Berbahagialah kita hidup di Indonesia, negara yang pada 2017 saja memiliki 16 hari libur nasional dan 4 cuti bersama. Dari 16 tanggal merah tersebut, setidaknya 13 di antaranya merupakan hari besar terkait keagamaan dan tahun baru. Sedangkan empat tanggal cuti bersama, semuanya adalah cuti besar keagamaan.
Jumlah tanggal merah itu pun sebenarnya masih bisa bertambah lagi apabila, misalnya, pemerintah berani secara konsekuen menetapkan aliran-aliran keyakinan lokal dalam posisi setara dengan agama-agama impor mainstream. Bayangkan jika Sunda Wiwitan, Kaharingan Dayak, dan lainnya menyumbangkan hari besar masing-masing untuk dijadikan tanggal merah, apa nggak tambah bejibun itu hari libur dalam kalender?
Dari perspektif inilah, kadang saya curiga: jangan-jangan keengganan pemerintah mengakui dan menempatkan keyakinan-keyakinan lokal sebagai agama yang setara dengan agama-agama mainstream itu sebenarnya tak lebih sebuah konspirasi keji antara kaum kapitalis dan birokrat untuk mencegah jangan sampai ada terlalu banyak tanggal merah.
Meskipun rada ironis juga, jumlah libur nasional sebanyak itu, kok bisa banyak di antara kita yang bertingkah sepeti orang kurang piknik. Entahlah. Mungkin kita demikian sibuknya berjuang saling melestarikan perasaan terancam dan terzalimi, sehingga tak lagi sempat memberi jeda yang cukup bagi diri sendiri untuk berlibur dari riuh-rendah kehidupan duniawi yang kefanaannya abadi ini.
Nah, bulan September sudah tiba di pengujungnya. Setelah hampir 29 hari 29 malam kita “berpuasa dari segala indikasi move on”, hari ini kita semua berlebaran, semua kalangan kita, baik ekstrem kiri, ekstrem kanan, maupun ekstrem tengah–yakni golongan yang memandang bahwa semua yang tidak mengikuti sikap moderat mereka sebagai kalangan yang sesat, amoral, tidak berkemajuan, dan tidak pancasilais (Jangan salah, yang begini ini ada lho, dan jumlahnya lumayan. Tanya saja Tuan Jenderal Kivlan.).
Bagaimana kita berlebaran? Dengan cara debat kusir dan saling menyalahkan, tentu saja. Tanpa kue-kue, tanpa baju baru, tanpa mudik, tanpa rangkaian ibadah sebagai penandanya, dan tentu saja tanpa maaf-maafan.
Tahun ini bahkan terasa spesial karena dimeriahkan dengan pemutaran kembalinya sebuah film yang sudah terlanjur jadi legenda. Kids jaman now yang seumur bijinya belum pernah menonton film itu lantaran di tahun ketika film itu terakhir kali diputar mereka masih berwujud proposal, atau bahkan mungkin angan-angan, belum lagi berbentuk spermatozoid, mereka semua akhirnya akan merasakan sensasi film dahsyat tersebut.
Saya menyebut bahwa selama 29 hari kemarin kita semua telah berpuasa dari segala indikasi move on karena sepanjang bulan September, bahkan sebagian ”aliran” sudah memulainya sejak akhir Agustus, kita lebih banyak berfokus pada masa lalu, masa lalu, dan masa lalu saja. Nyaris semuanya melulu soal masa lalu yang belum terselesaikan dan mungkin memang tidak sepenuhnya benar-benar ingin dituntaskan. Kalaupun bicara soal masa depan, paling-paling sejauh-jauhnya hanya di kisaran 2018 dan 2019. Nggak ada yang ngeributin Piala Dunia 2022 yang akan berlangsung di Qatar, kalau jadi, misalnya.
Berpuasa move on sepanjang bulan di mana nyaris semua orang mendadak jadi sejarawan ini kenyataannya memang terasa sangat berat dan tidak spirituil sama sekali. Puasa makan-minum-seks di bulan Ramadan hanya berlaku sejak subuh hingga petang, sementara puasa move on sepanjang September berlaku siang-malam. Puasa Ramadan dan Idul Fitri dijalankan dan dirayakan secara khususnya oleh satu kaum saja (dengan umat agama lain kadang-kadang cuma ikutan kena repotnya), sementara puasa move on dan lebaran “saling hujat” di bulan September dijalankan dan “dirayakan” oleh semua kelompok dan golongan, seagamis ataupun seateis apa pun dia.
Dan, hey! Itulah yang menyatukan kita dan menjadikan kita sama tololnya.
Atas dasar itulah, saya mengusulkan sebaiknya pemerintah menetapken saja tanggal 30 September sebagai tanggal merah alias libur nasional. Dengan begitu 30 September bisa kita manfaatkan sebagai momentum liburan rasa lebaran, di mana semua lapisan masyarakat akhirnya bisa saling megakui kesalahan dan saling memaafkan, setidaknya dalam 1-2 hari sebagaimana lebaran yang asli, untuk kemudian saling berseberangan lagi sebagaimana biasanya.
Kenapa tanggal 30 September dan bukannya 1 Oktober? Begini. Selama ini yang dipersoalkan selalu 30 Septembernya, bukan 1 Oktober. Lagi pula, 1 Oktober itu yang merupakan Hari Kesaktian Pancasila itu saya rekomendasikan untuk jadi tanggal merah pula kelak. Jadi kan enak, 30 September dan 1 Oktober tanggal merah. Kayak 1 dan 2 Syawal. Syukur-syukur kalau 29 September dan 2 Oktobernya juga dijadikan cuti bersama. Kan hore.
Dengan semakin banyaknya momen bermaaf-memaafan, kita sebagai bangsa akan bisa lebih baik karena terbiasa (berani) mengakui kesalahan dan meminta maaf. Karena dari sudut pandang psikologi, prasyarat bagi manusia supaya bisa move on secara otentik adalah hanya jika dia sudah bisa menuntaskan dan menerima (atau memaafkan) segala urusan yang membelenggunya di masa lalu. Syahdu, ya?
Jadi, lupakanlah celoteh “kalau mau move on, ya move on aja. Yang lalu lupakan saja.”
Dan andai ternyata prasyarat di atas belum bisa kita penuhi, setidaknya kita sudah mencoba. Atau barangkali perlu kita tambah lagi momen tanggal merahnya untuk keperluan itu. Mungkin dengan mengabadikan tanggal-tanggal peristiwa penting lainnya, atau hari-hari semacam hari pernikahan Jonru dan khitanan Felix Siauw dan lain sebagainya.
Ayolah, kalau you, you, dan you, sungguhan mendambakan keadilan sosial dan antikapitalisma, sepatutnya setuju dong jika jumlah tanggal merah diperbanyak, agar semakin sempit ruang untuk eksploitasi manusia atas manusia. Ngiaaa ….
”Lho, Mas, jadi sampeyan menyama-nyamakan 30 September dengan Idul Fitri? Sesat sampeyan, Mas!”. Lha nggak dong, Kang. Tetap beda. Kan yang 30 September nggak ada THR-nya.