MOJOK.CO – Berita meninggalnya Arief Budiman (3/01/1939-23/04/2020) memukul batin bagi banyak orang. Idola banyak pihak, khususnya generasi 1990an di Indonesia.
Ada sebuah tulisan Arief Budiman yang perlu diingat. Katanya, hadirnya penjahat maupun pahlawan ditentukan oleh kebutuhan masyarakat. Bukan kualitas orang yang bersangkutan. Karena semua orang ada baik dan kekurangannya.
Ia memberi contoh Arief Rahman Hakim yang mati tertembak dalam demonstrasi mahasiswa (Angkatan 66) anti-pemerintahan Sukarno. Kata Arief, waktu itu dibutuhkan pahlawan. Ketika Arief Rahman Hakim tertembak mati, ia diangkat jadi pahlawan. Padahal para demonstran tidak ada yang kenal dia. Setengah bercanda, Arief menambahkan: mungkin ia tertembak karena terlambat tiarap. Atau ada peluru kesasar.
Dengan wawasan itu, saya mencoba mengenang Arief.
Kawan dekat
Setelah sembilan tahun merantau di Eropa dan Amerika Serikat, Arief Budiman kembali ke Indonesia tahun 1980. Ia menjadi dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), ketika universitas di Salatiga itu sedang mendaki prestasinya. Saya sendiri baru lulus di UKSW dan diangkat jadi dosen muda di sana. Saya termasuk yang paling awal menyambut kedatangannya di Salatiga.
Sejak itu kami berkawan sangat akrab, hingga kami meninggalkan Indonesia. Saya bekerja di National University of Singapore (1996). Arief di Universitas Melbourne (1997). Tahun 2000 saya bergabung kerja dengan Arief di Universitas Melbourne hingga tahun 2009, ketika saya berpindah kerja ke Australian National University. Sedangkan Arief sudah pensiun tahun 2006.
Lebih dari seperempat abad itu kami bukan hanya bekerja sama dari dekat. Selain rekan-sejawat, ia kawan dekat dan mentor saya. Sebagai kawan akrab, kami saling berbagi hal-hal yang sangat pribadi. Itu sebabnya, walau berminat, tidak mudah bagi saya menuliskan sebuah obituari tentang Arief. Teramat banyak yang saya tahu dan tidak tersusun. Sulit untuk ditulis secara rapi dan pendek.
Namun, obituari tentangnya dibutuhkan banyak pihak. Seperti sosok tokoh penjahat/pahlawan yang dibutuhkan zamannya, obituari ini jelas penyederhanaan terhadap sosok Arief yang saya kenal.
Aktivisme total
Kesan paling kuat tentang Arief Budiman yang saya simpan adalah sosoknya sebagai aktivis dan intelektual publik. Berbeda dari kebanyakan aktivis, Arief berjiwa aktivis sedalam-dalamnya dan nyaris seumur hidup.
Bagi banyak orang, menjadi aktivis adalah status sementara. Identitas mereka dituntut berubah. Karena usia yang bertambah, juga peluang, kebutuhan dan kondisi hidup berubah. Mereka berkeluarga, menjadi ayah/ibu, bekerja sebagai pegawai, tentara, ulama atau pengusaha misalnya.
Arief berbeda. Ia tetap aktivis hingga masa tuanya. Dalam hal ini, ia mahluk langka. Aktivis dari satu generasi ke generasi berikut datang dan pergi, dengan masa aktivisme berusia-pendek. Arief dekat dengan mereka semasa jadi aktivis dan sesudah mereka menjadi pejabat atau pengusaha.
Arief menjadi tokoh aktivis legendaris, karena dianggap murni, tanpa pamrih kekuasaan, dan setia pada idealisme. Sebagai aktivis yang berjiwa muda, ia juga mengidap romantika kaum muda anti-kemapanan. Seperti Rendra muda di masa yang sama. Arief muda juga aktif dalam dunia seni.
Sejak kembali ke Indonesia, ia murah berbagi waktu dan pengetahuan dengan para aktivis muda. Bila ada yang ditahan pihak aparat keamanan, Arief rajin memberikan pembelaan dan bantuan. Suaranya lantang menggema berlipat ganda di berbagai media cetak arus utama. Legitimasinya menguatkan pesan moralnya.
Bukan sekedar dalam semangat, juga dalam berbusana Arief tampil ala aktivis muda. Bajunya itu-itu saja. Jumlahnya tidak banyak, dipakai berkali-kali. Tutur bahasanya sederhana. Ia suka humor. Ia memilih gaya hidup yang disebutnya “kiri dan kere”, sekalipun rumahnya dua, lumayan mewah dan ia menerima gaji tetap sebagai guru besar sebuah universitas besar di Australia.
Tak sedikit dari mantan rekan Angkatan 66 di kalangan tentara dan sipil di jajaran Orde Baru. Maka sejak muda Arief punya koneksi kuat, tidak saja dengan mereka yang berada di pucuk kekuasaan negara pasca-1966, tetapi juga dengan para intelektual, diplomat dan tokoh lain dari manca-negara yang gemar berdekatan dengan Indonesia.
Angkatan 66
Seperti adiknya, Soe Hok Gie, dan rekan aktivis segenerasi, Arief Budiman sudah menjadi legenda dari perjuangan mahasiswa. Sebuah legenda yang diromantisir selama masa Orde Baru. Tanpa dukungan mahasiswa, demikian Arief menjelaskan, peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Orde Baru akan tampak seperti kudeta militer.
Berbeda dari rekan-rekan seperjuangan, Arief tidak pernah ikut masuk dalam lingkaran kekuasaan negara. Bukannya Arief menghindar. Bukan tidak berminat atau tidak pernah diberi tawaran. Baginya, perjuangan bisa saja dari luar atau dalam lingkaran kekuasaan, asal kerjasama di antara mereka terus terbina. Begitu teorinya. Tampaknya ini tidak pernah terjadi di Indonesia. Mungkin mustahil di dunia.
Sesudah kekuasaan Orde Baru mapan, aktivisme Arief kambuh. Ia mengusik kenyamanan para jendral Orde Baru, sehingga pernah ditahan beberapa malam bersama beberapa aktivis lain karena menentang pembangunan Taman Miniatur Indonesia Indah (1972). Bersama sejumlah aktivis lain ia menggugat keabsahan pemilu ala Orde Baru dengan gerakan Golput (Golongan Putih) tahun 1973.
Semua aktivisme Arief itu hanya saya baca di kemudian hari. Sebelum 1980 saya tak kenal Arief atau para tokoh Orde Baru yang lain. Saya lahir dari lingkungan keluarga yang sangat sederhana, dan jauh dari Jakarta. Apalagi para elitnya.
Tahun 1970an, situasi politik Orde Baru tidak membaik untuk Arief. Berkat koneksi yang tersedia, Arief mendapat kesempatan menjadi tamu-peneliti di Eropa (1972-1973). Kemudian ia mendapat kesempatan melanjutkan studi hingga gelar doktoral di Amerika Serikat hingga tahun 1980.
Dunia Akademik
Hari-hari pertama di UKSW, Arief Budiman diundang memberikan ceramah di Universitas Diponegoro, Semarang. Saya menemaninya. Itu pertama kalinya saya seharian penuh bersama sang tokoh. Saya terheran-heran dengan kesederhanaannya. Kami naik bus umum Salatiga-Semarang. Keluar dari terminal bus, dengan santai ia mencari tempat agak sepi untuk kencing di situ seperti layaknya rakyat jelata. Padahal, dalam batin saya, ini doktor baru lulus dari Harvard!
Kami tiba di tempat acara tepat waktu. Tapi tuan rumahnya belum kelihatan. Sama sekali tidak tampak kegusaran Arief. Ketika berceramah, Arief berbicara tanpa catatan, tentang kaitan berbagai teori besar dalam ilmu-ilmu sosial. Inilah ceramah Arief paling akademik yang pernah saya dengar. Baru lulus doktor. Ilmunya masih hangat.
Tahun-tahun selanjutnya, Arief lebih sering berbicara sebagai aktivis. Ia memukau ratusan atau ribuan anak muda dengan memperkenalkan gagasan feminisme dan Marxisme klasik. Dua topik yang sedang hangat di Amerika Serikat ketika ia bermahasiswa di sana.
Patut diingat, kampanye anti-Marxisme/Komunisme masih gencar pada waktu itu.Maka dasar-dasar Marxisme bagi kaum terpelajar muda pada masa itu sangat seksi. Apalagi Arief menjelaskan dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami awam, termasuk saya.
Ada yang pernah mencoba, tapi sulit bagi siapa pun untuk membungkam Arief bicara tentang Marxisme. Atau menuduhnya “antek PKI”. Sejak muda ia tokoh Orde Baru dari Angkatan 66 yang musuh PKI. Di KTP ia beragama Islam yang di masa Orde Baru dikampanyekan menjadi musuh Komunis.
Bakat aktivisme Arief sulit dijodohkan bertahun-tahun dengan statusnya sebagai pegawai universitas. Tahun 1987 Arief menulis kritik pada Rektor UKSW yang menimbulkan gejolak kampus. Sebagian mahasiswa pendukung Rektor marah dan melancarkan demonstrasi anti-Arief. Organisasi alumni mengusulkan agar ia dipecat.
Awal 1990 perpecahan elit politik di Jakarta memburuk. Sedang di UKSW terjadi perpecahan. Secara keliru pihak Pengurus Yayasan UKSW menduga Arief menjadi otak di balik kubu lawan Rektor dan Pengurus Yayasan. Dengan memecat Arief, mereka menduga perlawanan kubu itu mereda. Yang terjadi justru sebaliknya. Terjadi pemogokan besar-besaran selama lebih dari satu semester dan menjadi salah satu topik yang paling disorot media nasional lebih dari setahun.
Karena konflik itu, tahun 1997 Arief meninggalkan Indonesia dan bekerja di Universitas Melbourne. Saya sendiri mulai bekerja di National University of Singapore setahun sebelumnya. Ketika saya bergabung dengan Arief di Universitas Melbourne tahun 2000, buntut reformasi 1998 masih panas. Arief sering tampil di acara publik untuk memberikan komentar tentang politik di tanahair.
Sejak bergabung kembali dalam satu kantor dengan Arief di Melbourne, saya saksikan Arief tidak merasa nyaman dan berbahagia. Tidak seperti dulu di Salatiga. Bukan karena tempat kerjanya di Melbourne tidak baik. Tetapi ruang gerak untuknya sebagai aktivis atau intelektual publik sangat terbatas.
Tuntutan kerjanya sebagai seorang akademik/peneliti dan bebannya seorang birokrat tidak cocok dengan minat dan bakat utamanya. Hati dan pikirannya tetap pada gejolak politik dan aktivisme di Indonesia. Arief pensiun sekitar tahun 2006. Beberapa tahun kemudian kesehatannya merosot.
Perjumpaan kami yang terakhir (2018) sangat mengharukan. Ia terkulai lemah di kursi roda. Tapi semangatnya berlimpah. Kata perawatnya, sejak malam sebelumnya ia berkali-kali bicara tentang rencana kunjungan kami. Sejak pagi ia menunggu dengan cemas kedatangan kami. Ketika jumpa, ia sempat menggoda saya dengan candaan. Padahal untuk bicara saja sudah susah.
Dari jauh saya memahami krisis kepercayaan di tanahair. Politikus mengalami krisis kepercayaan publik. Juga yang beroposisi. Juga media massa. Juga berbagai angkatan muda yang disebut milenial. Mungkin dibutuhkan tokoh yang terpercaya dan berjarak dengan kekuasaan. Tidak sama, tapi semacam Arief Budiman, walau ia tak akan pernah ada duanya.
BACA JUGA In Memoriam Arief Budiman: Eksponen Gerakan Mahasiswa 1980-an atau tulisan Ariel Heryanto lainnya.