MOJOK.CO – Di antara pihak yang pro dan kontra soal zonasi sekolah, muncul pihak netral dengan masalahnya sendiri. Pihak yang sibuk mau mondokin anaknya ke pesantren.
Ketika ramai-ramai soal zonasi sekolah di media sosial, keluarga besar saya nggak pernah ikut ribut. Soalnya, kalau lagi kumpul keluarga pada momen tahun ajaran baru sekolah, saya jamin nggak bakal ada pertanyaan: “Mau disekolahin di SMA Negeri favorit mana itu si Mahmud?” melainkan; “Si Mahmud mau mondok di mana? Tegalrejo? Krapyak? Atau Tebuireng?”
Tahun lalu polemik soal zonasi sekolah udah muncul, eh sekarang isu ini muncul lagi.
Bagi mereka yang nggak sepakat, sistem zonasi sekolah bikin anak mereka nggak bisa lagi punya angan-angan bisa belajar di sekolah negeri favorit di kota, karena anaknya berdomisili di desa yang berbeda “zona” dengan sekolah yang dituju.
Sedangkan mereka yang sepakat, menganggap bahwa sistem ini merupakan salah satu langkah untuk memeratakan kualitas pendidikan di Indonesia—karena ke depan kalau sistem zonasi sekolah ini berhasil, konon nggak bakal ada lagi citra “sekolah negeri favorit”.
Nah, di antara pihak yang berkubu-kubu itu, muncul pihak netral yang punya masalah sendiri. Yakni pihak yang ribut mau mondokin anaknya ke pesantren. Mereka inilah yang nggak bakal kena efek dari sistem zonasi sekolah. Bisa dibilang, inilah golput-nya polarisasi sistem zonasi sekolah.
Sampai-sampai, karena nggak kena efeknya sama sekali, banyak anggota keluarga saya yang nggak tahu zonasi sekolah itu apa?
Hal ini bisa saya simpulkan karena muncul pertanyaan model begini ke saya, “Lek Dafi, gara-gara zonasi sekolah ini kalau anakku mau mondok ke Tebuireng, Jombang, nggak bisa dong? Kan aku asli Karanganyar.”
Padahal kan jelas, sistem zona ini hanya berlaku untuk sekolah negeri. Haya jelas dong. Lha kalau sekolah swasta sampai diberlakukan sistem kayak begini, sekolah-sekolah ini bisa kukut gulung karpet cepet-cepet. Gelombang protes juga bakal lebih dahsyat lagi ketimbang yang sekarang
Nah, di sisi lain mereka yang bergumul degan zonasi sekolah mungkin nggak tahu masalah yang dialami orang tua yang mau memasukkan anaknya ke pondok pesantren.
Ketika orang tua di luar sana punya pandangan soal “sekolah negeri favorit”, maka bagi kalangan keluarga santri, yang ada adalah “pesantren swasta favorit”—karena semua pesantren emang swasta.
Sebenarnya ini merupakan tradisi tahun ajaran baru yang biasa aja. Jadi nggak biasa karena di momen ini bakal banyak orang tua si calon santri yang mendadak jadi drama banget. Bukan apa-apa, tak banyak orang tua yang bisa serela itu mendapati anaknya harus berpisah dengan keluarga di usia yang sangat belia.
Soalnya ketika orang tua yang bergumul sama sistem zonasi sekolah bakal merasa ditinggal anak merantau saat si anak udah kuliah (lalu ngekos luar kota misalnya), keluarga yang punya tradisi nyantri akan merasa “kehilangan” sejak si anak lulus SD. Yah paling-paling umur 12-13 tahunan.
Si anak dari Madrasah Tsanawiyah sampai Madrasah Aliyah bakal hidup sendiri jauh dari orang tua. Bahkan di beberapa pesantren ada juga yang punya Madrasah Ibtidaiyah. Itu artinya si orang tua udah terpisah sama anaknya sejak si anak lulus Taman Kanak-kanak.
Makanya, suasana perpisahan orang tua dengan si anak itu bakal muncul banyak adegan mewek.
Anaknya yang ditinggal bisa jadi cengengesan. Soalnya, asal kamu tahu aja, si anak bakal kerasa kangen rumah itu jarak 2-4 hari kemudian. Nggak seketika. Soalnya—namanya juga anak—pikirannya masih seputar kayak gini, “Wah, asyik ini, bapak ibu nggak ngawasi aku lagi. Aku bisa bebas di sini.”
Itu si anak, lalu bagaimana dengan bapak dan ibunya? Belum tentu bisa sekuat si anak. Anak yang kayaknya baru lahir kemarin kok udah mondok aja sih. Hati nggerus, Lek. Nggak tega.
Orang tuanya yang sadar detik-detik perpisahan udah tiba bakalan sedih, karena sadar si anak udah nggak lagi bisa dibelai-belai lagi. Lha gimana? Usia sekecil itu udah mondok. Udah mandiri. Udah lepas dari orang tua.
Dan orang tua tahu betul, si anak—biasanya—bakal nggak merasa betah lagi di rumah. Kalau udah kadung betah di pesantren, si anak malah pingin jauh terus dari orang tua. Hawanya kepingin merantau terus ke depannya. Soalnya akan muncul perasaan kalau teman-teman pesantrennya lebih deket ketimbang keluarganya sendiri.
Ketika orang tua yang bergumul dengan sistem zonasi sekolah merasa “kehilangan” anak ketika kuliah atau ketika udah berkeluarga, mereka yang berasal dari tradisi santri akan merasakan “kehilangan” jauh sebelum si anak akil balig.
Nah, kalau udah model yang begini ini biasanya yang nggak kuat itu ibunya.
Jadi ketika nganter untuk mondok kali pertama, adalah pemandangan lumrah kalau anaknya biasa aja tapi ibunya heboh. Sedih. Nangis. Apalagi kalau lokasi pesantren sama rumahnya jauh banget. Beda pulau misal. Wah, bisa histeris si ibu.
Namun jika cuma ibu yang nggak mau pisah sama anak itu fenomena dulu. Sekarang bapak-bapak pun ikut-ikutan baper juga. Sama aja sekarang. Sama-sama heboh, nggak rela ninggal anaknya di pesantren. Nggak tega. Meski ya tetep kepingin anaknya mondok biar bisa jadi anak yang saleh.
Lalu ketika perjalanan pulang dari pesantren, berjam-jam mikir terus, “Duh, anakku gimana ya? Bisa nyuci sendiri nggak ya nanti dia? Dibully sama temen-temennya nggak ya nanti? Aduh.”
Lalu ketika dua hari berlalu. Telepon rumah berdering. Si Bapak angkat telepon. Terdengar suara si anak di seberang. Nyaring.
“Paaak, pulaaang, Paaak. Ke sini, Pak. Sekaraaang. Cepeetaaan. Ayo boyoooong. Pindah. Aku nggak betaaah…”