MOJOK.CO – Prof. Mr. Dr. Soepomo atau Supomo dikenal sebagai ahli hukum Indonesia. Dia adalah Menteri Kehakiman ke-1 Indonesia dan juga perancang Undang-Undang Dasar 1945 bersama Sukarno dan Muhammad Yamin. Tulisannya kali ini menyoroti tentang kedaulatan Indonesia. Esai-esainya tentang hukum Indonesia banyak menghiasi media saat itu.Â
Rektor Universitas Indonesia ke-2 ini mendapat kesempatan mendalami ilmu hukum di Belanda dengan bimbingan Cornelis van Vollenhoven pada 1924-1927. Esai ini ditulisnya di Mimbar Indonesia 26 Februari 1949.
Penyerahan Kedaulatan
Oleh: Prof. Mr. Dr. Soepomo
Baru-baru ini Pemerintah Belanda menyatakan dalam sidang Tweede Kasmed di Den Haag, bahwa ia menyetujui dalam prinsip, sebuah Rencana Beel, yang pada asasnya mengenai hal-hal yang berikut.
- Negara Indonesia Serikat akan diberi nama Republik Indonesia Serikat.
- Penyerahan kedaulatan akan diselenggarakan selekas-lekasnya: Pemerintah Belanda bersedia untuk membantu melaksanakannya, apabila sudah dibentuk suatu pemerintah federal yang representatif.
Dalam pada itu statuut Uni Belanda-Indonesia harus sudah diadakan sebelum dilangsungkan penyerahan tersebut, demikian pula perjanjian-perjanjian yang tertentu (tentang keuangan, ekonomi, militer) harus sudah diadakan. Sesudah dilakukan penyerahan kedaulatan ini, maka Indonesia dapat melanjutkan pembinaan tata negaranya.
- Sesudahnya pemerintah federal dibentuk, maka di Den Haag akan diadakan konferensi meja bundar antara segala golongan yang bersangkutan.
Pemerintah Belanda bersedia menerima pula Komisi PBB di Den Haag untuk membantu tercapainya persetujuan.
Menurut rencana tersebut, penyerahan kedaulatan, yang mestinya, menurut rancangan semula dari Belanda, dijanjikan akan dilakukan dalam tahun 1950, telah akan dijalankan dalam tahun ini, bahkan katanya telah akan dijalankan dalam bulan Mei 1949.
Dilihat dengan sepintas lalu, perubahan plan-Belanda ini adalah mengagumkan, adalah sangat radikal, terutama jika kita mengingat, bahwa senantiasa dikemukakan oleh Belanda, baik di dalam perdebatan di sidang-sidang Dewan Keamanan, maupun di dalam perundingan Republik-Belanda dan didalam konperensi-konperensi antara Belanda dan kaum federalis bahwa “law and order”, ketenteraman dan ketertiban umum harus terjamin dahulu sebelumnya kedaulatan atas Indonesia dapat diserahkan.
Rencana semula ialah baru sesudahnya situasi politik di Indonesia distabilisir, akan diadakan pemilihan umum guna membentuk Konstituante yang akan menentukan Konstitusi Negara Indonesia Serikat. Pun banyak perubahan-perubahan undang-undang harus dilakukan sebelumnya Negara Indonesia Serikat dapat dilahirkan. Sekarang program ini akan dibalik belaka, kedaulatan akan diserahkan dahulu, Negara Indonesia Serikat akan dilahirkan dan baru sesudahnya akan diadakan pemilihan umum, dan akan dibentuk Konstitusi.
Apakah segala sesuatu ini dapat diselenggarakan dan apakah segala alasan-alasan yang dahulu diajukan oleh Belanda untuk membuktikan, betapa sukarnya dan betapa lamanya waktu yang diperlukan guna penyerahan kedaulatan itu seketika tidak berlaku lagi, bahkan apakah alasan alasan tersebut adalah ternyata palsu?
Pertanyaan-pertanyaan ini dengan sendirinya timbul dari hati sanubari tiap-tiap orang yang memperhatikan soal Indonesia, dan memang benar pertanyaan-pertanyaan itu ada pada tempatnya jikalau……., ya, jikalau penyerahan kedaulatan yang dimaksudakan dalam plan-Beel itu sama artinya dengan pernyerahan kedaulatan, yang dirancangkan pada tahun 1950.
Disinilah letaknya soal, memang pertanyaan yang harus dijawab, ialah apakah sebenarnya isi penyerahan kedaulatan menurut plan-Beel, yang akan dilakukan dalam bulan Mei 1949.Â
Kedaulatan atas sesuatu negara tidak lain ialah kekuasaan tertinggi atas negara tersebut. Sesuatu bangsa dapat dianggap sungguh merdeka, jika kekuasaan tertinggi atas tanah airnya berat di tangannya sendiri, dan kekuasan tertinggi ini mengenai segala lapangan hidup kenegaraannya, politik, keuangan, ekonomi dan militer.
Memang benar, para negara modern di dunia telah menggabungkan dirinya dalam beberapa ikatan internasional seperti Serikat Bangsa-Bangsa, Benelux, Liga Arab dan lain-lain, sehingga dalam beberapa hal kedaulatannya adalah terbatas, akan tetapi ikatan-ikatan tersebut adalah dijalankan atas kemauannya para anggota sendiri.
Pada hakekatnya UNO serta badan-badan internasional lainnya bukan merupakan suatu superorganisasi yang memegang kekuasaan tertinggi atas negara-negara anggotanya. Jika misalnya UNO mengambil suatu keputusan, yang mengenai suatu negara, maka negara itu akan menetapkan sendiri sukanya tentang taat atau tidaknya kepada keputusan tersebut. UNO, Benelux, Liga Arab dan lain-lain ikatan internasional ini adalah tidak bersifat “staat”; para anggotanya adalah tetap berdaulat atas nasibnya sendiri-sendiri.
Kedaulatan demikian itulah yang dikehendaki oleh para nasionalis Indonesia. Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat berarti suatu negara yang memegang kekuasaan tertinggi dan pertanggung jawab yang terakhir atas dirinya di tangannya sendiri berarti suatu negara yang bertanggung jawab 100 persen atas ketentraman dan ketertiban serta perdamaian sosial di dalam daerah kekuasaannya dengan sonder diawasi oleh negara lain.
Kedaulatan bulat ini tidak bertentangan dengan konsepsi Uni Belanda-Indonesia, asal saja, Uni itu hanya berupa suatu ikatan internasiona belaka sedang kekuasaan tertinggi atas Indonesia akan tetap dipegang oleh Pemerintah dan parlemen federal Indonesia.
Menurut kabar-kabar yang diumumkan penyerahan kedaulatan pada bulan Mei 1949 yang dimaksudkan dalam plan-Beel itu, tidak bermaksud penyerahan segala kekuasaan dan segala pertanggung jawab atas Indonesia kepada Pemerintah Federal, melainkan Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda masih akan bertanggungjawab atas “law and order” di Indonesia, dan Belanda masih akan campur tangan dalam pemerintahan dengan hak-hak istimewa.
Berhubung dengan itu, plan-Beel ini tidak lain ialah hanya suatu transformasi belaka dari program Belanda semula yang menghendaki adanya pemerintah intern dahulu waktu kedaulatan tas Indonesia masih dipegang Belanda dan yang menghendaki penyerahan kedaulatan sebagai langkah yang terakhir, sesudahnya segala persediaan (pemilihan umum, konstitusi dan lain-lain) telah dijalankan. Antara plan-Belanda semula dan plan-Beel tidak ada perbedaan prinsipil.
Penyerahan kedaulatan sebagai langkah pertama dalam plan-Beel pada hakekatnya adalah bukan penglepasan kedaulatan dari tangan Belanda, dan oleh karena kekuasaan sesungguhnya terhadap nasib bangsa dan tanah air kita masih akan dipegang oleh Belanda sendiri.
Jika tidak keliru, Pemerintah federal Indonesia yang – menurut plan-Beel – dalam bulan Mei 1949 akan menerima kedaulatan dengan menandatangani “perjanjian sementara” dengan Belanda itu pada hakekatnya sama kedudukannya dengan Pemerintah Interim dalam rancangan semula, sedang Indonesia baru akan merdeka dan berdaulat benar-benar pada waktu “perjanjian sementara” ini diganti oleh “perjanjian tetap” dalam tahun 1950. Plan-Beel dan konsepsi Belanda semula adalah pada hakekatnya sama, hanya namanya berlainan!
Sungguhpun begitu, segala sesuatu tidak berarti, bahwa kita harus menolak Plan-Beel semata-mata! Hanya kita, para nasionalis Indonesia, baik federalis maupun republikein, harus waspada! Dalam mempertimbangkan plan-Beel, atau plan lain dan plan apapun, yang mungkin diajukan oleh pihak sana, kita harus memperhatikan benar-benar, apakah isinya dan artinya plan itu, janganlah kita dapat tertarik belaka oleh etiket-etiket yang bagus yang diberikan kepada usul-usul yang isinya tak sesuai dengan namanya etiket itu.
Bagaimanapun juga, satu pegangan yang harus kita pertahankan adalah resolusi Dewan Keamanan yang harus dijalankan oleh segala golongan yang bersangkutan, sedang soal Indonesia akan tetap bersifat soal internasional yang tetap menghendaki ikut sertanya Komisi PBB dalam segala perundingan resmi dan segala persetujuan dikemudian hari, sampai waktu kedaulatan betul-betul (bukan hanya namanya saja) diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.
Penulis: Prof. Mr. Dr Soepomo
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mochtar Lubis, Manusia, Pengarang, dan Hati Nurani Bangsa dan tulisannya di Rubrik ESAI.