MOJOK.CO – Meski sejarah versinya sempat bikin geleng-geleng kepala, Mohammad Yamin sebenarnya tetap punya sisi keteladanan. Yah, manusiawi lah.
Ibarat aroma secangkir kopi, nama Mohammad Yamin tak sepenuhnya disertai aroma sedap. Bahkan kurang sedapnya aroma yang dimilikinya—bolehlah dibilang—semakin mengemuka sekitar seperempat abad terakhir.
Ya, tepatnya sejak orang Indonesia mulai akrab dengan narasi sejarah kritis. Narasi sejarah alternatif dari narasi sejarah versi Pemerintah. Maklum, beberapa tahun terakhir, orang acap nyinyiri pria asli Sawahlunto itu sebagai semacam juru dongeng sejarah Nusantara dan Indonesia.
Sekuen-sekuen sejarah Nusantara yang dinyinyirin orang sebagai penuh glorifikasi masa silam nan hiperbolis karena andil Mohammad Yamin meliputi hal-hal berikut ini:
Bendera Merah Putih memiliki jejak sejarah di Nusantara selama 6.000 tahun, Majapahit pernah jadi imperium maritim di Asia Tenggara pada masa Tribhuwana Tunggadewi serta Hayam Wuruk, dan Mahapatih Gajah Mada adalah sosok berpipi tembem yang mengikrarkan penyatuan Nusantara via pidato politik Sumpah Palapa.
Mohammad Yamin juga kena tuding mencoba melebih-lebihkan porsi andil dirinya dalam periode persiapan kemerdekaan Indonesia pada 1945, khususnya dalam hari-hari rapat Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai alias Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Merujuk majalah TEMPO Edisi Khusus Hari Kemerdekaan: Muhammad Yamin (18-24 Agustus 2014), Yamin tepatnya disebut meminjam notulensi rapat, lantas membuat versi risalah rapat versinya sendiri, plus tidak mengembalikan notulensi pinjaman.
Di situ, Yamin menambahkan lagi materi rumusan usulan dasar negara berikut durasi yang aslinya tidak turut dipaparkannya saat berpidato. Perbuatan itu menghasilkan kesan seolah Mohammad Yamin pada 29 Mei 1945 berpidato sejam lebih.
Padahal, seingat Mohammad Hatta yang turut menyaksikan peristiwa itu, Yamin sebenarnya pidato tak sampai sejam. Bahkan salinan arsip yang disimpan Arsip Nasional Belanda mencatat Yamin punya jatah pidato 20 menit saja.
Gara-gara penambahan sepihak yang dilakukan Mohammad Yamin terhadap notulensi Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, seorang Hatta pada 1970-an sampai mengomentari tindakan Yamin dengan kata “licik”. Abdul Gaffar Pringgodigdo menyebut pula almarhum koleganya tersebut secara sinis sebagai “pinter nyulap”.
Hatta dan Gaffar Pringgodigdo berkomentar demikian terhadap Mohammad Yamin karena dalam risalah rapat Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai versi yang ditambahi Yamin itu juga tidak memasukkan puluhan tokoh lain yang sebenarnya berpidato dalam forum.
Yamin hanya memasukkan dirinya, Soepomo, serta Sukarno sebagai tiga orang yang berpidato memaparkan usulan rumusan dasar negara.
Mohammad Yamin bahkan berani menerbitkan versi risalah rapat-rapat Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang dilengkapi “pidatonya selama sejam lebih” sebagai buku pada 1959 dengan judul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebuah buku yang lantas menjadi rujukan utama beberapa buku-buku sejarah setelahnya. Buku sejarah resmi yang bahkan sampai beberapa dekade berikutnya sampai masuk ke kurikulum jenjang sekolah dasar dan dipelajari oleh anak-anak di seluruh Indonesia selama berpuluh-puluh tahun.
Meski begitu, dengan sederet kontroversinya yang cukup bikin geleng-geleng kepala, Mohammad Yamin sebenarnya tetap punya sejumlah sisi keteladanan yang baik. Hal-hal yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Setidaknya ada lima keteladanan tipis-tipis lah dari Mohammad Yamin yang bisa saya temukan dari salah satu sosok paling kontroversial dalam dunia sejarah Indonesia dan Nusantara.
Yah, anggap saja sebagai pengimbang sisi-sisi kontroversialnya lah.
Maskot percintaan dan perkawinan lintas etnis di Indonesia
Mohammad Yamin yang seorang Minang jatuh cinta kepada seorang perempuan ningrat Jawa bernama Siti Sundari. Dua insan beda etnis tersebut bertemu, saling jatuh cinta, dan akhirnya menjadi sepasang kekasih di Solo pada awal 1920-an.
Saat saling kenal, Mohammad Yamin masih murid AMS, sedangkan Siti Sundari sudah bekerja menjadi pengajar di Kweekschool alias sekolah guru.
Yamin bisa melewati fase rintangan ketidaksetujuan orang tua Siti Sundari, yang awalnya keberatan putri mereka yang sudah bekerja berhubungan dengan seorang pria yang masih bersekolah, pun datang dari etnis lain.
Yamin dan Siti Sundari pun menegaskan keseriusan hubungan mereka dengan akhirnya secara resmi menikah pada 1934. Pernikahan terjadi setelah Yamin meraih titel sarjana meester in de rechten, tapi sempat mengalami penahanan di Jawa Timur oleh Pemerintah Kolonial karena aktivitas politiknya.
Dalam hal ini, Mohammad Yamin dan Siti Sundari menunjukkan kisah percintaan yang bisa jadi rujukan untuk anak muda zaman sekarang. Tepatnya untuk tidak membatasi hubungan percintaan dan perkawinan dengan etnis lain.
Bucin ke istri sebagai energi belajar
Begitu bucinnya Mohammad Yamin ke istrinya yang seorang Jawa rupanya memberi antusiasme serta energi dalam mempelajari sejarah Jawa baginya, bahkan sampai sebahasa-bahasa kunonya.
Yamin bahkan mempelajari budaya sejarah dan budaya Jawa yang jauh lebih kuno dari apa yang dikembangkan para penguasa Demak, Pajang, dan Dinasti Mataram Islam dalam 500 tahun terakhir.
Apa yang dilakukan Yamin dengan serius belajar sejarah, budaya, dan bahasa Jawa Kuna tadi ternyata pada tahun-tahun kemudian tak hanya bermanfaat bagi hubungannya dengan Siti Sundari, namun terbukti akan bermanfaat pula dalam ikhtiar perintisan narasi sejarah yang menyokong tumbuhnya kebanggaan dalam diri bangsa Indonesia.
Sekaligus menyokong kebanggaan terhadap dirinya sendiri melalui buku-buku sejarah di sekolah-sekolah Indonesia.
Sarjana hukum yang mumpuni di bidang sejarah
Perlu kita ingat bahwa latar belakang akademik Mohammad Yamin bukan ilmu sejarah, dia sebenarnya sarjana hukum. Meski begitu, nyatanya hal itu tidak menghalanginya mencapai tataran sejarawan otodidak yang produktif.
Ya mesti harus diakui juga bahwa apa yang disampaikan Yamin dalam tulisan-tulisannya masih acap bersifat terlalu spekulatif, bombastis, dan sembrono, tapi setidaknya—menurut saya—buku-buku karya Yamin isinya sebenarnya jauh lebih mendingan ketimbang buku Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman atau buku Kesultanan Majapahit.
Setidaknya, Yamin tidak se-sembarangan yang dituduhkan orang dalam membuat narasi sejarah. Orang sering menuduh Yamin sebagai sosok yang kelewat spekulatif menerjemahkan pecahan patung terakota berpipi tembem dari Trowulan sebagai wajah Gajah Mada.
Padahal ya meski meragukan, keputusan muka Gajah Mada (yang malah jadi agak mirip dengan muka Mohammad Yamin sendiri) juga tidak sengawur itu.
Setidaknya menurut Dino Mozardien, salah satu periset sejarah, Mohammad Yamin agaknya sekadar melanjutkan salah satu dugaan FM Schnitger, seorang arkeolog Belanda kelahiran Malang.
Schnitger sendiri mengemukakan dugaannya pada 1932 melalui tulisan berjudul “Gajah Mada”, Nederlandsch-Indie. Oud en Nieuw 16:10. Dan itu berjarak 16 tahun lebih awal dari buku Gajah Mada yang ditulis Yamin.
Setidaknya, kalau kita mau menyingkirkan soal kontroversi muka Gajah Mada itu sebentar, Mohammad Yamin itu juga punya jasa besar dalam sejarah Indonesia. Dan itu terjadi pada medio 1940-an, ketika Mohammad Yamin dan Ki Hadjar Dewantara mengunjungi sejumlah situs bersejarah di Jawa dalam rangka mengumpulkan bahan bagi penyusunan lambang negara.
Hasil kerja mereka nantinya menjadi modal yang dilanjutkan panitia pimpinan Sultan Hamid II pada 1950 sampai akhirnya melahirkan apa yang kemudian kita kenal, yakni: Garuda Pancasila.
Kreator konten yang kreatif pada zamannya
Selain dikenal sebagai ahli sejarah dan politisi, Yamin juga tercatat piawai menulis sastra dalam format puisi semacam soneta hingga drama. Salah satu drama yang ditulisnya pada 1934 bertitel Ken Arok & Ken Dedes, suatu lakon yang disadurnya dari Pararaton.
Nah, lakon drama yang ditulis pada tahun pernikahannya dengan Siti Sundari tersebut ternyata menjadi salah satu tulisan terawal orang Indonesia yang mengasosiasikan kata Nusantara sebagai toponim untuk seluruh Kepulauan Asia Tenggara.
Yamin juga bisa dibilang sebagai kreator konten jempolan yang kreatif. Setidaknya dia bisa mengubah suatu rumusan kata-kata yang semula kaku menjadi lebih sederhana sekaligus berjiwa.
Kemampuan inilah yang kemudian bikin Yamin jadi “teman ahli bahasa” yang disebut Sukarno saat memberikan pidato legendaris pada 1 Juli 1945. Jadi Yamin diyakini terlibat menamai usulan dasar negara yang terdiri dari lima prinsip sebagai “Pancasila”. Minimal pada bagian penamaan “Sila”-nya yang diambil dari bahasa Sansekerta dan Kawi. Maknanya “dasar” atau “perilaku baik”.
Sentuhan kreatif dan sastrawi Yamin juga memiliki jejak pada rumusan hasil sidang Kongres Pemuda II 1928, atau apa yang kini dikenal orang Indonesia sebagai “Sumpah Pemuda”. Jejak urun rumusan Yamin tepatnya ada di kata-kata “menjunjung tinggi bahasa persatuan” pada poin ketiga sumpah tersebut.
Cocok jadi contoh suami dan ayah ideal bagi program Keluarga Berencana
Mohammad Yamin adalah pula tokoh pergerakan nasional dan salah seorang bapak bangsa yang sejak awal pas jika dipakai ikon Program Keluarga Berencana. Pasalnya dia beristri satu dan cuma memiliki satu anak juga.
Jadi keluarga yang dibangun Yamin dan Siti Sundari dari segi ukuran anggota keluarga kecil dan terbilang jauh mendahului apa yang disarankan Pemerintah Indonesia era Presiden Soeharto. Padahal pada tahun-tahun Yamin dan Siti Sundari menjalani hidup perkawinan, orang Indonesia masih sangat sangat lazim memiliki banyak anak.
Artinya, kalau mau dilihat dari sisi kemonogamian dengan tetap bersetia kepada satu istrinya, Siti Sundari, Yamin sebenarnya lebih “unggul” dibanding Sukarno.
Bahkan kalau dilihat dari sisi punya satu anak saja cukup, Yamin juga lebih pas menjadi ikon Program Keluarga Berencana karena lebih “unggul” dari Pak Harto sendiri: sosok yang minta rakyatnya agar hanya punya dua anak, tapi dia sendiri punya anak sampai enam.
BACA JUGA Kenapa Gajah Mada Lebih Terkenal daripada Hayam Wuruk? dan tulisan-tulisan sejarah YOSEF KELIK lainnya.