Kampung Gus Mut geger. Beberapa warga marah dan menggeruduk rumah Mas Doni yang non-muslim. Gerudukan warga ini terjadi karena warga mengetahui rumah Mas Doni dijadikan tempat ibadah massal.
Fanshuri, salah satu warga kampung, termasuk yang tidak sependapat dengan gerakan warga kampung. Menurutnya, hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing.
Negara saja sudah menjamin hak masing-masing warganya untuk beribadah, kalau tetangga-tetangganya protes dan ingin membubarkan tempat ibadah tersebut, bukankah mereka semua melanggar hak asasi?
Lebih aneh lagi, Fanshuri melihat Gus Mut berada di pihak warga kampung yang menolak dijadikannya tempat tinggal sebagai tempat ibadah massal untuk agama minoritas di kampungnya.
Padahal, Fanshuri tahu betul, bahwa Gus Mut cukup punya pemikiran terbuka soal hal semacam itu. Ada apa ini? Apa Gus Mut sudah terpapar paham radikal yang intoleran?
Merasa gundah berhari-hari, akhirnya Fanshuri memberanikan diri untuk sowan ke Gus Mut untuk mempertanyakan sikap tersebut.
“Gus Mut, kok aneh sih belakangan ini? Kenapa waktu kasus kemarin malah ikut melarang umat agama lain beribadah di rumahnya sendiri sih?” tanya Fanshuri tanpa basa-basi.
Gus Mut tahu, Fanshuri datang untuk memprotes sikapnya yang kemarin.
“Fan, pertama. Sebelum aku jawab pertanyaanmu, kamu sudah salah sangka dulu,” kata Gus Mut.
“Salah sangka? Kayaknya nggak deh, Gus. Kemarin saya lihat sendiri Gus Mut hadir bersama Pak Sapto, Pak Eko, dan warga lain nggeruduk rumah Mas Doni. Gus Mut ikut mendukung warga supaya Mas Doni menghentikan kegiatan ibadah di rumahnya,” kata Fanshuri.
“Aku tidak pernah meminta Mas Doni menghentikan kegiatan ibadahnya, Fan,” kata Gus Mut.
“Lha terus apa?”
“Aku cuma minta agar menjadikan rumah sebagai ruang ibadah publik itu nggak boleh asal,” kata Gus Mut.
“Lha emang apa bedanya? Sama-sama tempat mau ibadah ini kok,” kata Fanshuri ketus.
“Ya jauh bedanya, Fan,” jawab Gus Mut santai.
“Lho bukannya itu berarti membatasi mereka untuk beribadah?”
“Kalau secara massal mungkin iya, tapi kalau secara individu tidak, Fan,” kata Gus Mut.
“Memang ada bedanya, Gus? Ibadah ya ibadah aja, nggak ada perbedaannya. Mau di tempat ibadah mereka yang resmi mau di rumah mereka, kan bukan hak kita menilai,” kata Fanshuri masih ketus.
“Gini, Fan. Kamu terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan…”
“Saya tidak buru-buru, Gus. Saya sudah memendam ini agak lama. Awalnya saya pikir Gus Mut akan datang untuk membela Mas Doni karena dia minoritas di kampung sini, tapi sampeyan malah bikin saya kecewa, Gus,” kata Fanshuri.
Gus Mut terdiam mendengar kemarahan Fanshuri. Melihat Gus Mut bergeming, Fanshuri melanjutkan kekecewaannya karena Gus Mut tidak membela Mas Doni.
Usai beberapa kalimat yang panjang dengan penuh emosi, Gus Mut masih diam mendengarkan. Melihat lawan bicaranya terdiam Fanshuri agak heran.
“Gimana, Gus? Mana penjelasan sampeyan? Kok diam saja?”
Gus Mut bersandar sejenak di kursi sambil tersenyum. Seperti sedang menunggu waktu yang tepat.
“Bagaimana bisa aku memberi penjelasan kalau kamu masih belum selesai bicara, Fan?” kata Gus Mut.
“Baiklah, saya sudah selesai. Sekarang apa?” pinta Fanshuri.
“Begini. Sebelum aku jelasin apa yang sebenarnya terjadi kemarin, aku perlu kasih tahu kamu bahwa ada perbedaan besar antara beribadah secara massal dengan beribadah secara individu…”
Belum selesai Gus Mut bicara, Fanshuri kelihatan akan memotong. Melihat itu Gus Mut berhenti sejenak, seolah memberi waktu Fanshuri kalau-kalau mau membantah kata-katanya.
“Gimana? Kamu masih belum selesai bicara?” kata Gus Mut.
Fanshuri terdiam, mulutnya sempat terbuka. Lalu menggeleng dengan cepat. “Oke silakan lanjutkan dulu, Gus.”
“Oke. Rumah Mas Doni itu memang jadi hak Mas Doni untuk melakukan kegiatan apa saja. Mau beribadah mau—misalnya—bermaksiat sekali pun, bukan hak tetangganya untuk melarang. Itu area milik Mas Doni. Tapi, menjadi berbeda kalau Mas Doni mengajak sekelompok orang dari luar kampung ke rumahnya lalu mengadakan kegiatan peribadatan,” kata Gus Mut.
Fanshuri terdiam—meski kelihatan ingin sekali memotong. Gus Mut tahu, tampaknya dia masih diperbolehkan Fanshuri bicara.
“Masalahnya Mas Doni sudah melakukannya selama dua bulan ini. Kegiatan peribatannya mengganggu tetangga-tetangga yang kebetulan muslim. Apalagi saat doa dilakukan malam-malam dengan suara keras. Jarak rumah Mas Don yang berdempetan dengan tetangga-tetangganya bikin banyak warga yang terganggu….”
“Tapi, Gus.” Tampaknya Fanshuri sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk memotong pembicaraan.
“Oke, silakan,” kata Gus Mut.
“Apa Gus Mut tidak menimbang, bagaimana rasanya jadi Mas Doni saat lima kali dalam sehari dia harus kita ganggu dengan suara azan? Lalu apa bedanya, dengan—misalnya—sedikit doa malam yang dilakukan Mas Doni yang dilakukan paling sering seminggu sekali? Kalau Mas Doni bisa memaklumi kita, apa susahnya kita memaklumi Mas Doni?” tanya Fanshuri.
“Betul. Itulah idealnya. Itu seharusnya. Sayangnya, hidup itu nggak selalu bisa ideal, Fan. Kalau kita hidup sendiri mendirikan kampung sendiri yang berisi orang-orang kayak saya, kamu, dan cuma Mas Doni—misalnya, mungkin kita bisa mewujudkannya. Tapi nggak semua orang punya pendidikan kayak kamu, Fan. Nggak semua orang berpikiran terbuka kayak kamu. Kamu tidak bisa semena-mena memaksakan konsep idealmu begitu saja ke masyarakat. Kalau kamu bersikeras, maka akan terjadi konflik. Kondisi yang semakin besar mudaratnya ketimbang manfaatnya,” kata Gus Mut.
“Lalu kenapa justru Mas Doni yang harus mengalah kalau begitu? Bukan kita?” tanya Fanshuri.
“Ya karena Mas Doni melakukannya di ruang publik yang kebetulan berada di area mayoritas muslim. Ketika sudah menyentuh ruang publik, ini bukan lagi soal ibadah atau tidak. Contohnya, ketika kamu salat sendirian di rumah yang kamu punya di wilayah mayoritas non-muslim misalnya, itu tidak akan jadi masalah. Namun ketika kamu mengumpulkan orang-orang muslim dalam jumlah besar lalu mengadakan ibadah salat berjamaah di sana, tanpa ada pemberitahuan atau izin ke orang-orang sekitar, nah itu jelas akan jadi masalah besar,” jelas Gus Mut.
“Ini bukan soal boleh beribadah atau tidak, ini soal adab mengadakan sebuah acara bersifat massal, di lingkungan yang secara kepercayaan berbeda dengan si pembuat acara,” lanjut Gus Mut.
Fanshuri terdiam sejenak.
“Tapi, Gus. Itu sama sekali tidak menjawab kenapa Gus Mut mau menjadi perwakilan warga yang ikut menggeruduk rumah Mas Doni,” kata Fanshuri.
“Aku saat itu cuma bertanya, kenapa mereka tidak beribadah di tempat yang sudah ada. Kamu tahu apa jawaban Mas Doni?” tanya Gus Mut.
“Apa, Gus?”
“Tempat ibadah mereka sudah tidak cukup ruangnya. Jamaahnya sudah berkembang, tempatnya butuh renovasi dan mereka nggak punya cukup dana,” kata Gus Mut.
Usai Gus Mut berkata seperti itu, beberapa warga yang kemarin ikut menggeruduk rumah Mas Doni tampak berjalan melewati depan rumah Gus Mut.
“Gus, jadi nggak?” kata Pak Sapto, salah seorang warga.
“Jadi dong. Tunggu sebentar ya?” teriak Gus Mut ke Pak Sapto. Gus Mut tiba-tiba berdiri.
“Lho mau ke mana, Gus? Pembicaran kita kan belum selesai,” kata Fanshuri ke Gus Mut yang seperti bersiap-siap akan pergi.
“Kita bisa lanjut berdebat sambil jalan ke Kecamatan kalau kamu mau,” kata Gus Mut.
“Hah? Ada urusan apa ke Kecamatan?” tanya Fanshuri.
“Aku dan warga kampung tadi malam sepakat membuka dialog bersama Pak Camat lalu mau diteruskan ke Pemerintah Daerah untuk meminta mereka soal dana renovasi tempat ibadah buat Mas Doni dan teman-temannya. Ya kan kamu tahu, warga kampung kan nyumbang nggak bisa banyak-banyak. Jadi kita butuh bikin proposal juga.”
Fanshuri terdiam. Terkejut luar biasa.
“Gimana, mau nggak kalau debatnya dilanjut sambil kita jalan ke Kecamatan?” ajak Gus Mut.