MOJOK.CO – Kalau Indonesia dijajah Inggris dalam waktu ratusan tahun lalu merdeka dari status koloni Inggris, yang akan terjadi diperkirakan seperti ini.
Saat sedang stres sama negara ini, orang Indonesia ternyata punya kecenderungan untuk mengandai-andaikan hal yang sama. “Jika saja Indonesia dijajah Inggris….” Atau, “Jika saja Indonesia ini merdeka sebagai bekas jajahan Inggris, bukan sebagai bekas jajahan Belanda….”
Pengandaian “Indonesia dijajah Inggris” ini cukup dipercaya luas, sudah jadi plasebo ketika disergap pusing melihat negara ini kok masalahnya banyak banget. Ibarat kartu andalan ketika main remi, domino, atau UNO, pengandaian semacam ini dipakai berulang dalam berbagai topik pembahasan. Pas ngomongin sistem politik berikut perilaku para politisi; pas menggunjing kerumitan birokrasi negara; pas menyerapahi masalah perekonomian; bahkan sampai buat ngeluhin susahnya orang sini antre, berlalu-lintas secara tertib, hingga tak buang sampah sembarangan.
Tiada ketinggalan, khayalan semacam itu juga disebut-sebut untuk membahas masalah pendidikan, khususnya soal tingkat kelancaran orang Indonesia secara umum ngomong bahasa Inggris.
Saya sih yakin, orang-orang Indonesia yang suka membayangkan “jika saja Indonesia dijajah Inggris” bukannya tidak tahu Inggris—atau sebenarnya perihal topik imperialisme dan kolonialisme ini lebih tepat disebut Britania Raya—pernah menjajah Maluku dan Jawa pada 1810 sampai 1816, serta masih bercokol di Bengkulu hingga 1824.
Penggunaan istilah “dijajah” dalam pengandaian pakem tadi lebih merujuk pada peran hegemonik yang, aktualnya, dimainkan Belanda pada kurun 1600-an hingga 1960-an di Jawa, Maluku, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, serta Papua.
Dalam pengandaian itu, yang diinginkan adalah negeri ini meraih kemerdekaan pada medio abad XX setelah melalui tahun-tahun panjang di bawah kibaran Union Jack. Pengandaian semacam ini sepaket dengan imaji bahwa Indonesia menanggalkan status koloni dan menjelma menjadi suatu negara merdeka berdaulat sebagai anggota perhimpunan negara-negara Commonwealth.
Tapi apakah pengandaian itu benar? Apakah jika Inggris yang menggantikan Belanda bercokol di Indonesia dalam waktu paling panjang, situasi di Indonesia hari ini akan lebih baik?
Sebelum masuk ke sana, mari tengok apa yang terjadi di Jawa-Maluku selama enam tahun antara 1810-1816.
Raffles
Susah untuk lupa bahwa Britania Raya pernah menjajah Jawa dan Maluku. Alasannya, sosok Thomas Stamford Raffles, penguasa tertinggi Inggris di Asia Tenggara pada masa itu, sangat populer. Yang mungkin jarang diingat adalah periodenya, yakni pada 1810-1816. Periode itu adalah penanda bahwa kehadiran Inggris di kedua pulau tersebut merupakan bagian dari dinamika Perang Napoleon (1803-1815).
Orang Indonesia sampai sekarang suka mengelirukan jabatan resmi Raffles selama menjadi penguasa koloni di Jawa. Terbawa kebiasaan gelar jabatan penguasa koloni Kepulauan Hindia Timur ala Belanda yang diberlakukan sejak era VOC, orang Indonesia galib menyebut Raffles berjabatan Gubernur Jenderal Jawa. Padahal sebutan resmi bagi jabatan Raffles adalah Letnan Gubernur, atau masih bisa ditolerasi jika memakai versi penyebutan Letnan Gubernur Jenderal.
Ini karena Raffles masih punya atasan langsung di Asia. Sang atasan inilah yang menyandang jabatan Gubernur Jenderal dan ia berkantor di Kalkuta—sekarang Kolkata—di India. Atasan Raffles tersebut bernama Lord Minto I yang bernama lahir Gilbert Elliot.
Sebagaimana jamak terjadi pada relasi bawahan-atasan di berbagai institusi lain, Raffles pun berusaha menjaga hubungan baik untuk memastikan dirinya tetap disukai Lord Minto. Ini antara lain bisa dilihat dari hadiah istimewa yang dikirim Raffles dari Jawa kepada bosnya di India, berupa dua prasasti batu berukuran besar dari Jawa Timur.
Prasasti yang pertama adalah Prasasti Sangguran produksi sekitar 928 Masehi, dari masa pemerintahan Maharaja Wawa. Prasasti ini sampai dibawa pulang Lord Minto ke Skotlandia dan dijadikan penghias lahan pekarangan kediaman keluarganya di Roxburghshire, Skotlandia.
Satu prasasti lain ialah Prasasti Pucangan buatan sekitar 1042 Masehi alias masa pemerintahan Maharaja Airlangga. Prasasti ini tidak ikut diangkut Lord Minto ke kampung halamannya. Nasibnya selama bertahun-tahun menjadi penghuni museum di Kolkata. Sayangnya bukan di area pamer, melainkan sekadar teronggok di gudang.
Masih soal Raffles dan periode penjajahan singkat Inggris atas sejumlah wilayah yang sekarang termasuk bagian Indonesia, banyak orang Indonesia juga cukup tahu pencapaian sang Letnan Gubernur selama memerintah Jawa dan Sumatera. Sebut saja keterlibatannya bersama dr. Joseph Arnold mengidentifikasi bunga raksasa dari Bengkulu yang kemudian dinamai Rafflesia arnoldii.
Pencapaian lain Raffles yang juga banyak diketahui adalah ia menulis buku tebal bertitel The History of Java. Buku tersebut semacam kombinasi antara travelogue, dokumentasi sejarah dan legenda, hingga kumpulan data etnografi dan beraneka informasi statistik tentang Jawa hingga awal abad XIX.
Dulu sekali saya pernah melontarkan kekaguman bahwa Raffles sebagai seorang pejabat tinggi pemerintahan masih sanggup menulis buku sekaliber The History of Java. Namun, kata seorang kawan saya, Raffles dalam hal menulis The History of Java tidak perlu sangat dikagumi. Untuk urusan riset lapangan ke daerah-daerah pelosok, Raffles tentu bisa memerintahkan pembentukan semacam tim ekspedisi. Ada banyak porter pengangkut; ada pula banyak pengawal. Raffles tentu tak perlu terlalu capek. Ia bisa memilih mau naik kuda tunggang, kereta berpenarik kuda maupun lembu, hingga tandu joli.
Raffles juga bukan peneliti, mahasiswa, atau reporter yang, bukan rahasia lagi, rentan kepentok kerumitan birokrasi. Untuk pengumpulan data, Raffles mah ada di posisi istimewa yang cukup bertitah kepada para pejabat di daerah dan para anak buahnya. Siapa berani nolak coba? Lha wong Kraton Yogyakarta yang punya ribuan prajurit saja pernah diserbu dan dijarah-rayah atas komandonya kok.
Jadi, apakah bakal lebih baik jika Indonesia dijajah Inggris sampai abad XIX?
Pengandaian demikian menggiring saya untuk membuat suatu analisis kontrafaktual terhadap jalannya sejarah faktual—sesuatu yang sebenarnya selalu diperingatkan untuk dihindari oleh sejarah ilmiah.
Manakala seseorang melakukan pengandaian tentang Indonesia yang merdeka sebagai eks koloni Britania Raya, sebenarnya otomatis ia juga dituntut untuk menanggalkan bayangan tentang wilayah negara Indonesia saat ini. Ia tak bisa membayangkan hal semacam itu memakai peta faktual teritori Indonesia saat ini.
Maksudnya, pengandaian tersebut kan bersifat kontrafaktual. Sementara kita nggak bisa mengubah satu sisi sejarah tanpa mengubah sisi lainnya karena kondisi tertentu dalam gulir sejarah tidak berdiri sendiri, tapi selalu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa lain, baik sebelum maupun sesudahnya.
Dalam kondisi faktual saat ini, Indonesia ini yang dibayangkan para anak bangsanya membentang dari Sabang di barat laut hingga Merauke di tenggara, juga dari Pulau Miangas di utara hingga Pulau Rote di selatan (iya, iya… seperti jingle Indomie).
Tapiii, cakupan seluas itu adalah teritori yang diintegrasikan Belanda dengan proyek Pax Neerlandica-nya sepanjang abad XIX hingga awal abad XX. Pax Neerlandica sendiri bisa dijalankan oleh Belanda setelah mengantongi sekian perjanjian multilateral dengan negara-negara Eropa lain via Traktat Kongres Wina 1814, juga setelah menyepakati perjanjian bilateral dengan Britania Raya via Traktat London 1814 dan Traktat London 1824.
Membayangkan Indonesia dengan wilayah seperti sekarang, tapi statusnya sebagai koloni Britania Raya, lebih mungkin—atau hanya mungkin terjadi—jika Traktat Kongres Wina 1814 tidak terjadi atau tidak bisa dijalankan, lalu Traktat London 1814 dan Traktat London 1824 tidak pernah disepakati. Kalaupun tiga traktat tadi ada dan disepakati, isi kesepakatannya bukanlah poin yang mewajibkan Britania Raya mengembalikan Maluku, Jawa, dan Sumatera kepada Belanda, melainkan justru menegaskan kepemilikan kepulauan dan pulau-pulau tadi di tangan Britania Raya.
Yang memungkinkan Britania Raya terus mempertahankan kepemilikannya atas Maluku, Jawa, dan Sumatera ya hanya hasil berbeda dari Perang Napoleon.
Jadi bayangkan seperti ini: alih-alih kalah total dalam perang besar itu, Napoleon dan Kekaisaran Prancis-nya berhasil melewati bagian sulit dari peperangan dengan mencapai perjanjian penghentian perang dengan para musuhnya, termasuk Inggris.
Implikasinya Prancis menjadi kekuatan dunia yang lebih berpengaruh dari yang faktual terjadi dari abad XIX sampai sekarang. Jika demikian, kekuasaan dan pengaruh Prancis akan menyamai Britania Raya atau bahkan melampauinya. Lalu, bahasa Prancis sebagai bahasa internasional bisa saja sama kuat atau melampaui pengaruh bahasa Inggris.
Andai itu terjadi, favoritisme orang Indonesia terhadap bahasa Inggris mungkin tidak sebesar sekarang. Orang Indonesia mungkin malah berharap menjadi jajahan Prancis supaya bisa lebih lancar berbahasa Prancis. Mbulet kan, hahaha.
Di kasus “Indonesia”, bila Britania Raya dapat terus mempertahankan Maluku, Jawa, dan Sumatera usai Perang Napoleon, penguasaan koloni ini juga tidak bisa lantas dibayangkan persis Belanda.
Tidak ada jaminan mereka bakal menciptakan teritori tunggal yang mencakup Sumatera hingga Papua. Mengurus teritori jajahan yang terentang dari Pakistan sampai Papua tentu merepotkan serta menguras sumber daya. Karena itu, bukan hal aneh jika ada pulau-pulau yang akhirnya mereka biarkan berdiri di luar cakupan kekuasaan mereka. Entah tetap dibiarkan merdeka atau malah dibiarkan menjadi koloni negara imperialis-kolonialis lain.
Jadi, bayangkan Sulawesi yang malah menjadi jajahan Spanyol, lalu masuk bagian Filipina. Bayangkan juga seluruh NTT yang malah menjadi jajahan Portugal, lalu masuk bagian Timor Leste.
Britania Raya dan para negara imperialis-kolonialis lain memang bisa saja membagi-bagi kepulauan ini secara sangat berbeda dengan versi faktual sekarang. Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan bisa disatukan Britania Raya sebagai satu koloni. Bisa juga pulau-pulau itu masing-masing dijadikan koloni yang saling terpisah satu sama lain.
Ingat, sebelum Malaysia dimerdekakan, bagian baratnya yang berupa Semenanjung Malaya dan bagian timurnya yang berupa Sabah dan Sarawak semula dikelola Britania Raya sebagai koloni-koloni terpisah.
Kalaupun Kepulauan Asia Tenggara diandaikan dikelola oleh Britiania Raya sebagai satu koloni tunggal yang ukurannya mendekati atau malah lebih besar dari Hindia Belanda versi faktual, tidak ada jaminan mereka kemudian memerdekakannya sebagai suatu negara tunggal. Soal ini ingat bagaimana British India merdeka dengan mengalami pembelahan menjadi India dan Pakistan.
Jadi, mengandaikan Indonesia dijajah lebih lama oleh Britania Raya sama saja mesti rela melihat Indonesia tak terbentang dari Sumatera sampai Papua. Bila itu diharapkan bikin “Indonesia” hari ini lebih maju, lebih nggak korup, dan lebih-lebih lainnya, kalau kata Bu Tejo pengandaian anglofilia favorit kita tadi bukan hal yang solutif. Pengandaian itu ibarat orang-orangan sawah yang kebetulan menyandang pakaian bak petani: tentu saja tak bisa diajak mencangkul dan bercocok tanam.
BACA JUGA Perang Bubat: Asal-usul Mitos Orang Sunda Tak Boleh Nikahi Orang Jawa Itu Emang Valid Ya? dan esai Yosef Kelik lainnya.