Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

17 Agustus dan Arwah Para Pahlawan yang Bergentayangan Selama Upacara Bendera

Fatma Susanti oleh Fatma Susanti
17 Agustus 2017
A A
170817 ESAI 17 Agustus Mojok

170817 ESAI 17 Agustus Mojok

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

“Guru Pendidikan Kewarganegaraan kok nggak nasionalis begini?” tanya seorang sejawat saat saya tidak telalu bersemangat mengikuti ajakan mereka untuk upacara dan karnaval 17 Agustus.

“Ukuran nasionalis kok cuma setinggi tiang bendera?”

Saya mulai menerawang. Saya nggak pernah punya ingatan yang wah atau heroik tentang 17an. Apalagi di bagian upacara benderanya.

Saya belum tahu di mana letak nikmatnya ketika toa sekolah mengumumkan, “Kepada seluruh siswa, esok hari kita akan mengikuti upacara bendera 17 Agustus di lapangan merdeka”. Karena setelahnya saya bakal langsung tepok jidat sambil pengin nangis, “Waduh, besok bakal merasakan penderitaan dijemur setengah harian.”

Teman-teman saya di salah satu komunitas malah sebaliknya. Padahal kalau saya perhatikan dari gaya mereka yang urakan, saya membayangkan pendapat mereka tentang 17-an, ‘Ah, apaan itu … nggak penting’. Apalagi kami yang di Aceh ini pernah merasakan hidup di masa konflik, merasakan represi negara sekian lama sebagai Daerah Operasi Militer.

Eh, mereka malah bilang, “Wah, dulu kita semangat sekali menyambut 17-an. Sehari sebelum upacara, baju malah suda disetrika rapi.” Tapi waktu saya tanya kenapa, mereka hanya menjawab, “Ya, semacam ngikutin pesta rakyat … senang betul kita melihat keramaian”.

Saya jadi mikir, ini soal nasionalisme atau apa sih?

Memang, kalau ada yang senang 7 Agustus-an karena ada panjat pinang dan macam-macam perlombaan, itu lebih mudah saya pahami dibanding orang yang beretorika nasionalisme—yang begitu ditanya apa itu nasionalisme, jawabannya nggak jelas-jelas amat. (Mirip-mirip orang yang ditanya kenapa senang kedatangan bulan Ramadan dan jawabannya selalu retorika religiusitas yang gimana-gimana, gitu. Padahal seneng aja ngebayangin bakal ada makanan super enak setiap buka puasa dan lebaran, main petasan, asmara subuh dan beli baju baru, serta selebrasi yang hanya bisa dijumpai di momen itu.)

Saya belum pernah merasakan acara seremonial berkedok nasionalisme dan patriotisme itu bisa meningkatkan rasa cinta tanah air, apalagi yang levelnya sampai mendarah-daging. Belum dapet feel-nya kali, ya.

Ingatan saya tentang upacara bendera benar-benar adalah ingatan yang nggak ada manis-mansinya. Berbaris dengan rapi selama berjam-jam di bawah terik matahari sambil mendengar teks dan pidato upacara yang itu-itu saja. Situ enak, dapat undangan duduk di podium VIP, terlindungi dari sinar UV—kulitmu nggak bakal tambah hitam dan kusam, apalagi pingsan.

Nah, justru yang paling saya ingat ya urusan pingsan itu. Di sekolah dulu, kalau lagi upacara upacara, saya heran betul kenapa ada siswa-siswi yang bukan hanya pingsan, tapi bahkan sering kesambet. Dan itu seringnya memang terjadi di momen-momen upacara bendera, entah itu hari Senin atau 17-an. Hal yang belum tentu kejadian di tempat dan waktu lain.

Makanya nggak heran kalau mobil ambulance dan PMI suka siaga satu di hari upacara. Yang pingsan dan didatangi roh, bisa ngadem di situ. Yang kuat jasmani dan rohaninya bisa sekalian donor darah (Ini malah sumbangsih yang jelas sebagai warga negara).

Apa jangan-jangan arwah para pahlawan lagi pada protes? Teman-teman saya kan banyak juga dari kalangan yang kurang mampu. Yang kadang harus mengikuti upacara bendera dalam keadaan perut lapar, tapi disuruh menyanyikan lagu kemerdekaan, lalu pingsan atau kesambet.

Jangan-jangan arwah para pahlawan itu kesal karena hal-hal seperti ini. Mereka dulu capek berjuang mengusir penjajah agar kita dapat menentukan nasib kita sendiri, lha kok cuma diperingati dengan cara beginian. Dengan perut lapar pula. Kalau saya jadi mereka, pasti juga bakal tersinggung. Mau beristirahat di alam kubur pun nggak bisa lelap.

Iklan

Daripada mengajari dan meminta siswa menjemur diri menghormati simbol dan tiang bendera, kenapa tidak ajarkan saja mereka secara massif tentang kemanusiaan dan keadilan (begitulah tertulis di sebuah meme), agar siswa-siswa kita tidak lagi kesambet arwah para pahlawan setiap upacara bendera.

Dan setelah reformasi sekian lama, kok bisa orang bicara nasionalisme dengan cara yang sekering itu? Normatif, simbolis, serbaformalitas. Padahal gayanya anti Orde Baru.

Ketika orang tahu bahwa saya ini guru Pendidikan Kewarganegaraan, biasanya mereka bakal merespons, “Pasti kerjaannya suruh-suruh siswa menghafal Pancasila dan UUD 45”. Hadeeeh. Situ aja yang nggak tahu kalau sejak reformasi kurikulum PKn dan ilmu sosial lainnya itu (harusnya) sudah kontekstual. Kerjaan siswa, setidaknya siswa-siwa saya, menganalisis sistem politik dan kekuasaan, sistem hukum, perbandingan ideologi, bahkan hubungan internasional.

Di saat semua orang sudah tahu NKRI dan segala isinya ini harga tawar, nasionalisme harusnya nggak sekering dulu, Bos. Karena kamu nggak perlu membela mati-matian negara yang menindas rakyatnya. Apalagi kalau nasionalisme malah jadi hal yang bikin kamu lupa dan nggak sadar akan adanya penindasan yang dilakukan oleh para penguasa terhadap rakyat kecil—dan kamu malah sampai lempar lembing dan baku hantam demi membela mati-matian penguasa yang bikin kamu tetap miskin

Dan kamu yang mendiskriminasi orang-orang seenaknya atas nama agama, suku, atau pilihan politik, seolah-olah NKRI ini cuma punya leluhurmu, sini kamu saya bilas pakai mesin cuci.

Ngomong-ngomong, yang tertera di meme-meme itu serius, ya: perayaan kemerdekaan di istana negara sampai menggelontorkan biaya sebanyak 7.8 miliar?

Terakhir diperbarui pada 17 Agustus 2017 oleh

Tags: 17 agustus17 Agustus 1945PancasilaupacaraUUD 1945
Fatma Susanti

Fatma Susanti

Artikel Terkait

anggota karang taruna lebih baik daripada mahasiswa KKN saat 17 Agustus. MOJOK.CO
Ragam

Warga Desa Sebetulnya Miris dengan Mahasiswa KKN: Nggak Menghargai Waktu dan Kerja Asal-asalan, Cuma Merugikan

19 Agustus 2025
kupon doorprize nggak guna saat karnaval. MOJOK.CO
Catatan

Kesal dengan Karnaval 17 Agustus, Doorprize-nya “Beri Kesialan Seumur Hidup”

5 Agustus 2025
Fungsi pancasila.MOJOK.CO
Pendidikan

3 Fungsi Pokok Pancasila untuk Kehidupan Bangsa

28 September 2023
Sukarni: Soekarno-Hatta, Rengasdengklok, & Lahirnya Sebuah Republik
Video

Sukarni: Soekarno-Hatta, Rengasdengklok, & Lahirnya Sebuah Republik

14 Agustus 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.