“Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” ~ Nyai Ontosoroh.
Nyai Ontosoroh memang hanya tokoh rekaan dalam Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Ia fiktif, tetapi karakternya tidak fiktif. Ia menjadi corong perspektif Pramoedya untuk menggambarkan bagaimana idealnya seorang perempuan single berpikir dan bertindak. Kita tahu, di dalam karya-karya Pram begitu banyak pesan-pesan yang evergreen. Ya, seabadi masalah hidup “bersatu”, alias tanpa pasangan.
Pram, seperti juga kita, pasti mengerti bahwa hidup menyendiri sangat tidak mudah. Mau ditilik dari sudut pandang apa pun, menjomblo tetap berat. Bahkan mereka yang teriak-teriak, “Emang kenapa kalau jomblo? Kami ini jomblo-jomblo bahagia!” tetap patut kita curigai hanya sedang membunglonkan diri seolah hijau padahal cokelat.
Namun Pram, melalui Nyai Ontosoroh-nya, sangat menghasratkan kesetiaan pada idealisme dan keadaban, seberat apa pun kahanan menjomblo itu.
“Biar jomblo asal idealis,” kira-kira begitu ajaran pertama Nyai Ontosoroh.
Idealisme ini terekam jitu dalam premis pertama: “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki.” Bisakah kau membayangkan bagaimana tekstur hidup perempuan berkalang lelaki? Surga nunut neraka katut, begitu ilustrasinya. Kesadaran feministik telah menjiwai sosok Nyai Ontosoroh; bahwa perempuan haruslah sejajar dengan lelaki; bukan sekadar kanca wingking; bukan hanya hidup untuk urusan dapur, sumur, dan kasur, plus nganggur.
Tanpa perlu kenalan sama Betty Frei, yang hidup di Amerika dan rajin berkasak-kusuk bersama kawan-kawan sosialitanya untuk menuntut kesamaan derajat itu, Nyai Ontosoroh telah dicetak oleh Pram sebagai prototipe perempuan jomblo yang idealis.
Maka umpama ada lelaki klimis bertampang Sami Khedira yang pedekate sama Nyai Ontosoroh via inbox Facebook, kira-kira chat-nya akan sejenis ini:
“Hai, kamu siapa?”
“Saya Ontosoroh. Kamu siapa?”
“Saya Giant. Boleh kenalan?”
“Iya, boleh.”
“Ehhm, nama lengkapmu siapa?”
“Nyai Ontosoroh. Kamu?”
“Su-Giant-o.”
Nyai Ontosoroh langsung log out sebagai aksi protesnya sembari mendengus dalam hati. “Hasyuuhh, wong Jowo juga pake belagu sok bule. Giant, Giant ndyasmu, dasar Vicky Prasetyo!”
Begitulah sikap idealis jomblo ala Nyai Ontosoroh; menyendiri itu merah, Jenderal, tetapi tidak berarti tidak beradab, pakai great sale.
Sampai di sini, pesan moral kejombloan Nyai Ontosoroh untuk kalian yang setia bersatu ialah: “High Quality Jomblo.” Maksudnya, bebannya berat, tapi hargamu juga tinggi! Nggak pake galau-galauan di media sosial untuk memancing merpati-merpati yang rajin ingkar janji agar singgah di sangkarmu, lalu pergi dan singgah ke sangkar-sangkar lainnya lagi. Nyai Ontosoroh nggak demen galau, tidak hobi bertelanjang di medsos!
Namun, di sisi lain, idealisme Nyai Ontosoroh bukanlah idealisme buta. Nyai Ontosoroh tahu pasti bahwa idealisme buta takkan bikin bahagia. Ia tahu betul bahwa idealisme buta hanya dilakukan oleh orang-orang yang belum pernah disodori billing. Alias masih nadah ortu. Ya wajar idealis dengan harga mati, lha wong ada simboke yang selalu membayari semua tagihannya sambil mengelus dada.
Idealisme Nyai Ontosoroh, untuk memilih hidup menjomblo dibanding berkalang lelaki itu, lantas dinetralisir dengan premis kedua: “Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” Ini sangat bertenaga, keren. Timbang kau di permukaan bersikap politik “anti menikah sebagai pemberontakan terhadap ketidakadilan rumah tangga”, tetapi bolak-balik plesiran ke kidul Giwangan dan kulon Malioboro untuk nemuin Srintil, to?
Nyai Ontosoroh bersikap apa adanya sebagai jomblo idealis di satu sisi; hanya akan melepas kejombloannya untuk lelaki yang tepat untuk dicintainya. Bila di sisi lain tipe lelaki begituan belum hadir, ia bukan hanya siap menanggung beban jomblonya tapi juga bahkan bersedia menggembleng diri untuk lebih mandiri dan lebih baik sebagai pribadi.
Inilah pelajaran menjomblo yang beradab dari Nyai Ontosoroh. Maka bila kau betah menjomblo sampai lima tahun lagi dengan alasan: “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki”, dengan target besar untuk “…bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai”, itu tandanya kau telah mewarisi spirit jomblo idealis dan beradab dari Nyai Ontosoroh.
Sementara itu, sambil menunggu premis pertama dienyahkan oleh pemis kedua tadi, ada baiknya kau merajinkan diri menghafal Pancasila, terutama sila kedua: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”