MOJOK.CO – Menghadap kiai-kiai besar kayak Gus Karim sampai Gus Muwafiq bersama Agus Mulyadi, acara sowan yang takzim pun mendadak berubah jadi acara roasting kiai.
Bagi beberapa orang, sowan ke kiai-kiai terkenal kayak Gus Ulil Abshar Abdalla atau Gus Muwafiq merupakan aktivitas yang menyenangkan. Iya, memang betul menyenangkan, tapi orang-orang kadang lupa kalau aktivitas ini kadang tidak semudah dan seaman yang dibayangkan. Apalagi jika situasinya seperti yang kami alami.
Perlu sampeyan ketahui, mencoba menemui banyak kiai dalam kurun waktu satu bulan adalah aktivitas yang saya kira hampir mustahil—terutama ketika aktivitas ini dilakukan di Bulan Ramadan kemarin. Bukan apa-apa, yang namanya kiai kan sibuknya luar biasa, jadi bisa dibalas pesan wasapnya aja sudah jadi anugerah yang tak terkira—apalagi dipersilakan datang untuk melakukan sowan.
Bersama dengan teman-teman Gusdurian Jogja yang diwakili Rifki Fairuz, Bakhru Thohir, dan Fatin, kami kru Mojok sangat bersyukur bisa menemui delapan kiai yang ditargetkan. Dari Gus Ulil Abshar Abdalla yang berhasil kami “culik”, Buya Syafi’i Ma’arif di masjid dekat rumahnya, Gus Karim di sela-sela mau ngisi pengajian, sampai Gus Muwafiq.
Meski ketika sowan kiai dari Gus Ulil sampai Gus Muwafiq ini sekilas terlihat perjalanan baik-baik saja, sebenarnya ada saja hal-hal goblok yang terjadi. Dan—tentu saja—hal macam begini bisa terjadi karena kami mengajak ikut serta Pemred Mojok: Agus “Magelangan” Mulyadi.
FYI aja sih, hampir semua pasukan yang sowan kiai ini pernah merasakan bangku madrasah di Pondok Pesantren. Teman-teman Gusdurian Jogja tak perlu ditanyakan lagi, di sisi lain dua kru Mojok yang ikut, saya dan Ali Ma’ruf kebetulan juga pernah ngrowot juga di pesantren, praktis hanya Agus Mulyadi saja yang belum pernah mondok.
Nah, justru hal inilah yang bikin kegiatan sowan jadi luar biasa konyol karena celotehan-celotehan Agus Mulyadi begitu urakan tapi—untungnya—tetap mengundang tawa.
Pada kenyataannya, adalah lumrah ketika kiai bertanya ke tamu-tamunya dulu mondok di mana. Ketika kami sowan ke Kiai Dian Nafi’ Solo misalnya. Satu per satu kami ditanya, “Dulu mondok di mana, Mas?”
“Pandanaran, Pak Kiai.”
“Krapyak, Pak Kiai.”
“Mangkuyudan, Pak Kiai.”
Lalu ketika tiba giliran Agus Mulyadi.
“Sekolah biasa, Pak Kiai.”
(((sekolah biasa)))
Ha rumangsamu sekolah neng pesantren ki bukan sekolah biasa po piye?
Dari latar belakang inilah, semua kiai yang kami sowani—sepertinya—bisa maklum dengan tingkah Agus yang sangat random itu, lha ya dia kan emang belum pernah nyantri. Jadi ketika kami berhadapan dengan kiai harus mundhuk-mundhuk takzim, Agus petentang-petenteng santai kayak lagi di pantai. Bgzt mmng.
Bahkan, saking urakannya celotehan Agus Mulyadi, barangkali jika ada salah satu santri kiai-kiai yang kami sowani ini tidak paham posisi kami adalah “tamu agak istimewa”, mungkin kami udah dibakar hidup-hidup di tempat.
Di Gus Abdul Karim, Solo—misalnya. Usai take gambar dan ngobrol ngalor-ngidul sebelum pamit, Gus Karim bercerita soal aktivitas touring motor N-Max-nya. Tosky namanya (Touring Sowan Kiai). Sebuah komunitas motor yang dibikin dalam rangka sowan dan ziarah ke beberapa ulama tanah air.
Tentu, sebagai seorang santri, kami bertanya hati-hati, “Wah, anggotanya pasti sudah banyak ya, Gus? Sekitar berapa orang, Gus?” tanya Rifki Fairuz dari Gusdurian Jogja.
Sambil ditemani kebal-kebul rokok, Gus Karim menjawab, “Wah, 100-an orang ada, Mas.”
Tanpa ba-bi-bu, lalu muncul suara dari arah yang terduga.
“Wis wani tawur no, Gus?”
(Udah berani diajak tawuran dong, Gus?)
Mukegile.
Sampeyan tentu udah bisa tebak sendiri kalimat itu meluncur dari mulut siapa, haya jelas the only one: Agus Mulyadi.
Sontak wajah kami langsung berubah kecut. Takut, malu, khawatir, dan sungkan. Kami benar-benar panik kalau-kalau Gus Karim tidak bisa memahami maksud guyonan itu. Untung benar, Gus Karim cuma nanggepi dengan tertawa. Alhamdulillah, nyawa kami selamat hari itu.
Barangkali karena dasar guyonan Agus Mulyadi mirip kayak teknik-teknik stand up comedy, beberapa celotehan yang keluar malah jadinya seperti mem-bully si kiai atau bahasa kerennya: roasting. Ini nggak main-main. Gus Irwan Masduqi dari Mlangi jadi saksinya.
Ketika kami—yang santri-santri—bertanya apa kesibukan Gus Irwan, lalu dijelaskan bahwa aktivitas beliau ya cuma ngasuh pondok saja, ngawasi santri, ngajar ngaji, ngimami salat, dan lain-lain.
Sekali lagi—tanpa dikomando—Agus Mulyadi dengan entengnya nyeletuk, “Wah nyawang tembok terus berarti, Gus?” (Wah, lihat tembok terus dong kerjaannya, Gus?”)
Beruntung benar, Gus Irwan ini jebul mengikuti tulisan-tulisan Agus Mulyadi—entah yang di blog atau di Mojok—jadi beliau bisa lumayan nyetel dengan guyonan tak beradab dan jauh dari etika ini. Lalu kami semua tertawa—meski dalam hati, “Bangsat, lama-lama modyar juga ini kita kalau mulutnya Agus nggak kontrol kayak gini.”
Itulah kenapa, di tengah-tengah perjalanan program sowan kiai ini kami sempat kepikiran untuk mengubah nama acara ini, dari “sowan kiai” jadi “roasting kiai”. Haya cuma karena mulutnya Agus Mulyadi yang selalu sukses bikin kami keringat dingin ini.
Di Gus Yusuf Chudlori juga—misalnya. Ketika kami semua tumak-tumik grogi karena berhadapan dengan salah satu pengasuh Pondok Pesantren (legendaris) Tegalrejo, Magelang. Agus santai banget kayak berhadapan dengan kawan lama.
Gus Yusuf cerita soal pengalamannya menjadi CEO PPSM, salah satu klub sepak bola mentereng di Magelang.
“Saya itu cuma satu tahun aja jadi CEO (PPSM Magelang),” kata Gus Yusuf.
Kami semua manggut-manggut. Seolah paham aja. Tiba-tiba Agus kembali beraksi, “Wah, cocok, saiki dadi kiper berarti, Gus.”
Akan tetapi, kami tak terlalu khawatir ketika celetukan ini muncul. Kami semua tenang. Sebab, Agus ini memang teman dekat Gus Yusuf Chudlori. Mungkin jiwa korsa sesama penduduk asli Magelang bikin mereka jadi punya ikatan batin lebih dan—harus diakui—jadi modal proses sowan kami ke Gus Yusuf ini jadi bisa dilakukan.
Namun, jika sampeyan kira cerita-cerita itu udah cukup parah, maka sampeyan perlu mendengar yang terakhir ini. Celetukan paling beyond dari sosok Agus ya ketika kami sowan ke kediaman Gus Muwafiq, di Sleman, Yogyakarta.
Saat itu kami mau pamit pulang. Lalu kami ditahan dulu oleh Gus Muwafiq. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Udah malam betul. Kami semua mengantuk, pengen cepet-cepet istirahat. Tapi karena yang dhawuh seorang kiai, ya kami manut saja.
Mungkin karena ingin mengistimewakan tuan rumah, Gus Muwafiq menawari kami makan sahur sekalian.
“Semua doyan mie jawa kan?” tanya Gus Muwafiq ke kami.
“Doyan, Gus,” jawab kami hampir serentak.
“Pada pesen apa? Disamakan aja ya? Mie godhok aja ya biar cepet?” kata Gus Muwafiq lagi.
“Injih, Gus, disamakan aja,” jawab kami lagi.
Lalu Gus Muwafiq mengambil hape untuk pesan mie jawa langganannya di daerah Jombor. Di tengah-tengah Gus Muwafiq mau pesan, tiba-tiba muncul suara dari pojokan.
“Gus, aku pesen mie goreng aja.”