhen gainian, jiang qingzhen gainian kuoda dao qingzhen shipin lingyu zhi wai de qita lingyu, jie bu qingzhen zhi ming paichi, ganyu qita ren shisu shenghuo de.”
Terjemahan ugal-ugalannya kira-kira begini: “‘Pan-halalisasi’ yakni diperluasnya ruang lingkup konsep halal pada bidang selain produk konsumsi; dan laku mendiskriminasi juga mengintervensi kehidupan sekuler orang lain karena dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam.”
Kalimat itulah yang tidak dikutip utuh—kalau bukan dipelintir—oleh media-media Barat yang kemudian dimakmumi oleh media-media kita. Saya hakulyakin dari situ Tuan dan Puan bisa memahami bahwa yang akan dan sedang dilawan oleh pemerintah komunis Cina adalah menjamurnya kategorisasi halal yang tidak pada tempatnya.
Na‘am, pelabelan halal di Cina sekarang, persis seperti di Indonesia, mulai merambat secara liar pada benda-benda nonesensial yang tidak ada sangkut pautnya dengan makanan dan minuman, melainkan meluas pada pakaian, perabotan, alat elektronik, dan benda-benda mati lainnya.
Pemerintah komunis Cina menengarai, sembrononya dikotomi halal-haram itu merupakan salah satu tanda tumbuhnya benih-benih radikalisme dan ekstremisme agama. Sebaliknya, radikalisme dan ekstremisme agama dikhawatirkan menyuburkan Islamophobia di kalangan masyarakat Cina yang acap dicap kafir kafah karena hidup di negara ṭāġūt oleh mereka.
Pendek kata, kelompok radikalis dan ekstremis inilah yang intinya mau diganyang. Sebab, selain hobinya bikin keharmonisan di sini jadi terganggu, mereka—seperti tulis Profesor Beijing Foreign Studies University Xue Qingguo dalam esai bahasa Arabnya di harian Al-Hayat edisi 30 Agustus 2017—telah membuat:
“Citra Islam berubah dari agama yang terbuka ke yang tertutup, dari yang toleran ke yang intoleran, dari yang moderat ke yang ekstrem, dari yang memudahkan ke yang menyulitkan, dari yang pernah menorehkan prestasi luar biasa di semua cabang ilmu ke yang bahasannya tidak melebihi perihal jenggot, cadar (niqāb), pakaian, dan lain-lain.”
Pemerintah komunis Cina tak mau stabilitas dan keharmonisan negerinya diusik oleh para radikalis dan ekstemis walau dengan cara seremeh-temeh bagaimana pun.
Memangnya Tuan dan Puan mau Indonesia diganggu gerombolan para pembela agama garis kaku macam itu? Kalau enggak mau, selamat, berarti Tuan dan Puan sepemikiran dan layak jadi simpatisan aseng!