MOJOK.CO – Sebab ada yang lebih didengar doanya oleh Allah ketimbang doa seorang kiai, ustaz, habaib, ulama, atau bahkan mungkin Menteri Agama.
“Assalamualaikum,” sapa seorang tamu yang mendatangi kediaman Kiai Kholil.
“Waalaikumsalam,” jawab Kiai Kholil.
Si tamu cukup lama menunggu Kiai Kholil sebelumnya agar bisa bertegur sapa dengan tenang. Maklum, sebagai kiai yang ditokohkan masyarakat, sudah jadi pemandangan lumrah kalau ada banyak tamu yang sowan ke kediaman Kiai Kholil. Kebetulan sudah ada tamu lain, maka supaya si tamu ini bisa ngobrol dengan tenang, ia memilih menunggu.
Usai keadaan sudah sepi, si tamu yang baru datang ini mulai berbasa-basi menanyakan kabar dan sebagainya. Lalu menyampaikan maksud kedatangannya, “Begini Kiai Kholil, urusan saya datang dan sowan ke Kiai Kholil karena saya mau minta doa. Kebetulan belakangan ini saya lagi memulai sebuah usaha baru. Nah, saya ingin biar usaha ini diberi keberkahan dan rezeki yang banyak,” kata si tamu takzim.
Kiai Kholil tersenyum. Melihat perawakan si tamu, Kiai Kholil tahu tamunya kali ini bukan orang sembarangan. Datang mengendarai mobil, memakai busana sederhana—meski terlihat betapa bagus kemeja, celana, sampai jam tangan yang dikenakan.
“Oalah, memang mau usaha apa Mas kalau boleh tahu?” tanya Kiai Kholil.
“Saya sedang buka usaha penerbitan sekaligus percetakan, Pak Kiai,” kata si tamu.
“Oalah. Eh, mintanya ini mau berkah atau mau banyak ini rezekinya?” tanya Kiai Kholil.
Si tamu bingung.
“Maksud Kiai?”
“Ya mau banyak atau mau berkah? Soalnya beda itu,” kata Kiai Kholil.
“Lho memang bedanya apa, Pak Kiai?”
“Ya jauh bedanya, kalau banyak rezeki ya asal situ dapat banyak untung dapat rezeki situ kaya raya,” kata Kiai Kholil.
“Lha kalau berkah?” tanya si tamu.
“Sampeyan mungkin nggak dapat banyak, tapi cukup,” jawab Kiai Kholil.
“Wah, yang banyak rezeki aja Pak Kiai,” kata si tamu.
“Yakin?” tanya Kiai Kholil lagi.
Si tamu jadi bingung. Kiai Kholil hanya tertawa menyaksikan tamunya kebingungan.
“Begini lho, Mas. Kalau rezeki banyak tapi nggak berkah itu misal sampeyan kerja dapat duit banyak tapi nggak bisa sempet nikmatin hasilnya. Sempet sih nikmatin, tapi cuma kayak lewat doang. Hasil yang didapat nggak berpengaruh apa-apa sama kualitas hidup, hidup mungkin emang berubah karena kaya, tapi kualitas hidup ya begitu-begitu aja. Nggak naik-naik derajatnya,” kata Kiai Kholil.
“Lha kalau berkah Pak Kiai?”
“Saya kasih contoh kayak ibu saya dulu, duit enggak punya, tapi bisa nikmatin rezeki Tuhan. Ibu saya itu cuma guru ngaji, gajinya cuma 150 ribu. Empat bulan sekali pula terimanya. Itu pun dirapel dapetnya. Bapak saya sudah almarhum sejak saya kecil. Kalau diitung ya nggak bakal cukup mondokin dan nyekolahin saya pakai duit segitu. Lha kok ndilalah saya disukai sama pengasuh pondok pesantren, diminta jadi mantu, disekolahin ke mana-mana sampai ke Mesir, ke luar negeri, sampai akhirnya diminta ngurus pesantren. Hal kayak begitu kalau dipikir pakai duit ya habis berpuluh-puluh juta, Mas. Harus kerja apa saya supaya bisa kayak gini sekarang?” terang Kiai Kholil.
Si tamu manggut-manggut. “Kalau begitu, dua-duanya aja Pak Kiai.”
Keduanya lalu tertawa.
“Mas, kadang-kadang rezeki itu datang bukan dalam bentuk kekayaan. Dan kadang nggak datang untuk kita, tapi untuk keturunan atau orang-orang di sekitar kita. Sama seperti doa paling mustajab itu bukan doa kiai, apalagi doa saya,” kata Kiai Kholil lagi.
“Lha tadi Pak Kiai doain tamu sebelum saya kan?” tanya si tamu.
Kiai Kholil mengenyitkan dahinya, “Oh itu, ya karena ada kondisi yang membuat saya harus mendoakannya.”
“Kondisi apa Pak Kiai?”
“Kondisi yang harus saya tanyakan dulu ke tamu tadi, kayak pertanyaan yang bakal saya tanyakan juga ke sampeyan. Nah, jawaban sampeyan yang nanti menentukan apakah sampeyan akan saya doakan atau tidak,” kata Kiai Kholil.
Si tamu menelan ludah, “Jadi kalau jawaban saya nggak tepat saya enggak jadi didoain?”
Kiai Kholil cuma ngangguk.
“Apa ini tes?”
“Bisa dibilang gitu,” jawab si kiai.
Si tamu membenarkan posisi duduknya seolah akan menghadapi ujian CPNS.
“Siap?” tanya si Kiai.
Si tamu mengangguk.
“Anu, saya cuma mau tanya ini… Ibu sampeyan sehat? Masih hidup?”
Si tamu bingung. Ini pertanyaan tes yang dimaksud atau ini cuma pertanyaan basa-basi?
“Eee, sehat Kiai. Alhamdulillah masih sehat,” kata si tamu.
“Alhamdulillah,” kata Kiai Kholil.
Si tamu bungah melihat reaksi Pak Kiai. Tak ada kalimat lanjutan. Tentu si tamu semakin bingung. Pertanyaan tadi basa-basi atau pertanyaan ujian yang dimaksud.
“Jadi bagaimana, Kiai Kholil? Apa ini artinya saya bisa didoain?”
Kiai Kholil malah tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya, “Justru itu, Mas.”
Si tamu bingung.
“Maaf, Mas. Kali ini saya nggak bakal mendoakan sampeyan,” kata Kiai Kholil.
Tentu saja si tamu bingung. Apa urusannya kondisi ibunya jadi parameter Kiai Kholil tidak mau mendoakannya? Bukankah ketika Kiai Kholil mendengar jawaban si tamu, seharusnya Kiai Kholil juga senang karena tamunya masih punya ibu dan sehat walafiat.
“Masya Allah, kenapa Pak Kiai?”
Kiai Kholil tersenyum mendengar kegelisahan tamunya.
“Sebab ada yang lebih didengar doanya oleh Allah ketimbang doa seorang kiai, ustaz, habaib, ulama, atau bahkan mungkin Menteri Agama…”
Si tamu terdiam sejenak lalu bertanya. “Doa siapa memang Pak Kiai?”
Kiai Kholil mendekat pelan agar tamunya bisa mendengar dengan sangat jelas dan intim. “Ibu sampeyan,” jawab Kiai Kholil singkat.
“Doa saya ini nggak ada apa-apanya dengan doa ibu sampeyan, Mas. Restu seorang ibu kepada putranya jauh lebih berharga ketimbang restu presiden atau bahkan restu seseorang yang dimintai doa seperti saya ini. Bahagiakan ibu sampeyan, Mas. Jangan pernah lukai hatinya. Itu sudah jadi bekal doa yang paling mustajab yang pernah ada di dunia.”
Si tamu tertegun mendengarnya, pandangannya sejenak kosong. Ada ingatan yang muncul sekelebat wajah ibunya. “Sederhana sekali ternyata ya Pak Kiai?”
“Yang sederhana kelihatannya, tapi tidak selalu mudah dilakukan. Kadang-kadang hal seperti itu sering bikin orang lupa, Mas. Ibu sampeyan punya doa paling ampuh sekaligus paling murah yang pernah ada daripada sibuk minta doa sana-sini. Yang paling agung di depan mata memang kadang tertutup sama reputasi kiai di seberang kota, habib di seberang pulau, atau bahkan ulama yang ada jauh di sana. Padahal tingkat mustajabnya doa yang dipanjatkan jauh lebih mudah didengar Allah doa seorang ibu untuk anaknya,” jelas Kiai Kholil.
Si tamu tertegun lama. Merasa ada yang salah dari cara berpikirnya selama ini. Lalu tiba-tiba Kiai Kholil mendekatkan kepalanya ke arah si tamu…
“Kapan terakhir kali sampeyan menghubungi ibu, Mas?”