MOJOK.CO – Omong kosong kalau saat debat capres yang ingin didengar adalah tawaran program. Pertama kali yang mau dicari ya salah ucapnya lah, apalagi?
Sebut saja namanya Pak Mulgiono—tentu saja bukan nama sebenarnya. Salah satu tetangga saya yang paling doyan bicara. Setiap rapat RT atau arisan bapak-bapak kampung, beliau dikenal sebagai sosok yang paling vokal. Hampir setiap acara kumpulan, Pak Mulgiono tak pernah ketinggalan bicara atau komentar. Apa saja dikomentari.
Renovasi masjid, dikomentari kurang ini kurang itu. Dari warna cat bahkan sampai urusan nggak penting-penting amat kayak beli cat tembok harusnya di toko cat yang mana. Bersih-bersih makam kampung dikomentari, kurang itu kurang ini. Bahkan acara ibu-ibu PKK yang notabene wilayah di luar habitatnya sekali pun tak luput dikomentari.
“Seragam yang dipakai ke Kelurahan harusnya jangan warna ungu. Itu warna janda. Nggak bagus. Cari yang lain lah,” katanya suatu kali.
Semua orang tahu, Pak Mulgiono jago bicara dan selalu saja menemukan celah untuk ngomong.
Bahkan di momentum seperti pengajian kampung yang notabene arah pembicaraannya satu arah, antara mubalig dengan jamaah, beliau tak luput untuk bicara. Berasa seperti praktik nyata salah satu hasil Bahstsul Masail yang pernah mengeluarkan fatwa bahwa khotbah salat jumat boleh diinterupsi oleh jamaahnya.
Meski tidak semua orang menyukai komentar Pak Mugiono, tapi kedatangannya diam-diam selalu dinanti. Sebab kalau beliau nggak datang, rasanya rapat atau kumpulan berjalan begitu cepat.
“Ada yang mau tanya?” tanya Pak RT.
Diam semua. Ada yang makan kacang, ada yang malah cekikikan sama sebelahnya, bahkan ada yang memiringkan hapenya lalu mulai main PUBG di pojokan.
“Baiklah, kalau nggak ada. Saya tutup pertemuan malam ini,” kata Pak RT. Bapak-bapak lalu pulang ke kandangnya masing-masing. Itu yang terjadi kalau Pak Murgiono nggak ada.
Meski di kampung saya banyak orang yang berpendidikan tinggi, hampir kebanyakan dari mereka enggan menyuarakan pendapatnya.
Sebab, hal yang selalu muncul kalau kamu berani mengajukan usulan adalah siap-siap didebat atau dikomentari oleh tetangga sendiri—terutama kalau ada Pak Murgiono. Dan rata-rata orang kampung saya malas berada di situasi demikian. Berada di situasi perdebatan.
Itulah yang jadi sebab, setiap kali usulan Pak Murgiono muncul, sebisa mungkin selalu di-iya-kan saja. Ketimbang panjang urusannya ya kan? Debat nggak selesai-selesai malah nggak ngerjain apa-apa?
Situasi demikian selalu terbayang ketika saya menyaksikan debat capres. Sejak dari debat pertama sampai menjelang debat kedua, saya bertanya-tanya—terlepas dari tanggung jawabnya sebagai seorang capres—apakah Jokowi dan Prabowo itu benar-benar menyukai situasi perdebatan?
Oh, mungkin kamu bisa membantah bahwa netizen di Indonesia adalah salah satu peserta debat terbaik secara kuantitas di segala platfom media sosial. Dari Facebook, Twitter, Youtube, bahkan Whatsapp Grup. Tuh lihat, bukankah itu tanda budaya kita suka berdebat?
Satu hal yang kamu juga perlu tahu, kegemaran berdebat di medsos tidak selalu sama dengan kegemaran debat di dunia nyata. Di medsos kamu masih bisa untuk googling, cari referensi dengan waktu singkat, sedangkan saat ketemu langsung, orang yang membuka catatan akan dianggap nggak kompeten karena dianggap bisanya cuma nyontek.
Lagipula di kultur siber, kamu bisa merepresentasikan dirimu sesuai dengan apa yang kamu ingin tampilkan dengan beberapa kali klik. Jadi pakar ekonomi di satu kolom komentar, jadi pakar fashion di kolom komentar yang lain. Bisa.
Di dunia nyata sih bukannya tidak bisa, tapi keadaannya serba terbatas. Kamu nggak bisa berlagak kayak Atta Halilintar kalau kamu keluarga ekonomi menengah ke bawah. Orang akan segera tahu, kamu cuma pura-pura bahkan dari cara bicaramu sejak kalimat pertama.
Sama seperti dalam debat capres. Baik Jokowi mau pun Prabowo. Mereka tidak bisa berpura-pura jadi orang lain kayak netizen. Hal ini tak sama ketika mereka muncul dalam—katakanlah—akun FB atau akun Twitter resmi mereka. Ketika kamera menyorot mereka, setiap ucapan tidak bisa ditarik lagi.
Itulah yang bikin kedua capres perlu mempersiapkan diri secara matang. Kayak Jokowi yang perlu “les privat” khusus sejak persiapan debat pertama, dan Prabowo yang mengaku sudah bertemu dengan beberapa pakar untuk menambah referensi.
Sebenarnya sih, keduanya tidak berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang menakjubkan saat debat nanti, mereka cuma berusaha “tidak salah”. Tidak mengeluarkan statement yang merugikan kubu sendiri saja udah cukup.
Sebab tidak seperti mentalitas debat di dunia siber yang bisa langsung menghapus pernyataan, di dunia nyata kamu nggak bisa kembali. Hajar terus.
Masalahnya baik Jokowi dan Prabowo, dua-duanya nggak terlalu bagus secara retorika—terutama Jokowi.
Sejak jadi Walikota Solo, Jokowi memang sering plegak-pleguk kalau bicara. Situasi yang sering terjadi kayak begini: kita dipaksa selalu menebak-nebak apa kata lanjutan yang bakal diucapkan Jokowi, karena jeda antara satu premis dengan premis lain beliau itu suka berhenti lama. Berasa kayak main kuis gitu.
Benar-benar jauh dari citra pejabat yang ada dalam bayangan warisan mainset Orba masyarakat kita yang sejak dulu udah kepatok pada sosok kharismatik kayak Pak Harto atau Bung Karno. Yang kalau ngomong cas-ces.
Meski begitu, Prabowo setali dua uang.
Sekali pun lebih jago dalam beretorika di atas mimbar ketimbang Jokowi, Prabowo terlalu sering keliru membaca data. Datanya sih kadang nggak salah, tapi eksekusinya sering aneh dan menghasilkan konklusi yang tidak selayaknya diucapkan. Kayak, “mungkin korupsinya nggak seberapa.”
Hm, saya sih yakin Prabowo tidak ada maksud bicara seperti itu.
Lalu mendadak rakyat Indonesia heboh. Membahas kekurangan dan kesalahan ucap dari si capres. Masing-masing ketemu aja salahnya di mana. Dan kalau mau jujur, memang untuk inilah debat capres diadakan: untuk mencari kepleset lidahnya di mana.
Kenyataannya, ketimbang membahas soal program-program atau klarifikasi saat debat, masyarakat kita lebih suka kipas-kipas adegan salah ucap dari kedua capres.
Oke, masyarakat kita memang malas berdebat di muka umum karena bisa memperlihatkan kekurangan diri sendiri dengan gamblang, namun ada alasan lain yang membuat debat capres tetap ditonton, yakni: kita suka melihat orang (terutama yang tidak disukai) melakukan kesalahan. Apalagi jika itu dipertontonkan di khalayak ramai.
Nah, dalam debat capres, hal itu dipertontonkan. Diproduksi berulang-ulang.
Biar apa? Ya biar masyarakat kita sadar bahwa yang sedang berdebat itu juga manusia biasa kayak kita—yang bisa kepleset lidahnya atau salah omong. Lagian juga sebenarnya kita nggak peduli-peduli amat kok dengan program-program fantastis yang disampaikan (emang ada ya?).
Hal yang seharusnya menyadarkan kita bahwa ya nggak usah terlalu fanatik lah mendukung salah satu di antara keduanya. Sama-sama makan nasi dan boker ini kok. Sama-sama suka salah omong juga kok.
Lagian, apa yang diomongin saat debat hampir mustahil semuanya bakal dilakukan saat keduanya jadi Presiden. Debat capres mah cuma adegan dua pasangan sales aja. Siapa yang punya tawaran terbaik, ya itu yang dibeli.
Orang juga udah tahu kalau omongan sales itu yang penting bisa bikin laku dulu. Urusan jadi beli dan pembeli kecewa itu belakangan. Kan ada customer service, bijimana seh?
Seperti Pak Murgiono, tetangga saya di awal cerita tadi. Yang ketika usul apa, berapi-api saat disampaikan, lalu pada hari eksekusi, dia suka ngilang. Rapat kerja bakti semalaman suntuk sampai jam dini hari, besoknya tiba-tiba nggak muncul. Meski menyebalkan, tapi juga menggelikan juga dari sisi lain.
Jadi tak perlu heran kalau ada selentingan Jokowi tidak/belum mengeksekusi janji pada periode sebelumnya dari pendukung lawan atau Prabowo yang dianggap wakil ulama tapi juga selalu dipertanyakan kualitas agamanya oleh pendukung lawan.
Soalnya hal kayak begitu pernah dibicarakan Gus Dur lewat anekdot.
“Dunia ini ada empat tipe sifat bangsa. Orang Nigeria, bicaranya sedikit, kerjanya sedikit. Orang Jepang, sedikit bicara banyak kerja. Orang Amerika, banyak bicara banyak kerja. Nah, yang terakhir orang India, banyak bicara tapi sedikit kerjanya.”
Karena nama Indonesia tidak disebut, orang yang diajak bicara Gus Dur merasa heran, “Kalau sifat bangsa Indonesia masuk yang mana, Gus? Bukan bareng sama India ya? Banyak bicara kerja kagak?”
“Oh, bukan. Bangsa Indonesia beda sama India kalau soal sifat ini,” kata Gus Dur.
Orang ini mengelus dada, “Wah, berarti sifat bangsa Indonesia itu masih mendingan ya?”
“Gini, soalnya kasus untuk sifat bangsa Indonesia itu memang agak unik,” kata Gus Dur.
“Kok bisa, Gus?”
“Soalnya orang Indonesia itu, apa yang dibicarakan dengan apa yang dikerjakan beda.”