MOJOK.CO – Dengan bakat orasi yang ulung, ditambah orang Betawi itu sulit menolak kharisma keturunan Nabi, Habib Rizieq pun jadi punya tempat di mari.
“Rizieq Shihab pengikutnya nggak banyak juga dibandingkan dengan umat Islam seluruhnya di Indonesia.” Begitu ucap Pak Mahfud Sang Menko dalam salah satu wawancara.
Oke. Di satu sisi betul apa yang beliau katakan. Pakai statistik kasar saja, kita bisa tahu kok kalau yang bersimpati dengan Habib Rizieq amatlah jauh jika dibandingkan dengan ratusan juta umat muslim di bumi NKRI. Anggota dan simpatisan FPI mungkin tak sebanyak simpatisan NU dan Muhammadiyah.
Namun ada yang Mahfud MD lupa. Walau tidak banyak—menurut hitung-hitungan Pak Mahfud—namun pengikut Sang Habib punya daya militansi yang teramat tinggi dan siap membuktikan kecintaan mereka. Wabilkhusus di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Apalagi beliau selama ini dianggap tokoh yang dizalimi oleh pihak tertentu oleh para pendukungnya. Belum dengan narasi-narasi yang keluar dari Pemerintah seperti Pak Menko menjelang kepulangan Sang Habib terkesan sinis. Begitu juga serangan-serangan udara yang dilancarkan para buzzer.
Buat saya pribadi sebagai orang Betawi yang lahir, besar, hidup di Jakarta khususnya, dan umumnya warga Betawi lainnya, rasanya sulit untuk menepis kharisma keturunan Nabi. Lebih-lebih kalau sosok itu seterkenal Habib Rizieq.
Yah, harus diakui, saham mereka yang hijrah dari Yaman dalam proses islamisasi ke bumipoetra di Betawi ini bisa dibilang tidak sedikit.
Mereka yang hijrah ini lantas membangun pemukiman-pemukiman arab. Dari mulai Pekojan, Krukut, Kwitang, Tanah abang hingga Condet. Terutama Pekojan, kampung arab yang bisa dibilang kampung arab tertua di Batavia.
Selain interaksi perdagangan, interaksi transfer ilmu agama juga banyak ditemukan di wilayah-wilayah tersebut. Di Pekojan misalnya, ada Guru Majid yang namanya harum bagi masyarakat Betawi wilayah Jakarta Barat.
Bagi kami, sulit juga untuk tidak mengenal nama-nama semisal Habib Luar Batang, Habib Priok, Habib Usman bin Yahya, Habib Kwitang dan para habaib lainnya. Ada Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus atau yang masyhur dikenal Habib Luar Batang.
Habib Luar Batang sendiri merupakan salah satu pioner dakwah di wilayah pantai utara Jakarta. Makamnya dianggap keramat dan masih dikunjungi banyak orang hingga kini.
Uniknya, di samping makam beliau berada, ada makam seorang murid beliau yang bernama Abdul Kadir yang mempunyai nama asli Ne Bok Seng. Seorang keturunan Tionghoa yang menjadi murid sang habib karna luluh akan akhlaknya.
Ada juga nama Habib Usman bin Yahya seorang mufti Betawi pada masanya. Beliau termasuk ulama yang produktif. Salah satu karyanya adalah Sifat Dua Puluh Habib Utsman.
Sebuah kitab tipis tentang kajian ilmu akidah yang mungkin setiap anak Betawi pernah mendengar kajiannya dalam majelis-majelis taklim pimpinan ustaz-ustaz mereka.
Ada juga nama Habib Kwitang yang mungkin paling junior di antara habaib yang telah saya sebut tadi. Dari majelis beliau di Kwitang, banyak lahir ulama-ulama besar Betawi pada zamannya. Sebut saja K.H. Abdullah Syafei, K.H. Tohir, dan lain-lain. Bahkan Gus Dur sewaktu kecil pernah disebut-sebut beberapa kali datang ke majelis Habib Kwitang, diantar oleh ayahnya K.H. Wahid Hasyim.
Untuk yang mengaku-ngaku Betawi asli, sekali lagi sulit buat yang merasa dirinya Betawi untuk tidak pernah mengunjungi makam minimal salah satu dari tokoh-tokoh tersebut.
Pengaruh budaya arab yang dibawa oleh para hadromi ini juga sangat kental dalam budaya Betawi. Dalam budaya pernikahan misalnya. Pengantin laki-laki akan dipakaikan sorban yang sudah jelas merupakan budaya yang dibawa orang-orang arab.
Ditambah lagi dalam tradisi palang pintu ketika hendak menikah. Biasanya keluarga pengantin perempuan akan meminta dua syarat kepada keluarga laki-laki. Yang pertama silat dan yang kedua pembacaan rawi. Rawi dalam istilah Jakarta adalah pembacaan selawat, bait syair dalam kitab-kitab maulid.
Pesona para habaib makin bersinar di wilayah ibukota dan sekitarnya ketika munculnya majelis-majelis selawat yang dipimpin oleh para habaib muda. Sebut saja Majelis Rasulullah-nya almarhum Habib Munzir al Musawa. Ada lagi Majelis Nurul Mustofa-nya Habib Hasan bin Jafar Assegaf.
Adapun habib yang namanya tidak boleh disebut di Facebook itu sudah terdengar sebelum masa-masa munculnya majelis selawat tadi.
Saya pertama kali akrab dengan nama beliau pada tahun 2008. Saat itu beliau ditangkap aparat pasca-kericuhan aksi AKKBB di silang Monas. Jujur, waktu itu saya termasuk yang ikut berunjuk rasa di depan Mapolda Metro Jaya.
Bagi orang Betawi, sosok seperti Habib Rizieq, suka tidak suka, diakui memang punya kemampuan orasi yang begitu ulung. Penguasaan komunikasi massa-nya sangat luar biasa.
Saya tahu betul karena sebelum akhirnya saya merantau ke luar Jakarta, saya lumayan sering ikut majelis-majelis taklim yang mengundang beliau dalam perayaan maulid. Ketika beliau datang biasanya para jamaah yang hadir akan berdiri dan menyenandungkan “tholaal badru alayna”.
Ketika mulai berorasi, suara Habib Rizieq begitu menggelegar. Semua mata secara auto-pilot akan memandang ke arahnya dan telinga akan berkonstrasi pada suaranya. Semua mulut akan diam begitu petuahnya menggema.
Hadirin yang mengantuk seketika akan hilang rasa kantuknya. Cara komunikasi beliau yang menggebu-gebu—harus diakui—jadi salah satu kuncinya.
Saya juga pernah datang di acara salah satu milad FPI di markas besarnya Petamburan. Padahal saat itu turun hujan. Namun hadirin yang datang tetap mengikuti jalannya acara walau badan dibasahi air yang turun dari langit.
Kharisma Habib Rizieq yang besar tentu juga didapat dari perannya sebagai “tangan” umat dalam mencegah hal-hal yang munkar. Bagi FPI, biarlah mereka menanggung resiko sebagai garda terdepan umat dalam merespons kemaksiatan di wilayah ibukota. Apalagi sudah maklum adanya beking aparat dalam kantong-kantong yang “dianggap” sebagai sumber penyakit masyarakat.
Biarlah mereka diframing media sebagai ormas barbar. Padahal dalam tiap aksinya mereka selalu punya SOP yang harus diikuti. Seperti misalnya, tidak boleh beraksi kecuali masyarakat yang meminta dan aparat yang ada sudah tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya.
Ketika akhirnya banyak yang mencemooh mereka untuk lebih tertib dan konstitusional dalam perjuangannya, FPI bersedia dan tidak menolak. Mereka pernah menggugat Kepres lewat jalur MA terkait peredaran miras. Walau sempat memenangkan gugatan, toh akhirnya Pemerintah tetap membuat peraturan baru guna mengakali keputusan MA.
Ditambah lagi, di mata orang Betawi, peran Habib Rizieq melalui ormas yang dipimpinnya sering mendampingi masyarakat korban-korban ketidakadilan: wabilkhusus di Jakarta. Jangan tutup mata kalau memang ada laskar FPI yang beberapa kali terlihat mendampingi warga korban penggusuran.
Belum lagi korban-korban bencana tahunan semisal banjir dan sebagainya. Setiap ada bencana bisa dipastikan ada relawan-relawan berkaos putih dengan logo FPI di dadanya entah membawa nasi bungkus atau membantu evakuasi korban.
Mereka bukanlah relawan parpol yang punya kepentingan dalam setiap momen pemilihan. Mereka hanyalah sekumpulan manusia yang peduli akan nasib saudaranya dan tawadhu’ pada gurunya. Walaupun para penyinyir akan selalu mengatakan bahwa mereka adalah pengangguran-pengangguran ibukota.
Nama Habib Rizieq makin melambung ketika peristiwa aksi 411 dan 212. Dari situ pula sebagian kaum muslimin mengangkat beliau sebagai imam besar mereka. Usai aksi yang bisa disebut sebagai aksi massa terbesar di Indonesia setelah Reformasi 1998 itu, makin bertambah orang-orang yang bersimpati terhadap beliau—sekaligus makin banyak juga yang tidak suka dengan beliau.
Andai saja narasi yang keluar menjelang beliau pulang lebih welcome atau minimal sejuk. Atau aparat lebih tajam daya ciumnya. Entah memang kecolongan atau disengaja. Aparat keamanan terutama intelijen tampak tidak berdaya dalam mengantisipasi ribuan muhibbin atau pecinta beliau datang untuk menjemput langsung di bandara.
Saya pribadi sangat menghormati orang yang menganggap sang habib sebagai imam besar mereka. Begitu pun rasa hormat saya berikan kepada mereka yang tidak menjadikan sosok beliau sebagai panutan.
Namun, rasa hormat saya habis kepada mereka yang menjadikan sosok beliau sebagai imam, sambil menjelekan tokoh atau ulama lainnya. Begitu pula kepada mereka yang tidak menganggap beliau sebagai tokoh mereka, sembari nyinyir ke beliau dengan cara komunikasi yang melecehkan.
BACA JUGA Habib Rizieq Buka Kemungkinan Dialog dan Rekonsiliasi dengan Pemerintah dan tulisan Dinar Zul Akbar lainnya.