MOJOK.CO – “Sumpah Pemuda tak hanya bicara soal persatuan tapi juga tabir asmara dua pemuda utamanya, Mohammad Yamin dan Wage Rudolf Supratman.”
Tujuh belas 17 tahun sebelum negara ini lahir secara resmi, lagu kebangsaan dan bahasa sudah terlebih dahulu diciptakan. Dalam penciptaan lagu kebangsaan dan bahasa itu, ada dua nama yang terpacak kuat: Wage dan Yamin. Dua-duanya di tahun 1928 berumur 25 tahun. Dua-duanya sastrawan. Wage prosais-cum-komponis, Yamin penyair-cum-ahli hukum. Yang mempersamakan keduanya adalah status lajang.
Yamin di tahun itu jelas terlibat pacaran dengan Siti Sundari. Adapun Wage, ini misterinya, punya cem-ceman bernama Salamah yang jauh setelah tarikh ini tak satu pun keluarga Wage mengakui bahwa si nona adalah istri sahnya.
Dua hari sebelum Kongres Pemuda di Weltevreden, Batavia, Yamin sudah bikin puisi “Indonesia Tumpah Darahku”. Puisi 88 bait itu pertama kali diterbitkan N.V. Nusantara. Wage juga, konon, membawa lirik lagu Indonesia Raya yang tak jadi diperdengarkan kecuali instrumentalianya saja. Di Minggu pagi itu, Yaminlah yang bikin kesimpulan kongres dari para pembicara menjadi tiga poin yang kemudian oleh Sukarno pada tahun ’50-an diringkas sebutannya menjadi “Sumpah Pemuda”.
Yamin sangat bersemangat di kerapatan pemuda dari berbagai jong itu karena kehadiran gebetannya, orang yang membuatnya mempelajari Jawa di atas rata-rata orang Minangkabau. Ada empat nona yang hadir dalam kongres itu. Satu di antaranya adalah Nona Sundari. Si nona bangsawan asal Demak, Jawa Tengah, ini berusia dua tahun lebih muda dari Yamin dan Wage. Yamin berkenalan dengan Sundari saat di Surakarta. Hubungan itu makin lengket saat Sundari pindah ke Bandung dan Yamin sekolah hukum di Batavia. Sementara itu, Wage juga pindah ke Bandung dari Makassar.
O, Bandung. Kota Bandung itu, Bung dan Nona, oleh generasi Wage-Sundari-Yamin dikenal sebagai kota pergerakan, tapi oleh generasi milenial terkini kerap dipelesetkan menjadi kota lautan asmara.
Kembali ke pangkal soal. Dalam cerita bawah tanah pergerakan dan jurnalistik, nama “Siti Sundari” ini cukup mentereng. Bukan karena nama ini dipakai novelis Eka Kurniawan sebagai “nama samaran” ketika bikin sampul buku (sampul Cantik Itu Luka cetakan AKY/Jendela dibuat “Siti Sundari”), tapi juga karena ia Srikandi yang diperebutkan banyak aktivis.
Nama ini oleh sejarawan partikelir penulis Karya-Karya Lengkap Marco Kartodikromo, Agung Dwi Hartanto, konon merupakan “target” asmara Mas Marco. Nama “The Girl” di Doenia Bergerak, misalnya, ditengarai sebagai “Siti Sundari” yang juga seorang penulis berbakat lulusan kelas diklat Tirto Adhi Soerjo di Bandung. Nama “Siti Sundari” ini juga tercatat sebagai pewaris semangat koran pertama perempuan Poetri Hindia yang ketika hancur kemudian hidup kembali dengan nama baru Poetri Merdeka.
Siti Sundari yang di tahun belasan sudah melejit namanya itukah yang menjadi Srikandi di Kongres Pemuda 1928? Atau, Siti Sundari itukah yang menjadi pembicara utama di Kongres Perempuan dan dengan lugas memakai bahasa Indonesia dua bulan setelahnya di Yogyakarta dengan makalah berjudul “Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia”? Siti Sundari itukah yang garang di forum dan melabrak siapa pun yang membenarkan poligami di usianya yang masih belia, 23 tahun?
Saya perlu kerja keras untuk menyambung narasi itu. Bukan di tulisan ini, lain kali saja.
Tapi, di narasi bawah tangan, terkisahkan bahwa Nona Sundari diberi Wage yang datang bersama Nona Salamah kertas berisi lirik lagu Indonesia Raya yang tak jadi diperdengarkan ke orang banyak itu. Jadi, pendek kata, Nona Sundari adalah orang kedua yang tahu lirik Indonesia Raya itu.
Di sinilah missing link sejarah itu.
Jika bukan sosok “istimewa”, mengapa Wage memberikannya kepada Sundari? Atau, justru Sundari yang menyerahkannya kepada Wage?
Dari siapa?
Nah, lirik Indonesia Raya, bagi mereka yang membaca secara saksama, jelas sealur dengan puisi-puisi Yamin. Diksi di lagu Indonesia Raya dengan mudah kita temukan pada puisi “Tanah Air” (1920) dan “Indonesia Tumpah Darahku” (1928).
Spekulasi sejarah berkembang, ada campur tangan Sundari dalam penciptaan lirik Indonesia Raya itu. Dengan “kekuasaan” yang dipunyainya, mudah saja Sundari “memaksa” penyair Yamin untuk “menyumbangkan” kata buat instrumentalia “ciptaan” Wage.
Diksi Indonesia raya, tanah air, tumpah darah, tanah mulia, badan, jiwa bisa dengan mudah kita temui dalam puisi “Indonesia Tumpah Darah” yang di halaman persembahan Yamin tuliskan seperti ini: “sambutlah karangan ini sebagai buah tanganku kepada kekasih jang kutjintai.”
Kekasih yang kucintai itu, jelas, pacarnya. Dan, Yamin sedang lengket-lengketnya dengan Sundari; si nona yang Wage ‘serahi’ kertas berisi lirik Indonesia Raya.
Tak ada sejarah yang akurat yang menghubungkan asmara ketiga orang muda itu dalam arus sejarah pergerakan ini. Namun, ada yang pasti, Yamin, si penyair asal Talawi ini, menang banyak. Sementara itu, Wage kalah banyak. Wage adalah sejarah pemuda yang mengalami kehidupan nelangsa. Hidupnya sungguh-sungguh berat.
Dari soal nama. Namanya pendek saja, Wage. Dinamakan begitu karena ia lahir pada kalender pasaran Jawa, Wage, atau Senin di kalender Masehi. Ia lahir di Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Namun, akte yang disimpan di Arsip Nasional RI tertulis lahir Meester Cornelis (Jatinegara, Batavia). Mana yang betul?
Agar bisa masuk sekolah Belanda, Europese Lagere School (ELS), nama Wage yang “ndeso” itu tak cukup kuat. Maka ditambahkanlah Rudolf supaya terkesan “gagah” dan “indo”. Penulis sejarah St. Sularto (1983: 78) sih bilang, Wage orangnya gaul dan suka foya-foya. Namun, titik balik itu terjadi empat warsa sebelum 1928. Ia menjadi aktivis dan jurnalis sebagai pengabdian, sementara musik sebagai passion. Ia biasa mengikuti rapat-rapat PNI dan diskusi politik bersama berbagai studi klub, tapi gampang juga ditemui saat “ngamen” di Gedung Societeit Bandung; kota yang sama di mana Sundari menjadi Srikandi merah muda yang menonjol.
Namun, ada yang hilang dari Wage. Ia tak bahagia dalam asmara. Cerita asmaranya dalam buku-buku biografi tipis, baik susunan Bambang Soelarto (1980) maupun Soebagijo I. N. dalam bahasa Jawa yang diterbitkan Panjebar Semangat (1952), terkesan nelangsa. Misalnya, hingga wafatnya pada 17 Agustus 1938, Nona Salamah tak pernah diakui pihak keluarga sebagai istri sah Wage. Keluarga bahkan yakin Wage wafat dalam status “bujangan”. Artinya, Wage wafat kesepian di tahun yang sama saat Yamin dan Sundari menikah.
Baca baik-baik. Yamin dan Sundari mengucapkan ijab kabul dan sah sebagai suami istri pada 1937. Di tahun-tahun itu, Wage sudah berpindah ke sana kemari; dari rumah kakaknya yang satu ke kakaknya yang lain. Dari Cimahi, Jakarta, ke Surabaya. Ia seperti kehilangan tujuan hidup.
Saat Sundari dan Yamin hidup penuh cinta dan kebahagiaan—Yamin memanggil Sundari dengan Rainah, Sundari memanggil Yamin dengan Yayah—Wage hidup dalam kesepian dan sakit batuk tak bertara. Nyaris kehilangan sandaran jiwa. Apalagi, Belanda menangkap dan membuinya dengan tuduhan memuji-muji Jepang lantaran lagu ciptaannya, Matahari Terbit.
Namun, versi Soebagjo I. N. (1952) disebutkan, derita utama yang menghancurkan Wage adalah soal asmara. Di buku tipis Soebagijo itu tercetak pengakuan Wage: “Aku tak bahagia dalam soal cinta.” Kutipan tepatnya:
Wage: “Mas. Aku iki kena diarani sawidjining titah kang tjilaka?”
Supardi: “Elhoo, titah kang tjilaka keprije, ta?”
Wage: “Ija! Merga aku rumangsa ora kabegdjan ing ndalem katresnan.”
Kerjaan Wage di bulan-bulan 1938 itu melamun saja dan main biola di teras. Kalau pemuda gagal move on sekarang ya gitaran sepanjang hari sepanjang malam. Wage tak mau bercerita kepada siapa pun siapa wanita yang merampas harapan hidupnya. Semua ia tutup rapat. Bahkan kepada sahabatnya Imam Supardi.
Tulis Soebagjo I. N. (hlm 26): “Supratman emoh nerangke, sapa baja wanita kang bisa gawe gondjinging djiwane mau. Wanita endi, putrane sapa, Supratman gemang ngandarake. Lan, katresnan kang disimpan rapet ana ing talenging atine mau mbokmanawa bae kang ndjalari deweke tansah meneng, tansah nggagas, perihing atine disandang dewe, ora arep dituduhake lijan.”
Cinta bertepuk sebelah tangan dengan Sundari? Entahlah, hanya sejarawan bersertifikat yang bisa menjawab ini. Wage saja tak mau menceritakannya sama Supardi. Saya ini, apalah, apalah. Selain penulis “sejarah” partikelir, saya juga sekadar penulis novel yang begitu-begitu deh.
Wage betul-betul kalah banyak dalam sejarah, walau namanya abadi sebagai pencipta anthem Republik Indonesia. Namanya sudah disebut ketika WNI masih duduk di tingkat sekolah dasar. Sementara di sisi lain, Yamin mendapat begitu banyak. Sangat banyak. Ataukah, Indonesia Raya itu sesungguhnya kertas dari “asmara segitiga” pemuda Yamin-Sundari-Wage? Hambuh.