Kritik di media sosial terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo yang hendak merumahkan suku Anak Dalam atau Orang Rimba—agar meninggalkan hidup nomaden—sampai beberapa hari masih enak diikuti. Tapi, sejak kemarin, diskusi virtual ini dirusak oleh gelombang netizen yang lebih ribut mempersoalkan foto Presiden dengan tuduhan melakukan rekayasa untuk pencitraan.
Perdebatan sontak bergeser: dari keprihatinan tentang minimnya pemahaman antropologis dalam konsep pembangunan Indonesia, menjadi urusan apakah (foto) dialog itu terjadi spontan atau merupakan hasil rekayasa. Perdebatan pertama membawa kita pada pertukaran ide, sementara urusan kedua hanya membawa pada perang urat syaraf antara “lovers vs haters“.
Padahal, seumpama benar dialog tersebut adalah hasil rekayasa untuk kepentingan fotografi agar Orang Rimba tampak eksotis dengan cawat dan presidennya “merakyat”, sama sekali tak mengurangi substansi persoalan bahwa Orang Rimba tak lagi memiliki ekosistem atau tempat hidup.
Dan bila ternyata foto itu bukan rekayasa sekalipun, tetap tak akan menghilangkan fakta bahwa pemerintahan Jokowi yang sangat investment minded—sebagaimana dilakukannya terhadap orang Malind di Papua dengan proyek sawah sejuta hektare—tak memilki pemahaman antropologis tentang relasi antara masyarakat dan sumber-sumber penghidupan atau fundamental ekonomi mereka.
Jauh lebih substansial mempersoalkan, bahwa mereka yang duduk bercawat bersama Presiden hanyalah perwakilan dari 19 kepala keluarga yang memang sudah hidup menetap di areal Hutan Tanaman Industri (sawit), di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Karena mereka sudah hidup menetap, maka masalah yang muncul dalam dialog pun seputar sumur dan akses listrik. Seolah inilah masalah fundamental yang mewakili suku Anak Dalam.
Presiden pun menjawabnya dengan Kartu Indonesia Sehat.
Padahal, 11 orang suku Anak Dalam yang dilaporkan meninggal dalam beberapa bulan terakhir (kasus terbesar terjadi Januari-Februari 2015), bukan akibat gangguan kesehatan, melainkan kelaparan karena hutan dan sungai tempat mereka mencari makan telah tergusur tanaman monokultur.
Foto dan berita yang mengikuti Presiden jongkok bersama orang bercawat (rekayasa atau bukan) jelas tidak mewakili substansi persoalan. Sebab masih ada sekitar 1.775 jiwa dari 13 kelompok lain yang kini hidup menyebar di kawasan seluas 58.500 hektare di Taman Nasional. Berita lain, yang menyebutkan bahwa “pemerintah akan membagikan 2.000 hektare lahan pada suku Anak Dalam”, jelas merupakan persoalan yang jauh lebih penting untuk dikritisi, daripada sibuk melingkar-lingkari foto dengan aneka warna.
Pemerintah yang mengambil hutan mereka, lalu membagi-bagikan begitu saja sebagai konsesi atau hak guna untuk perusahaan-perusahaan sawit. Kini, ketika satu per satu Orang Rimba kelaparan dan mati, pemerintah tampil bak sinterklas dengan “memberi” lahan cuma-cuma. Betapa luar biasanya.
Kemudian muncul kontra-kritik: pemerintah mana yang memberi konsesi, dan pemerintah mana yang berusaha memadamkan api. Apakah presiden yang sama?
Ini baru namanya diskusi virtual. Dan pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua hal:
Pertama, dari sudut pandang suku Anak Dalam, tidak ada urusan apakah pemerintahannya berbeda atau tidak, sebab mereka tidak pernah menentukan sendiri pilihannya. Mereka “dikarantina” di Taman Nasional karena hutan di sekitarnya sudah tumpas, bukan atas pilihan mereka. Mereka kini hendak dimukimkan atau diajari berladang di areal “konsesi” 2.000 hektare, lagi-lagi bukan pilihan mereka. Semua ditentukan oleh pihak lain, yakni pemerintah—sebuah konsep yang juga asing karena mereka selama ini hanya mengenal “temenggung” sebagai satuan sosial.
Kedua, apakah presiden yang (berpotensi) merenggut hutan Orang Rimba sama dengan presiden yang hendak membagi-bagikan lahan sebagai “solusi”?
Ini juga pertanyaan penting. Meski jawabannya mudah:
Iya, ini presiden yang sama, yang bulan September kemarin baru mengeluarkan deregulasi kebijakan ekonomi tahap II, yang memangkas izin kehutanan dari 2-4 tahun menjadi hanya 12-15 hari kerja. Ini masih presiden yang sama, yang meremas empat belas aneka izin kehutanan menjadi sekitar enam izin saja. Salah satunya adalah dengan mempermudah izin pinjam pakai hutan untuk kepentingan pertambangan, seperti emas dan bauksit yang sedang happening di sepanjang perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Bila ada Gubernur yang belum mengeluarkan rekomendasi dalam empat hari kerja, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah pusat yang akan “ambil posisi”.
Semua deregulasi sektor kehutanan ini jelas bukan demi suku Anak Dalam di Sarolangun, Jambi, atau orang-orang Malind Deq di Muting, Merauke. Juga bukan untuk orang-orang Dayak Jalai dan Sekayuq di Ketapang. Apalagi untuk menahan laju deforestasi, atau memulihkan fundamental ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Bila deregulasi izin kehutanan ini saja bukan untuk kepentingan mereka, apalagi ribut-ribut soal foto yang dilingkari.
*sumber gambar:Â Setkab