MOJOK.CO – Konser Dewa 19 di JIS berakhir kurang menyenangkan untuk penonton. Kenapa bisa sampai begitu? Berikut analisis singkat dari saya.
Tidak ada yang menarik kalau menonton konser di sebuah stadion dengan embel-embel kalimat kayak gini. “Kapasitas tempat lebih dari 20.000 dan penyelenggara akan menjual 10.000 tiket saat acara. Jadi tenang, semua aman karena itu separuh dari kapasitas tempat.” Tunggu, jangan bingung dulu.
Ada pengecualian dari pernyataan di atas kalau konsernya diselenggarakan di lanud atau bandara, area terbuka seperti Ngayogjazz, Hammersonic, atau di pelataran candi seperti Prambanan. Ingat, ada kata kunci “terbuka”. Ini penting untuk membahas buruknya crowd management di konser Dewa 19 di JIS (Jakarta International Stadium).
Nah, sementara itu, kalau harus berada di dalam stadion yang kapasitasnya sampai terisi 70% dan sifatnya “tertutup”,rasanya kurang ideal. Ada banyak kemungkinan yang bisa memicu kericuhan. Silakan menyebut saya paranoid. Tapi maaf, saya punya banyak pengalaman menonton konser lokal dengan penonton berasal dari berbagai strata sosial dan pendidikan. Mari akui saja.
Pentingnya crowd management
Baru di era 2005 ketakutan saya akan konser ricuh mulai menurun. Semenjak Slank sukses menggelar konser “PISS” di 30 kota beberapa tahun sebelumnya. Lalu Padi dan Sheila on 7 juga sukses. Indikasinya adalah muncul dan semakin banyak mbak-mbak yang nonton. Oiya, satu konser lagi yang sukses adalah Dewa 19 di era Once yang lebih banyak menyanyikan lagu romantis.
Sepanjang pengalaman saya, baik sebagai penonton dan penyelenggara, mengatur dan merumuskan crowd management menjadi bagian penting dari persiapan konser. Nggak mandang band-nya apa. Mau 50, 100 atau 10.000 penonton, crowd management ini memiliki banyak poin pertimbangan.
Beberapa di antaranya adalah menyesuaikan jumlah penonton dan area tempat acara diselenggarakan. Ada juga yang mempertimbangkan massa seperti apa yang bakal datang, bagaimana kerja sama keamanan, dan sebagainya.
Lalu, apa yang terjadi dengan konser Dewa 19 di JIS Sabtu kemarin?
Redline, sebagai penyelenggara, seperti teledor memilih tempat yang menurut banyak (sekali) orang sebenarnya belum siap. Apalagi menggelar acara yang menampung manusia sebanyak konser Dewa 19 kemarin.
Jelas, hanya internal Redline Kreasindo yang tahu urusan dapur mereka. Ada banyak kemungkinan. Bisa jadi sang Big Bos diminta beberapa pihak menyelenggarakan secara khusus konser di JIS sebagai jawaban dari kritik warganet selama ini tentang stadion tersebut. Tawaran sewa dengan harga diskon bisa jadi bagian dari kesepakatan ini.
Hal lain lagi, ketidaksiapan kru Redline mengatasi massa di JIS yang berkali lipat dibanding saat menyelenggarakan konser Dewa 19 di kota-kota sebelumnya. Saya datang ke konser “30 Tahun Dewa 19” di Solo. Penyelenggaranya adalah Redline Kreasindo dan itu hanya beberapa minggu setelah Tragedi Kanjuruhan. Hal ini membuat saya dan beberapa teman saat awal masuk Edutorium merasa “mual”, pusing. Bukan karena acaranya, tapi terbayang apa yang terjadi di Kanjuruhan.
Tapi, setelah lagu pembuka dimulai, semua kecemasan itu sirna. Pikiran positif kembali muncul. Saya melihat sekeliling aula di mana pintunya bisa dibuka semua. Yah, amit-amit kalau terjadi sesuatu.
Outdoor selalu bikin tenang untuk crowd besar
Sebelum ke Solo, saya juga datang ke konser Dewa 19 di Candi Prambanan yang diselenggarakan Otello Asia. Konser yang ini diselenggarakan outdoor tanpa pagar-pagar semodel stadion. Jadi buat saya ini relatif lebih tenang serta Tragedi Kanjuruhan belum membayangi penonton yang datang. Semua flow dan rundown acara di kedua tempat itu tidak mengecewakan, berjalan cukup baik, untuk tidak mengatakan sempurna.
Saya berkata seperti itu karena pernah juga menyelenggarakan beberapa konser selama berproses bersama sebuah event organizer di Kalimantan. Ya, kelasnya masih “A Mild Wanted: Live”, “Road To Soundrenaline”, “Tur Noah”, dan konser Juliette dengan catatan nyaris tanpa cacat.
Kekuatan kru
Mari kita membahas soal kru sebuah acara besar seperti konser Dewa 19 di JIS….
Sebenarnya, kru berhak membantah, bahkan menolak keinginan sang Bos Besar apabila acara yang akan diselenggarakan berpotensi menimbulkan risiko cukup besar. Salah satunya soal crowd Management tadi.
Jauh dari sebelum konser, beberapa aspek akan diukur dan dipertimbangkan beberapa kali. Aspek yang saya maksud adalah siapa yang akan jadi guide di dalam area, jumlah orangnya kudu berapa, manajemen risiko seperti apa, orang-orang yang akan bekerja seperti apa, dan lain sebagainya. Kalau kru merasa semua aspek di atas bakal menimbulkan risiko besar, lokasi konser bisa dipindah, atau yang paling buruk acara dibatalkan jauh-jauh hari.
Suara kru itu sangat penting untuk didengar dan dipertimbangkan, lho. Apalagi kalau atasan malah berlagak budeg dan malas, padahal kemampuannya di bawah kru. Itu yang disebut menu kehancuran. Kalau beberapa waktu ini bisa bertahan, ya itu karena kekuatan banyak kru. Bukan karena kemampuan atasan!
Bos Besar juga harus paham dan mengerti kemampuan dua lini penting setelah Project Manager, yaitu Floor Manager, dan Production Manager. Floor Manager dan kru-nya yang akan bertanggung jawab dengan massa dan kemungkinan kericuhan, koordinasi keamanan di lapangan, saat konser mulai-berjalan-selesai di konser Dewa 19 di JIS
Sementara itu, Production Manager akan mempersiapkan seperti apa barikade batas panggung yang kokoh, tidak terlalu dekat dengan panggung, memisah akses masuk dengan barikade besi tapi tidak terkesan seperti penjara, apakah perlu menyewa genset dan mempersiapkan apar serta tim pemadam kebakaran, perlukah menyediakan ruang medis lebih dari satu titik atau ada di empat penjuru area acara, bagaimana signage yang mudah dibaca oleh penonton, toilet portable, dan detail lain yang jumlahnya bisa puluhan.
Menjadi buah bibir warganet di Twitter
Kita ke sampingkan dulu membahas Stage Manager, Property Manager, dan Guard dalam kasus Dewa 19 di JIS. Karena tidak ada isu konser telat lebih dari satu jam, baku pukul, atau screening gerbang depan yang ribet dan njelimet.
Konser Dewa 19 di JIS ini kemudian ramai dibicarakan oleh warganet di Twitter. Ada banyak yang membuat utas pengalaman mereka selama menonton Dewa 19 di JIS. Setelah membuka Twitter selama satu jam, kesimpulan yang saya dapat dari cuitan-cuitan itu ada beberapa.
(1) Dewa 19 is a fucking legend. Penampilan mereka gila banget. (2) JIS is a fucking joke. (3) Sayang sekali Redline Kreasindo harus membuat cacat kerja mereka selama mengawal Dewa 19.
Kata “fucking” itu muncul berkali-kali sebagai penekanan dari banyaknya cuitan netizen tentang ketidaksiapan JIS, penampilan apik Dewa 19, dan penyelenggara yang terkesan tidak memperhitungkan banyak hal.
Salah satu cuitan yang ramai mendapatkan balasan adalah milik Alitt Susanto atau @shitlicious.
Di mana para kru berada?
Alitt mempermasalahkan penomoran kursi penonton yang tidak sesuai. Ada yang membalas cuitan tersebut dengan pengalaman harus mencari panitia ke sana-ke mari untuk mengkonfirmasi soal tempat duduknya. Ke sana dan ke mari? Berarti di setiap area kelas tidak adakah panitia yang berjaga dan bisa diberi tanggung jawab sebagai pengambil keputusan?
Misal begini, kalau ada orang yang kursinya terpakai, maka kru yang bertugas di area tiket Platinum berhak memutuskan penonton itu akan bernasib seperti apa setelah sang kru berkonsultasi dengan koordinatornya. Minimal penonton mendapatkan solusi daripada harus mencari informasi sendiri ke tempat penukaran tiket untuk konser sebesar ini di area yang mungkin jaraknya cukup jauh.
Penonton Dewa 19 di JIS memang bukan raja yang harus disiapkan karpet merah dan sofa empuk. Tapi, mereka sudah mengeluarkan uang dan tenaga untuk mendapatkan experience. Mereka juga berhak memberikan kritikan pedas apabila pengalaman mereka tidak sesuai ekspektasi.
Baca selanjutnya
Manajemen tiket yang buruk sekali