MOJOK.CO – Hanum Rais sebaiknya belajar dari Arief Poyuono ketika mau mengomentari kasus penusukan Wiranto yang lumayan sensitif ini.
Dari kabar mengerikan soal upaya penusukan Menko Polhukam, Wiranto, setidaknya kita bisa melihat tiga perspektif bagaimana politisi kita merespons kejadian ini. Tiga perspektif dari para politisi ini setidaknya cukup mewakili publik.
Respons atau perspektif pertama adalah merasa prihatin, berharap Pak Wiranto baik-baik saja, dan meminta pelaku diusut tuntas.
Ini respons yang lumrah dan wajar. Dari Presiden Jokowi, Ketum PDIP Megawati, sampai politisi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, semua sepakat mendorong Polri agar segera membongkar motif peristiwa ini. Tak lupa juga sampaikan rasa prihatin kenapa kejadian seram kayak gini bisa terjadi.
Respons ini juga jamak dipilih oleh publik. Sebenci atau segeram apa pun mereka terhadap tindak-tanduk Pak Wiranto dulu dan sekarang, tetap tidak bisa disembunyikan rasa simpati akibat penyerangan ini. Terutama karena serangan brutal ini dilakukan di siang bolong dengan banyak kamera yang memotret dan merekam.
Namun selain perspektif tersebut, ada juga cara melihat yang berbeda. Yakni, cara kedua. Memandang penuh curiga, percaya ada konspirasi, dan meminta agar tidak terkecoh bahwa bisa jadi ini cuma setting-an.
Ini cara respons yang agak aneh, meski cukup seksi untuk diikuti. Lebih seksi lagi karena yang membuat cara pandang ini populer adalah Hanum Rais, politisi PAN yang juga putri dari politisi sepuh Amien Rais.
Melalui kicauan di akun Twitter @hanumrais, Hanum Rais sempat menduga bahwa peristiwa ini adalah setting-an agar dana deradikalisasi terus mengucur. Ada upaya play victim. Terakhir blio juga menyebut kalau hal ini memungkinkan terjadi karena ada hoax-framing.
(((hoax-framing)))
Meski akhirnya kicauan Hanum Rais ini dihapus (menurut keterangan resmi sih “tidak sengaja” terhapus), tetap saja kicauan ini segera jadi bahan perundungan netizen tanah air yang begitu haus akan bahan ghibah ala-ala Lambe Turah.
Apalagi Hanum Rais adalah satu di antara politisi tanah air yang pernah menyebarkan hoaks fenomenal Ratna Sarumpaet. Tak cuma menyebarkan, anggota DPRD Yogyakarta ini bahkan—dengan cukup selo—bikin video pembelaan sambil berderai air mata bahwa Ratna Sarumpaet merupakan Cut Nyak Dien masa kini.
Maka, jelas saja kicauan Hanum Rais soal tanggapan upaya penusukan Wiranto tersebut jadi berbalik. Jadi semacam senjata makan tuan. Tidak cukup sampai di sana, Hanum Rais bahkan sampai dilaporkan oleh relawan Joko Widodo ke Bareskrim Mabes Polri.
Waduh, berat benar hidupmu, Mbak Hanum Rais. Di saat mau kasih perspektif yang berbeda, hampir seantero netizen Indonesia ramai-ramai mem-bully dirimu, dilaporkan ke polisi lagi. Hadeh.
Meski begitu, ada baiknya netizen jangan buru-buru menyerang Hanum Rais. Bisa saja perspektif yang blio tawarkan soal kemungkinan ada konspirasi pada penyerangan Wiranto ini didasarkan dari masa lalu. Soalnya, seperti pepatah lama: pengalaman adalah guru terbaik.
Jadi ya wajar to, sebagai sosok yang pernah kena tipu habis-habisan oleh Ratna Sarumpaet, barangkali Mbak Hanum jadi melihat sesuatu dengan penuh curiga. Apa-apa jadi dipandang dengan mata penuh selidik. Jiwa investigasinya jadi membuncah begitu tinggi.
Dari berguru dengan pengalaman itulah Hanum Rais berceloteh soal kemungkinan ada konspirasi dari perisitiwa penusukan Wiranto. Masalahnya, bukannya memberi pencerahan, jiwa investigasinya ini malah bikin kegaduhan. Ealah, kecemplung lagi pada lubang yang sama deh.
Hmm, pengalaman memang guru terbaik, hanya saja kadang muridnya nggak selalu yang terbaik.
Sebenarnya, kalau Mbak Hanum Rais mau, ada cara yang lebih seksi ketika melihat peristiwa upaya penusukan Pak Wiranto ini. Perspektif yang ketiga. Perspektif yang bisa jadi pelajaran bagi Hanum Rais bagaimana cara politisi super-jenius melihat kejadian seperti ini.
Nah, perspektif ketiga itu muncul dari sosok menakjubkan. Tiada tanding, tiada banding. Beliau selalu muncul menjadi perhatian baru lewat komentar-komentarnya yang to infinity and beyond.
Uniknya, mau sengawur apapun celotehannya, blio nggak pernah bikin kontroversi yang berujung kemarahan publik. Yang ada malah sebaliknya—publik jadi bisa mengendorkan syaraf-syaraf kencengnya.
Yak, pliswelkom sodara-sodara, idola kita semua dari Wakil Ketua Umum Gerindra…
…Lord Arief Poyuono.
Di saat semua politisi sampaikan desakan ke Polri agar mengusut tuntas kasus penusukan Wiranto ini, lalu Mbak Hanum kasih tahu bahwa ada kemungkinan teori konspirasi di baliknya, Lord Arief Poyuono malah memberi solusi konkret tiada duanya, yakni: pejabat sebaiknya belajar debus!
Muke lu ambyaaaar, belajar debus wooy!
“Ini pejabat negara harus pada tirakat untuk belajar ilmu kebal ya, untuk menjaga-jaga diri. Banyak kok tempat belajar ilmu kebal atau ilmu debus, misalnya di Banten,” sebut Lord Arief Poyuono tercinta ini memberi solusi konkret.
Masalahnya, mau sengawur apapun komentar ini, sebetulnya apa yang disampaikan Lord Arief Poyuono ini ada benarnya juga. Soalnya, harus diakui, debus adalah salah satu kearifan lokal yang menjadi salah satu “senjata” para pejuang kemerdekaan menghadapi agresi militer tentara kolonial pada zaman dulu.
Bahkan konon, salah satu hal yang bikin tentara Inggris nggak habis pikir pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah jiwa nekat pejuang kemerdekaan yang mereka hadapi. Hagimana nggak pusing kalau tank mereka tetap berani diadu sama pasukan yang nekat nyerang cuma modal dengkul karena senjata yang sangat terbatas?
Maka patut diduga juga kalau pada saat itu, banyak pejuang kemerdekaan yang pakai ilmu debus. Ilmu kebal. Dengan harapan, kalau ditembak nggak mempan, digranat mental, ditusuk bayonet meleset.
Barangkali dengan latar pengetahuan sejarah seluas itu, Lord Arief Poyuono merasa kalau kearifan lokal tanah air ini baiknya juga dimiliki oleh para pejabat-pejabat tanah air. Bahkan selain untuk keamanan pejabat negara, kalau kita mau berpikir lebih jauh, usul ini sangat relevan agar tidak membebani anggaran belanja negara.
Ketimbang menambah aparat penjaga keamanan pejabat Indonesia—yang tentu butuh tambahan biaya—bukankah jauh lebih murah jika memberi kemampuan debus ke pejabat kita ya kan? Sudah murah, meningkatkan ekonomi-kreatif-mistis masyarakat lokal lagi. Cukup bayar rokok saja untuk para dukun-dukun tanah air, beres urusan.
Tak diduga memang, ketika yang lain sudah berpikir ke mana-mana dalam merespons kejadian penusukan Pak Wiranto, Lord Arief Poyuono tetap memberi perspektif yang sangat Indonesia banget.
Benar-benar politisi yang patut dicontoh—lebih-lebih oleh Hanum Rais. Agar ke depannya, kalau mau bikin yang kontroversi, jangan yang bikin publik marah, tapi baiknya yang bikin publik tercerahkan dengan cara yang sangat menghibur.
Hidup Lord Arief Poyuono!!!
BACA JUGA Menertawakan dan Menghormati Arief Poyuono atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.