[MOJOK.CO] “Pembaca rubrik Otomojok pasti tak asing dengan Edi AH Iyubenu yang tiap minggu ganti mobil itu. Kini, ia membagi tips kaya rayanya hanya untuk Anda.”
Hanya Marno Blewah tampaknya yang selalu bersyukur sepenuh jiwa atas limpahan aktivitas menganggurnya. Orang-orang selainnya, pontang-panting bagai kitiran kurang dolan, siang malam. Memperdagangkan apa saja dari buku, sambel terasi, hingga harga diri yang tak lagi beda dari nasib colokan listrik yang ditubles gonta-ganti di sebuah kafe. Tujuannya ya tunggal, sama, paripurna: kaya.
Memang, semua mafhum, perihal kaya adalah perihal jagat perasaan. Kendati tasnya kresek hadiah supermarket, bukan Hermès, ke mana-mana pakai Honda Impressa, tiap malam nguntal mi rebus kebak irisan cabe, perasaan kaya yang hadir mencurah di dalam hati yang jembar ya sudah cukup menjadikan seseorang kaya. Mau seempiris Setnov hartanya, ujungnya ya kandas di tiang listrik saja gunungan e-KTP yang ditimbunnya.
Sebuah kamar tahanan KPK dengan lima kasur tipis, di bagian bawah difungsikan menyimpan kotak-kotak baju dan peralatan pribadi, bersebelahan persis dengan jamban yang pasti berisik oleh bunyi kentut, berak, kencing, dan cawik yang tak kunjung lelah. Perasaan kaya macam apa coba yang kini menghinggapi batin Setnov? Saya yakin sekarang ia rela banget bertukar nasib dengan bakul sambel penguasa temlen itu.
Sebab hakikat kekayaan bukanlah soal limpahan saldo, meski ia pun tak bisa dinafikan—bagaimanapun Marno Blewah tetap ngopi dan ngudud yang didapatnya dari uang. Wajarlah, orang lalu berjibaku untuk mengeduk harta. Segala macam jualan, coba cek, mana yang tak ada pesaingnya? Pecel lele berjubel, buku pula, bahkan dagangan harga diri pun luar biasa sesaknya. Coba aja main ke Babarsari selepas pukul sepuluhan malam.
Setelah berkitir dan jadi colokan siang malam, benarkah Anda bisa kaya? Tepatnya, merasa sudah kaya. Nggak juga. Nah, saya punya tiga taktik agar Anda sukses menjadi pebisnis atau bakul yang bisa kaya. Kata Safir Senduk, buat apa jadi pengusaha bila tak bisa kaya? Buat apa punya omzet puluhan atau ratusan juta, tapi untuk bayar listrik dan mandi kembang tengah malam saja kebingungan?
Pertama, jangan jadi penakut.
Ini seriyes. Begini kata Mbah Muhammad Zuhri, “Ikhtiar adalah kewajiban manusia tetapi tak ada kewajiban bagi ikhtiar untuk mencapai tujuan.”
Modal? Selalu saja ini masalah kalian, bukan? Modal duit itu nomor tiga, Lur, nomor satunya adalah modal keamanahan dan yang kedua modal keberanian. Ketiganya bagian riil dari ikhtiar (taken), bukan given. Gimana mau jadi bos penerbit indie bila sedari awal kalian takut nggak laku, padahal kalian sudah punya modal amanah? Tinggal bikin penyiapan konsep saja sebenarnya, lalu berani, berani, lalu datangi percetakan atau kenalan, buat utang. Jangan ke bank. Sesyar’i-syar’inya bank, ketahuilah, ya jingan juga. Utang personal ke percetakan saja, beres. Modal amanah.
Jika keadaan kere, lalu nggak berani utang, gimana mau ada eksekusi coba? Bakal jadi bisnis konsep mulu. Bisnismu bangkrut sebelum sempat dibuka.
Udah, utang aja. Lalu amanahlah. Jaminkan harga dirimu untuk poin ini. Kalaupun ada masalah teknis kemudian, hadapi dengan lantang. Jangan ngumpet, kabur. Buat komitmen baru. Orang yang ndelik karena masalah niscaya hidupnya takkan lebih dari cuilan ikan manyung yang terjatuh dari ember, lalu ketindih sendal, terseret ke mana-mana, lalu berakhir di comberan.
Kedua, jangan jadi pengeluh.
Sudah pasti enakan lelap ngiler atau ndodok mikiri perasaan kates sembari murung di pojokan ketimbang ribet ke sana-sini, ngonsep taktik ini itu, berlobi dengan banyak orang. Sudah pasti enakan fesbukan mulu macam penulis Lalerin Cipta ketimbang harus ke pasar, belanja, becek-becekan, belum lagi gendong anak, lalu menaikkan segambreng bahan dagangan ke motor andalan. Ndak kemringet, ndak capek, berikutnya ndak ngeluh.
Tapi, alam raya ini selalu bermestakung kok. Bersunnatullah. Jelas capekmu selalu setimpal dengan capaianmu kemudian. Entah sebulan, setahun, atau lima tahun lagi. Pasti beda antaramu diam dengan obah. Yang ndodok seharian di pojokan ya hasilnya kecirit berkleleran, yang banting tulang tubuh dan pikiran ya menuai transferan.
Maka, mengeluh adalah musuh rohani ikhitar. Jadi owner jelas menjanjikan hasil yang beda jauh dengan pekerja, tetapi harga letih dan lelah mutlak harus ditumbalkan. Selalu saja para pemimpin, manajer, dan owner perusahaan atau bakulan apa pun adalah sosok tangguh batin, pikiran, dan bertangan seribu alias multitasking yang sat-set, tas-tes. Ngeluhnya ntar aja jelang Subuh kepada Gusti Allah. Tak ada waktu di siang bolong untuk sambat ke Zuckerberg. Kayak abegeh aja sambatan, tapi ngarep transferan, Bu, Bu.
Ketiga, jangan serakah.
Westolah, yakini aja, serakah adalah sumber petaka. Makan aja terus, tanpa beol, bakal jadi penyakit. Tumpuk aja terus profitmu, tanpa menyejahterakan timmu, pasti suatu hari akan ditinggalkan.
Serakah adalah kemewahan yang tak dewasa. Tua, mewah, dan tak dewasa, banyak contohnya. Suatu saat, yang begitu-begitu akan merana. Mestakung niscaya bekerja.
Serakah umumnya terjadi akibat dimamah kepalsuan citra kaya itu. Duit sudah banyak, aset banyak, tetap saja merasa kurang, miskin, dan ngeluhan. Jadilah serakah kemudian.
Nah, kiat agar hatimu nggak berat untuk nyah-nyoh, cukup anggap saja segera sebagian profitmu itu eek. Bau, menyiksa, dan mengundang penyakit. Makanya harus dibuang. Anggap saja kamu sedang membuang kotoranmu. Semakin banyak dibuang, ya semakin bersih dan lancar ambekan.
Memang, duit yang bau eek dan duit yang wangi keberkahan sama belaka wujudnya. Tetapi, tepat di sinilah letak beda mendasar pebisnis yang fakir dan kaya terpancang: yang berjiwa fakir akan terus serakah karena merasa kekurangan muluk; yang kaya akan ongkang-ongkang titit saja sambil cengar-cengir menikmati keindahan anugerah.
Coba pikirkan dalam sunyi, apa sih alasan logisnya untuk terus merasa kurang bila omzetmu sudah mengalir melampaui kahananmu tahun lalu dan lima tahun lalu? Bukankah itu pertambahan nyata dalam hidupmu?
Jika masih saja merasa kurang di hadapan pertambahan itu, mbok mending ndak usah repot kayak kitiran mikirke dagangan lagi. Berhenti saja berbisnis. Mending kayak tahun lalu saja: nganggur, kuthul, tapi tenteram.
Jika telah menerapkan prinsip-prinsip menjadi kaya ala karepe saya ini secara istikamah, insyaallah semua urusan bisnis akan terjalani dengan biasa saja. Tidak ada yang luar biasa, apalagi mencekam! Mau untung meledak, biasa saja. Lha wes merasa kaya kok. Mau dagangan diretur se-tronton, ya biasa saja. Lha wes merasa kaya kok.
Jangan lupa, Lur, nikmati hasil usahamu. Hidup nggak lama kok munyer terus, ntar tahu-tahu sesak napas gimana. Udah sini, ngopi-ngopi mangewu sambil menertawakan orang-orang Jakarta yang mewah-tapi-kok-muuunyeeerrr-terus. Bhaaa….