MOJOK.CO – Apa jadinya pacaran masa kuliah dibaca melalui kaidah atau teori manajemen risiko? Pasti bakal jadi usaha yang selo dan niat banget untuk melakukannya.
Bahwasanya Indonesia itu sebaiknya jadi negeri tanpa pacaran, ya silakan. Nyatanya kan masih banyak orang Indonesia yang pacaran. Dari SD, SMP, SMA, sampai pacaran antara janda dan duda sekali pun.
Pacaran biasanya diawali dengan tembakan “aku cinta kamu” yang kemudian dibalas dengan “aku juga”, lantas disepakati untuk “jalani aja” lalu “siapa tahu cocok”. Dijalani untuk saling mengenal satu sama lain, sebagai persiapan untuk pernikahan kelak.
Perkara pacaran malah dipakai buat saling mengeksplorasi anatomi tubuh masing-masing pasangan di kos-kosan—ya itu bagian dari penyimpangan esensi saja. Oknum.
Saya kenal kok banyak orang yang periode pacarannya bisa buat nyicil mobil sampai lunas lanjut nyicil motor lalu lunas lagi, tapi kemudian momen malam pertamanya baru terjadi pada malam ketujuh, keempat belas, atau bahkan ke dua ratus tiga puluh.
Salah satu tanda bahwa pacaran lama tapi nggak ngapa-ngapain secara seksual itu ada betulan. Mantap.
Nah, momen paling krusial ketika pacaran itu sebenarnya adalah saat kuliah. Bukan apa-apa, kuliah itu adalah periode tinggal landas, transisi antara masa muda nan berbahaya menjadi siap mengarungi belantara kehidupan dewasa.
Selain itu, masa kuliah juga adalah periode ketika seseorang belum jadi apa-apa alias belum kondang atau belum sukses.
Kadang, ketika proses mencari jodoh dilakoni saat sudah ada ketenaran atau harta, ada kecurigaan bahwa calon pasangan datang karena ada maunya. Kalau pencariannya waktu kuliah, itu umumnya saat sama-sama nol, jadi cukup menarik untuk yang berprinsip membangun dari nol bersama-sama.
Nah, gara-gara #10YearChallenge tempo hari, saya melihat kembali foto teman-teman saat kuliah dulu berseliweran di timeline. Ternyata, oh, ternyata, sebagian dari mereka sukses menikahi pacar saat kuliah.
Sebagian yang lain, tidak. Sisanya, seorang Jawa yang belum nikah-nikah karena keukeuh nyari gadis Tionghoa ya ada juga. Yap, sebut saja ini sebuah bentuk keanekaragaman hayati.
Dalam rangka memberikan pandangan yang luas kepada anak-anak muda harapan bangsa yang katanya bonus demografi agar tidak galau-galau benar dalam bercinta kala kuliah, saya hendak memberikan analisis risiko soal berpacaran saat kuliah.
Tenang, jelek-jelek begini, saya tersertifikasi manajemen risiko level remah-remah roti. Jadi, analisisnya dijamin masih menggunakan kaidah-kaidah manajemen risiko.
Secara sederhana, manajemen risiko terdiri dari identifikasi, analisis, evaluasi, dan perlakuan risiko. Sebenarnya ada lagi yang lebih lengkap, tapi nanti tulisan ini kepanjangan.
Yuk, mulai.
Risiko dipahami sebagai hal-hal yang dapat mengganggu pencapaian tujuan. Dalam konteks pacaran, tujuannya nggak jauh-jauh dari hidup bahagia berdua selamanya.
Nah, jadi risiko itu ya segala hal yang bisa mengganggu tercapainya kehidupan bahagia berdua itu. Terus apa saja yang bisa mengganggu?
Beberapa di antaranya adalah finansial yang tidak memadai, adanya pelakor atau pebinor, maupun ganjalan dari keluarga besar. Kalau rakyat Mojok yang budiman punya identifikasi risiko lain tentu bisa dibahas di kolom komentar.
Nah, dari risiko yang sudah teridentifikasi itu, saatnya dilakukan analisis risiko. Paling gampang adalah menggunakan parameter frekuensi kejadian atau likelihood kalau di teori yang dikalikan dengan dampak atau impact.
Semakin kecil frekuensi kejadian, makin kecil angka yang bisa disematkan. Demikian pula semakin besar dampak—misal pernikahan tidak direstui yang berdampak pada hidup tidak bahagia—angka lebih besar bisa diberikan.
Untuk risiko ganjalan keluarga besar, dalam skala 1 sampai 3, bisa kita letakkan di angka 1 karena secara umum jarang terjadi kalau pacar sudah dikenalkan duluan.
Kecuali ada perbedaan agama atau kesamaan jenis kelamin, baru butuh pembahasan khusus. Dampak? Menurut saya sih besar, jadi bisa kita kasih 3. Untuk risiko ini, dapat kita kasih skor 3.
Risiko pelakor, hmm, di era modern ini bisa kita kasih nilai 2 saja. Dampaknya juga bisa di 2 saja karena bahkan pesohor seperti bininya John Terry dan Wayne Rooney saja bisa mengampuni suaminya dan balik akur lagi sampai nambah anak segala.
Nah, untuk risiko yang berhubungan dengan finansial ini harus diakui bahwa frekuensinya tinggi. Sesugih-sugihnya pasangan, faktor finansial ini pasti jadi perkara juga. Gaji 10 juta nyicilnya Ayla, gaji 100 juta ya nyicilnya beda lagi.
Tolong jangan samakan dengan Bapak Edi Mulyono (Founder Kafe Basabasi) yang tajirnya sudah keterlaluan sampai lupa naruh mobil. Untuk blio ini, kita bisa kasih skor 0. Sedangkan untuk para milenial yang kebanyakan ngopi 40 ribuan tapi selalu ngeluh gaji kurang, likelihood-nya pasti 3.
Demikian pula dengan impact, saya bisa kasih 3 juga. Soalnya, dampak nggak ada duit itu ya panjang. Nggak semua orang bisa seperti Emak yang tabah menemani Abah yang bangkrut di Keluarga Cemara mereka. Yang lantas kabur ya banyak.
Jadi, faktor ini jika dikaitkan dengan happily ever after bisa kita kasih skor 3. Kalau dikalikan sama likelihood jadi 9.
Lanjut! Supaya pendek, anggap saja secara angka selera risiko kita adalah 5. Jadi, dalam evaluasi risiko dua risiko awal berada di bawah selera risiko alias bisa diterima atau kalau kejadian bisa diselesaikan baik-baik. Asumsi ini bisa berbeda-beda untuk tiap orang, yha~
Kok pembahasan risikonya jauh-jauh, padahal yang dibahas kan pacaran waktu kuliah?
Begini, pacaran waktu kuliah kan mimpinya juga hidup bahagia berdua selamanya. Jadi yang dibahas adalah hal-hal yang bisa mengganjal mimpi itu. Bisa kejadiannya nanti, bisa dekat-dekat ini, bisa juga malah nggak kejadian. Namanya juga risiko. Kalau yang sudah kejadian, itu bukan risiko, melainkan Mo Salah masalah.
Untuk risiko finansial yang tidak memadai ini, perlu kita lihat dahulu apakah dua orang yang berkasih-kasihan saat kuliah itu sudah punya pengendalian. Kalau ada, sudah memadai atau belum.
Misalnya, apakah si pasangan sudah merintis bisnis bersama (bikin supermarket bareng contohnya) untuk menjamin bahwa finansial akan terjamin dan hidup akan happily ever after? Kalau memang sudah, apakah uangnya cukup?
Rasa-rasanya, sih, kalau masih kuliah pengendalian masih minim. Paling mentok ya karena kadung sudah nganu di kos-kosan, sehingga apapun yang terjadi ya bakal hidup berdua selamanya, meskipun belum pasti bahagia juga.
Jika memang tidak ada pengendalian, sampailah kita pada yang disebut sebagai risiko residual yang berarti harus mengalami perlakuan risiko. Manajemen risiko modern mengenal setidaknya 5 jenis perlakuan risiko, yakni avoid, reduce, transfer, accept, dan share.
Avoid berarti tolak. Kita menolak adanya risiko hidup bersama tapi tidak bahagia karena finansial tidak mencukupi. Langkah yang harus diambil adalah sebagaimana sering disebutkan oleh Kalis Mardiasih Felix Siauw: “udah, putusin aja.”
Lagian ya, meskipun ada contoh kasus bahwa orang yang kerjaannya cuma nganu di kos-kosan itu kemudian jadi manajer sukses, tapi lebih banyak yang nggak. Kalaupun ada yang sukses itu adalah karena berhasil mengimplementasikan jurus mbiribik lawan jenis menjadi mbribik pelanggan sehingga produknya laku.
Untuk transfer dan share mungkin tidak perlu dibahas banyak-banyak soalnya transfer itu biasanya dipakai perusahaan untuk justifikasi penggunaan pihak ketiga sedangkan share adalah alasan penggunaan asuransi. Dalam hubungan seperti pacaran, transfer maupun share masalah ya nggak jauh-jauh dari orangtua, toh?
Jadi mari kita lanjut ke respon reduce yang bermakna mengurangi potensi risiko. Untuk risiko tenggelam, reduce ini dimaknai sebagai pakai pelampung. Lantas untuk risiko finansial tidak memadai dalam menjalani pernikahan? Solusinya ya jelas kerja, kerja, kerja! Mau ngerampok toko emas kan itu juga kerja, walau nggak halal dan legal.
Nah, dalam konteks reduce ini kita bakal sampai ke aspek yang namanya mitigasi risiko yang dalam level tertentu bisa menciptakan risiko baru untuk dianalisis lagi dari awal.
Misalnya, mengurangi risiko kere dengan kerja cari duit. Eh, kok ndilalah yang pacaran itu adalah anak STAN—yang namanya sekarang jadi PKN STAN.
Bagi anak STAN, kalau mau kerja itu ya sesuai penempatan dan belum tentu cocok dengan penempatan pacar. Maka, jangan heran kalau anak STAN itu begitu akrab dengan yang namanya Long Distance Relationship (LDR) atau bahkan Long Distance Marriage (LDM).
Si cowok penempatannya di Tanjung Balai Karimun, si cewek penempatan di Saumlaki. Cowok pindah ke Ambon, cewek pindah ke Sintang, dan seterusnya.
LDR menjelma jadi LDM ya karena keduanya masih yakin bisa happily ever after itu tadi. Dan pernikahan dijalani berjauh-jauhan ya karena berupaya mengurangi risiko kere. Bahwa LDM itu akan jadi masalah lanjutan, itu bisa dianalisis lagi sebagai risiko baru kelak.
Masalah kerja berjauh-jauhan ini memang risiko khas anak kuliahan. Jadi, kalau siap LDM, ya jalani. Pacaranlah dengan siapa saja, dari mana saja. Sedangkan, jika tidak siap, ya mulailah pilih-pilih pacar.
Saya punya banyak cerita teman yang putus karena selepas kuliah di Jogja, salah satu harus kembali ke Kalimantan karena kuliahnya adalah ikatan dinas dengan Pemda setempat. Atau juga balik ke Papua karena sudah diterima PNS di sana.
Bagi yang model begitu, tidak disarankan untuk nyari pacar saat kuliah, karena itu sama dengan nyari masalah. Kecuali, bahwa salah satu siap nyusul ke Papua—misalnya. Seperti salah seorang teman saya yang pindah dari Bandung ke Jayapura.
Respons terakhir, ya accept. Apapun risikonya, mau kere, mau pelakor, mau LDM, ya terima dan lakoni berdua dalam kebersamaan pernikahan yang selalu indah.
Selalu indah? Hmmm, itu kan menurut teorimu.