MOJOK.CO – MUI Jatim imbau pejabat muslim dan umat muslim secara umum, agar tak ucapkan salam agama lain. Seperti “Namo Buddhaya” atau “Om swasti astu”.
Bahan ghibah muncul lagi seusai beredar sebuah surat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang berisi imbauan umat Islam—terutama pejabat—agar tidak mengucapkan salam dari agama lain. Tak pelak di linimasa media sosial saya, netizen yang terhormat segera nyinyirin imbauan MUI Jatim tersebut.
Jika wajarnya pejabat di Indonesia hanya menyampaikan “Assalamu’alaikum” atau “selamat pagi/siang/sore”, harus diakui belakangan ini mulai muncul tren untuk menyelipkan juga salam “Namo buddhaya” yang biasa diucapkan umat Buddha dan “Om swasti astu” yang biasa diucapkan penganut Hindu. Nah, menurut MUI Jatim, ucapan ini sama dengan berdoa ke Tuhan yang lain.
Dalam surat edarannya pada poin 5 (dari 8 poin yang ditekankan). MUI Jatim menilai bahwa “Namo buddhaya” yang berarti “terpujilah Sang Buddha” merupakan ungkapan spesifik untuk Sidharta Gautama, Sang Buddha. Sedangkan “Om” pada “Om swasti astu” merujuk hanya pada “Sang Hyang Widhi”, yang dianggap khusus penyebutan untuk Tuhan bagi agama Hindu.
Meski begitu MUI Jatim juga tidak sampai menyebut haram atas salam ini, melainkan membebani hukum “bid’ah” karena tak pernah dilakukan pada masa lalu, serta mengandung nilai syubhat yang baiknya dihindari.
Menurut Ketua MUI Jatim, KH. Abdusshomad Buchori, surat tersebut memang hasil resmi dari rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Nusa Tenggara Barat, 11-13 Oktober 2019 silam.
“Ini (hasil) pertemuan MUI di NTB ada rakernas rekomendasinya, itu tidak boleh salam sederet itu semua agama yang dibacakan oleh pejabat,” kata Abdusshomad seperti diberitakan CNN Indonesia.
“Salam, Assalamu’alaikum itu doa, salam itu termasuk doa dan doa itu ibadah. Sehingga kalau saya menyebut Assalamu’alaikum itu doa semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam,” katanya lagi.
Hal ini semakin ditegaskan oleh Sekjen MUI, Anwar Abbas, yang menilai kalau imbauan ini telah sesuai dengan Al-Quran dan Hadist.
“Oleh karena itu, seorang muslim harus berhati-hati di dalam berdoa dan jangan sampai dia melanggar ketentuan yang ada karena ketika dia berdoa maka dia hanya akan berdoa dan akan meminta pertolongan dalam doanya tersebut hanya kepada Allah SWT saja, tidak boleh kepada lainnya,” kata Anwar Abbas.
“Oleh karena itu, kalau ada orang Islam dan orang yang beriman kepada Allah berdoa dan meminta pertolongan kepada selain Allah SWT, maka murka Tuhan pasti akan menimpa diri mereka,” tambahnya.
Jika menilisik lebih dalam lagi, perbedaan mereka yang tidak sepakat dengan imbauan MUI Jatim ini terletak pada beda tafsir soal salam agama lain yang dianggap mengimani Tuhan yang lain pula.
Tentu saja, berdoa kepada selain Allah itu haram hukumnya dalam Islam. Tak ada perbedaan soal ini. Hanya saja, apakah mengucapkan salam menggunakan cara agama lain dianggap mengamini Tuhan di agama lain? Nah, itulah yang kemudian jadi perdebatan netizen kita.
Bagi mereka yang menilai salam “Namo buddhaya” dan “Om swasti astu” dianggap sama dengan berdoa ke Tuhan yang lain, ya silakan kalau menilainya sebagai bagian dari syirik. Namun, bagi yang merasa ucapan itu hanya berhenti di bibir dan kalimat salam itu tak pernah menggoyahkan iman sama sekali, ya masuk akal juga alasannya.
Seperti misalnya, MUI Jatim mendefinisikan “Namo buddhaya” merupakan bagian dari pengakuan Buddha sebagai Tuhan. Siapa saja yang mengucapkan itu, bahkan tanpa pretensi apa-apa di dalam hatinya, ya dikhawatirkan malah jadi berdoa ke Tuhan selain Allah.
Tentu saja bagi mereka yang tak sependapat dengan imbauan ini menilai kalau memuji seorang tokoh sejarah seperti Sidharta Gautama, tak berarti kemudian otomatis jadi mengimani Sang Buddha jadi Tuhannya.
Sama seperti kata mantra pada “Om” dalam “Om swasti astu” yang dianggap merupakan representasi dari “Sang Hyang Widhi”, tidak otomatis ketika saya—misalnya—menuliskan itu di sini, atau menyampaikannya ke penganut agama Hindu mendadak jadi mengimani Tuhan mereka bukan?
Di sisi lain, sebenarnya tak perlu ngegas pula mendengar imbauan ini. Apalagi keputusan MUI Jatim ini sifatnya juga saran, tidak mengikat, dan tidak sampai mengarah ke fatwa haram. Iya dong, kan jelas surat edarannya di sana tertulis “bid’ah” dan “syubhat”.
Kalau mau dijalankan asalkan paham dengan segala konsekuensinya, ya monggo, mau lebih berhati-hati mengindari salam itu juga monggo. Sing paling penting ojo podo jotos-jotosan yo, Mas, yo?
Kecuali kalau situ merasa jempol di media sosial diciptakan sebagai cara untuk baku pukul menggunakan kata-kata, ya itu terserah situ saja. Saya mah ogah ikut-ikutan.
BACA JUGA Sulitnya Hadapi Anak yang Pernah Beragama Kristen, Hindu, Buddha, Lalu Islam atau tulisan AHMAD KHADAFI lainnya.