MOJOK.CO – Kiai Kholil marah ketika tahu ada masjid megah tapi tidak menghidupi masyarakat sekitarnya. Apalagi sampai ada yang murtad pula.
Usai Kiai Kholil selesai mengisi pengajian peresmian masjid baru yang cukup megah, ada jamaah yang ingin mengajak ngobrol. Kiai Kholil sebenarnya sudah cukup lelah. Ingin rasanya segera pulang, tapi mengingat tempat pengajian begitu jauh dari kota tempat tinggal Kiai Kholil, sekitar 3 jam kalau naik mobil, Kiai Kholi berpikir, tak apalah meladeni beberapa jamaah yang kepingin ketemu. Toh, nanti bisa tidur di mobil.
Tak disangka, yang mendatangi Kiai Kholil pertama adalah Ketua RT. Setelah basa-basi memperkenalkan diri, Pak RT ini menyampaikan uneg-uneg di kampungnya.
“Begini, Pak Kiai, di kampung kami ada orang yang murtad. Pindah agama. Keluar dari Islam. Padahal dulu orangnya kadang salat ke masjid juga. Eh nggak disangka murtad dia,” kata Ketua RT.
Kiai Kholil agak terkejut sebenarnya. Bukan apa-apa, sebelum mau pulang Kiai Kholil ingin ngobrol santai-santai saja. Tapi siapa sangka, topik yang dibicarakan malah berat sekali. Perkara pindah agama. Perkara murtad. Wah, jadi makin nggak bisa istirahat ini.
Demi menjaga perasaan jamaahnya yang sowan, Kiai Kholil basa-basi. “Sudah lama pindah agamanya, Pak RT?”
“Ya udah tiga empat bulan ini. Alasannya pun sebenarnya nggak masuk akal, Pak Kiai,” kata Pak RT.
Kiai Kholil tiba-tiba terkekeh. Pak RT yang melihat Kiai Kholil terkekeh bingung.
“Kok tertawa Pak Kiai?”
“Maaf, Pak RT. Urusan iman itu justru malah seringnya nggak masuk akal kan ya?” tanya Kiai Kholil santai.
“Nah, itu maksud saya Pak Kiai. Murtadnya warga saya ini justru sangat masuk akal makanya jadi tidak masuk akal,” kata Pak RT.
Kiai Kholil bingung.
“Begini, Pak Kiai. Warga saya ini awalnya seorang muslim. Ya bukan muslim yang rajin-rajin amat lah. Lalu suatu ketika anaknya masuk rumah sakit. Habis berapa puluh juta gitu. Pokoknya mahal. Nggak bisa nebus. Tetangga-tetangganya nggak ada yang tahu awalnya, sampai kemudian tiba-tiba si anak yang sakit ini bisa ditebus. Tapi kemudian di rumahnya jadi sering kedatangan orang dari kampung lain. Lama-lama orang ini jadi nggak pernah ke masjid. Nggak pernah lagi ikut kepanitian-kepanitian Idul Fitri atau Idul Adha,” kata Pak RT.
“Terus dari mana kesimpulan Pak RT kalau orang itu pindah agama?” tanya Kiai Kholil.
“Ya waktu orang ini mau ngurus KTP. Ya otomatis kan lewat saya dulu, Pak Kiai. Lalu saya tanya, ada urusan apa kok sampai mau urus KTP lagi. Ternyata kolom agamanya mau diganti. Ya jelas kaget dong saya, Pak Kiai,” kata Pak RT.
“Jadi Pak RT menduga, orang ini pindah agama karena ada faktor ekonomi mendesak begitu? Lalu karena tak ada pilihan lain jadi murtad gitu?” tebak Kiai Kholil.
“Nah, tepat Pak Kiai. Itu yang menurut saya tak masuk akal. Saya cuma heran aja, di zaman begini kenapa ada orang mau menggadaikan keimanannya demi segepok harta?” tanya Pak RT.
Kiai Kholil terdiam. Samar-samar terdengar istigfar dari mulutnya berulang kali. Pak RT agak lega, Kiai Kholil sepertinya memahami kegelisahannya.
“Pak RT, gara-gara cerita sampeyan itu, saya jadi menyesal mengiyakan ngisi pengajian peresmian masjid megah di kampung ini,” kata Kiai Kholil.
Mendengar itu, Pak RT terkejut.
“Ma, maksudnya Pak Kiai?” tanya Pak RT.
“Sampeyan itu bagaimana? Sudah tahu ada warga sampeyan sedang susah bukannya dibantu malah bangun masjid bagus-bagus,” tanya Kiai Kholil agak marah.
Pak RT agak kikuk.
“Ya, anu, Pak Kiai. Maaf, maaf, kami kan juga nggak tahu kalau orangnya sedang susah begitu. Kami tahunya ketika udah pindah agama. Kami kan nggak tahu Pak Kiai kalau dari perkara itu orangnya terus jadi pindah agama,” kata Pak RT.
“Saya itu marah bukan karena warga sampeyan ada yang pindah agama. Bukan, bukan itu. Itu biar urusan dia sama Tuhannya, yang jadi masalah itu sampeyan bangun masjid megah-megah sampai melupakan orang yang tinggal tak jauh dari masjid. Sampai nggak bisa nebus anaknya keluar dari rumah sakit segala,” kata Kiai Kholil.
“Tapi kas kampung kami juga nggak cukup Pak Kiai kalau buat nalangi biayanya waktu itu,” kata Pak RT.
“Kenapa nggak diambil dari uang masjid dulu?” kata Kiai Kholil.
“Lha emang boleh Pak Kiai duit masjid buat nyumbang begitu?” kata Pak RT.
“Aduh, Pak RT. Ya malah harusnya dipakai untuk kebutuhan mendesak seperti itu ketimbang merenovasi masjid jadi megah kayak gini. Masjid itu bukan yang tembok-temboknya, bukan ornamen-ornamennya, bukan marmernya, bukan mimbarnya, bukan bangunannya. Masjid itu masyarakatnya, Pak RT. Percuma kalau masjid bagus, megah, tapi justru berjarak dengan masyarakatnya. Buat apa?” kata Kiai Kholil.
“Tapi, tapi, Pak Kiai. Ini kan amanah dari penyumbang dana proposalnya,” kata Pak RT.
“Nah, itulah kalau pengurus masjid mentalnya pengemis. Jadinya meminta-minta. Padahal masjid itu harusnya memberi. Memberi perlindungan masyarakatnya. Membuat aman sekitarnya. Lha masjid kok dibangun bikin masyarakat semakin terancam, semakin berjarak, berarti ada sesuatu yang salah, Pak RT,” kata Kiai Kholil.
Kali ini Pak RT cuma bergeming.
“Saya itu cuma khawatir, Pak RT, khawatir sekali,” kata Kiai Kholil.
“Khawatir gimana Pak Kiai?”
“Khawatir kalau orang yang sampeyan ceritakan itu, murtad gara-gara kita semua menyangka bahwa surga hanya bisa didapatkan dari megahnya bangunan masjid yang kita punya.”
*) Disarikan dari kisah nyata.