Melihat perilaku Ahok, beberapa dari kita barangkali antipati. Atau mungkin, kita merasa berkaca—keberaniannya berkata apa adanya, tanpa filter dan kontrol, sebenarnya adalah cerminan keinginan kita untuk menjadi jujur. Namun permasalahannya, sejauh mana anda dan saya bisa menolelir perilaku Ahok?
Baru-baru ini, Ahok kembali membuka perdebatan dengan mempermalukan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jakarta yang dianggapnya tidak jujur. Di depan khalayak, Ahok mengatakan bahwa harga-gara alat tulis yang ada di Jakarta Book Fair itu dijual lebih mahal dari harga normal. Ahok marah, lantas menolak membuka pameran buku tersebut. Lebih dari itu, ia meminta warga Jakarta untuk tidak lagi datang ke acara itu.
Beberapa orang memuji tindakan Ahok, menganggapnya sebagai pejabat yang peduli dengan warganya. Tapi bagi saya, Ahok tidak lebih daripada seseorang pemarah yang tidak bijak bersikap. Jika memang IKAPI melakukan kecurangan, semestinya ada cara yang lebih bijak untuk menyikapi hal itu. Kemarahan demi kemarahan yang dilakukan Ahok, saya kira minim esensi. Ia hanya memberi khalayak ramai Imaji tentang sikap tegas dari pemimpin, tapi implementasi lapangannya menyedihkan.
Mari kita hitung. Berapa kali Transjakarta terbakar? Siapa yang Ahok salahkan? Berapa kali ia mengumpat? Berapa kali ia mengucapkan “tai”? Berapa masalah yang selesai dari kemarahan itu? Lantas kita bandingkan dengan sikapnya terhadap polemik Teluk Jakarta. Apakah Ahok segalak itu terhadap para investor yang memiliki investasi dengan nilai triliunan rupiah?
Ahok mungkin tetap dan akan terus dipuji. Saya menolak menjadi penjilat, menjadi pendukung semestinya memberikan kita hak lebih untuk melakukan kritik. Menjadi pendukung membuat kita selayaknya bersikap dua kali lebih keras daripada pembenci. Jika Ahok terus dan terus-menerus dibela, dicarikan pembenaran setiap kali ia membuat kontroversi, maka apa bedanya kita dengan kelompok sapi yang memuja para pimpinannya?
Hal menarik yang baru-baru ini terjadi adalah bagaimana pendukung Ahok merespons kicauan lama dari Ikhsan Modjo.
Ikhsan pernah membuat peyorasi kata Ahok, dengan mencuit begini: “Selamat pagi. Mandi pagi tadi apakah sudah mengeluarkan Ahok semua?” Pendukung Ahok berang dan marah. Kini ketika Ikhsan maju menjadi calon walikota, para pendukung Ahok menyerang sosok pribadi Ikhsan sebagai seseorang yang rasis.
Kita terlalu sering terjebak pada fanatisme buta sehingga susah menanggalkan kebencian dan sikap kritis.
Menyerang pribadi Ikhsan seperti ia menyerang pribadi Ahok saya kira sama buruknya. Keduanya tidak membawa kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Tentu kita percaya bahwa kesalehan tidak diukur dari sekadar kata-kata. Sikap santun pun kerap menipu, berapa orang yang tiba-tiba menjadi relijius ketika diciduk KPK? Atau mungkin tiba-tiba menjadi sosok jujur dan amanah ketika sanak keluarganya tertangkap kasus korupsi? Moralitas itu nisbi sementara prestasi dapat diukur.
Membiarkan Ahok terus memaki tidak akan membuat ia jadi sosok yang baik. Ia hanya akan terus menjadi figur yang dicintai sosoknya ketimbang kerjanya. Akan celaka membandingkan sikap kasar Ahok dengan sikap tegas Ali Sadikin. Meski keduanya sama-sama keras, capaian dan fokus kerja keduanya berbeda satu sama lain.
Gejala pemujaan berlebih memang selalu ada pada masing-masing kelompok. Baik pendukung sepak bola maupun partai politik. Meski Pemilihan Presiden telah lewat berbulan lampau, pertikaian antar individu yang calonnya kalah dan calonnya menang masih ada. Residu dendam dan bara dalam sekam tanpa ada upaya rekonsiliasi menemukan anginnya sendiri pada tiap-tiap kebijakan yang dibuat rezim ini.
Ahok bukan malaikat yang tidak bisa membuat kesalahan. Memuja ia berlebihan tanpa bersikap adil dengan kritik yang proprosional hanya akan membuatnya terjerumus menjadi pribadi yang angkuh. Hal serupa juga semestinya diberikan kepada orang seperti Jonru, Hafidz Ary atau Felix Siauw yang saya percaya punya kebaikan. Saya gak tahu kebaikan apa yang mereka bawa, tapi saya percaya mereka adalah sosok yang memiliki perannya tersendiri untuk Indonesia.
Pada akhirnya, semua bersandar pada pilihan kita; menjadi pendukung buta atau menjadi pendukung yang waras. Ini ibarat menyadari bahwa mantan sudah bahagia bersama yang lain dan berharap balen sesungguhnya adalah kesia-siaan. Anda bisa setuju, bisa menolak, atau bahkan tetap kokoh berkata bahwa calon yang anda dukung adalah santo yang maksum, terlindung dari kesalahan.
Namun percayalah, tidak ada yang lebih absolut di jagat raya ini kecuali kebahagiaan mantan. Ciye serius amat baca tulisan ini.