MOJOK.CO – “Wahai Amirul Mukminin, hamba adalah seorang badui udik dari padang pasir. Hamba sudah mengenal segala jenis air di padang pasir. Suatu hari hamba menemukan suatu air yang punya rasa istimewa. Ia sungguh air yang berbeda dan tidak mungkin ada di bumi lain. Ia adalah ‘air surga’.”
Syahdan ada seorang badui bernama Harits dan istrinya Nafisa yang sehari-hari menjalani kehidupan di dataran luas padang pasir. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Di tempat pohon kurma adalah pilihan mereka untuk mendirikan tenda mereka yang sederhana karena di sana, biasanya terdapat oase. Pada tempat semacam itu Harits dan istrinya akan memuaskan dahaga sementara unta mereka dilepaskan untuk makan rumput dan semak-semak di bawah pohon.
Harist dan Istri akan tinggal untuk beberapa hari. Setelah dirasa cukup, mereka melanjutkan perjalanan, berpindah ke tempat lain, kemudian berhenti lagi di tempat yang sejenis untuk tinggal sebentar. Begitu seterusnya. Sungguh suatu siklus hidup yang terus-menerus diulang.
Harits dan istri menyelingi putaran berulang hidup mereka dengan menangkap hewan sejenis tikus-tikusan di padang pasir untuk diambil kulitnya serta membuat tali-temali dari serat atau serabut pohon kurma yang akan dijual kepada rombongan karavan yang lewat. Dengan cara itulah mereka memenuhi kebutuhan dan menjalani hari-hari secara rutin.
Suatu hari, saat pohon-pohon mulai bertunas di musim semi padang pasir yang tandus, ia berhenti di tempat baru yang belum pernah ia singgahi. Ia membiarkan untanya berjalan mencari makan di bawah pohon kurma, sedangkan Harits menuju oase di dekatnya dan meminum air oase tersebut.
Ia merasa air yang kali ini berbeda dari biasanya. Rasanya sedikit agak asin alias payau. Ia membatin, jangan-jangan ini “air surga”. Ia tidak tahu air ini sebenarnya biasa aja dan di beberapa tempat lain orang bisa menemukannya dengan mudah. Bahkan jika dilihat secara telanjang, air ini kotor karena bercampur dengan tanah. Namun, Harits menyakini air ini berbeda dan bernilai tinggi.
Air ini harus aku tawarkan dan jual pada orang yang pantas menghargainya, batinnya.
Harits dengan keyakinan tersebut bersiap-siap menuju Kota Baghdad untuk menemui Khalifah Harun Al-Rasyid. Setelah mengikuti satu rombongan, sampailah ia di kota itu. Ia segera menuju pintu gerbang istana dan kemudian diantar penjaga istana menghadap Sang Raja. Setelah bertatap muka dengan Sang Khalifah, Harits mengutarakan maksudnya.
“Wahai Amirul Mukminin, hamba adalah seorang badui udik dari padang pasir. Hamba sudah mengenal segala jenis air di padang pasir. Suatu hari hamba menemukan suatu air yang punya rasa istimewa. Ia sungguh air yang berbeda dan tidak mungkin ada di bumi lain. Ia adalah ‘air surga’. Dengan membawa ‘air surga ini ke hadapan Paduka, hamba ingin menawarkan kepada Paduka untuk membelinya. Hamba akan memberikannya jika Paduka memberi saya sekantung emas. Hamba tidak memberinya dengan ganti receh-receh dirham yang tak sebanding dengan nilai air ini.”
Khalifah yang bijaksana itu menjawab, “Baiklah, aku akan membelinya. Namun, aku harus memastikan keistimewaan air ini dan oleh karena itu, kau harus tinggal di penjara istana untuk sementara. Setelah aku memeriksa kebenarannya barulah kamu akan segera kulepaskan.”
Akhirnya Harits menyetujui syarat yang diajukan Sang Khalifah. Ia kemudian diantar pengawal kerajaan menuju penjara.
Setelah si badui hilang dari pandangan mata Khalifah, ia memanggil kepala pengawal istana dan berkata,
“Sebenarnya aku tahu ini air payau yang biasa saja, bahkan kotor. Dan ini tak seberapa bernilai. Namun, mungkin bagi si badui air ini adalah segalanya. Aku perintahkan kepadamu, antarlah orang badui ini kembali ke tempat asalnya di padang pasir sana. Bawalah dia pada saat malam hari agar jangan sampai ia melihat Sungai Tigris. Temani dia hingga sampai ke tempat asalnya. Dan jaga jangan sampai si badui merasakan air manis yang tersedia di warung dan tempat-tempat lainnya. Lalu berilah dia ribuan keping emas sebagai ungkapan rasa kasihku atas pengabdian dan jasanya kepada raja. Katakan padanya, ia adalah penjaga ‘air surga’ dan ia mendapat wewenang untuk mengelola sumber air tersebut. Ia juga diperbolehkan melayani para pelancong yang menyinggahinya, yakni sebagai seorang pejabat istana dan diberi wewenang pengelolaan atas nama raja. Ia benar-benar diberi kebebasan untuk menjalaninya.”
Dinukil, disadur, dan dikembangkan dari Idries Shah Tale of Dervish, 1969.
Baca edisi sebelumnya: Apa yang Membatasi Manusia? Pikirannya Bahwa Ia Sudah Sampai di Batas dan artikel kolom Hikayat lainnya.