MOJOK.CO – Menghiasi masjid padahal tidak meramaikannya. Percuma masjid bagus kalau sepi karena cuma dipakai “dinas” salat lima waktu saja.
“Gus, kayaknya aku mulai ngantuk nih, gantian nyupir dong,” kata Fanshuri kepada Gus Mut yang ada di sebelahnya.
Malam itu Fanshuri dan Gus Mut mengantar Kiai Kholil ngisi pengajian di luar kota. Karena jarak begitu jauh, Gus Mut mengajak Fanshuri untuk gantian nyupirin mobil Abahnya. Ketika tadi berangkat dari rumah, Gus Mut yang nyetir, sekarang ketika pulang ganti Fanshuri yang nyupir. Sayang, dalam perjalanan pulang, Fanshuri sudah tidak tahan. Matanya sudah kembang kempis ngantuk luar biasa.
Gus Mut yang di sebelah Fanshuri tidak menjawab. Permintaan Fanshuri malah dibalas dengan ngorok.
“Woy, Gus. Ngantuk ini,” kata Fanshuri lagi sambil menyenggol tubuh Gus Mut.
Gus Mut terkejut. “Oh, kenapa, Fan?”
“Ngantuk ini aku. Gantian aja apa gimana nih?” kata Fanshuri
Gus Mut masih bermalas-malasan di jok yang sudah diturunkan, lalu membalas. “Lho tadi kan berangkatnya udah aku. Gantian dong. Aku juga ngantuk berat ini, Fan,” jawab Gus Mut sambil kembali tidur.
“Istirahat aja dulu, Fan. Mampir dulu ke mana gitu. POM bensin atau masjid gitu,” kata Kiai Kholil dari belakang.
“Oh, baik, Pak Kiai,” kata Fanshuri sambil menyalakan lampu sein kiri pelan-pelan mencari masjid.
“Nah, itu ada tuh,” kata Kiai Kholil menunjuk di depan ada kubah besar masjid di pinggir jalan raya dari kejauhan.
Fanshuri pun memarkir mobilnya. Halaman masjid tidak cukup luas, jadi agak sulit memarkir mobil. Perlu beberapa kali Fanshuri menempatkan mobil agar tidak terlalu makan jalan. “Nah, kayaknya udah pas,” kata Fanshuri.
“Kamu istirahat saja dulu di masjid. Rebah-rebah dulu sana, atau ambil wudu biar nggak ngantuk,” kata Kiai Kholil.
Begitu mobil berhenti, Gus Mut malah terbangun. Sambil mengucek matanya Gus Mut melihat sekitar dan sedikit bingung.
“Lha kok berhenti? Kenapa, Bah?” tanya Gus Mut. Fanshuri sudah nyelonong saja keluar menuju gerbang masjid.
“Fanshuri ngantuk,” jawab Kiai Kholil singkat.
“Abah nggak ikut turun?” tanya Gus Mut.
“Nggak. Aku di mobil saja. Biar Fanshuri rebahan dulu bentar di masjid,” balas Kiai Kholil.
Tak berselang lama Fanshuri sudah balik lagi ke mobil dari masjid. Kiai Kholil dan Gus Mut heran, cepat sekali Fanshuri rebahannya?
“Lho, udah, Fan?” tanya Gus Mut.
“Udah apaan, masjidnya ternyata dikunci,” balas Fanshuri kesal.
“Lho? Masa sih? Masjid bagus gede begini masa dikunci?” tanya Gus Mut masih heran lalu ikut keluar mobil.
“Eh, beneran. Gerbangnya dikunci,” Gus Mut masih heran lalu mendekat ke gerbang masjid. Semakin heran karena bahkan untuk toilet dan tempat wudu pun dikunci. “Ini maksudnya gimana sih, masjid kok dikunci?” Gus Mut ikut-ikutan jadi kesal.
“Ya sudah, cari masjid lain saja, atau kalau ada POM bensin di depan kita berhenti lagi,” kata Kiai Kholil cuma mengintip dari dalam mobil. Jam sudah menunjuk pukul 1 dini hari.
Gus Mut pun kembali masuk, begitu juga dengan Fanshuri yang masih ngedumel tak berhenti-berhenti. Perjalanan pun dilanjutkan kembali.
“Heran aku, Bah. Ngapain bangun masjid bagus-bagus begitu tapi kok malah dikunci segala,” kata Gus Mut.
“Makanya, Mut. Itulah kenapa dalam kalimat di Al-Quran ada ayat bunyinya innamâ ya’muru masâjidallah bukan inaamâ yu’ammiru masâjidallah,” kata Kiai Kholil kepada Gus Mut, putranya.
“Memang apa bedanya ya’muru dengan yu’ammiru, Pak Kiai?” tiba-tiba Fanshuri tanya.
Gus Mut langsung membenarkan jok tempatnya duduk. “Kalau ya’muru itu bentuk masdar-nya ‘imârah, nah kalau yu’ammiru bentuk masdar-nya ta’mîr,” jawab Gus Mut mendadak tidak jadi ngantuk.
“Kamu ngomong apa sih, Gus? Aku kan nggak pernah mondok, mana ngerti aku ilmu shorof kayak begitu,” protes Fanshuri.
“Lha tapi benar begitu kan, Bah?” tanya Gus Mut ke abahnya.
“Yang aku tanyakan itu bukan shorofnya, Mut. Tapi apa hikmahnya? Jadi kenapa dalam Al-Quran disebutnya innamâ ya’muru masâjidallah dan bukan inaamâ yu’ammiru masâjidallah,” kata Kiai Kholil.
Mendapat pertanyaan begitu dari abahnya, Gus Mut kembali berpikir keras. “Apa ya, Bah, aku lupa. Tapi kayaknya ada itu di kitab kuning Tafsir Baidlowi soal fasal ini, tapi lupa aku isinya,” kata Gus Mut garuk-garuk kepala.
Kiai Kholil menepuk bahu putranya, “Gimana sih, Mut, sudah ngaji bertahun-tahun malah lupa.”
“Lha emang kenapa, Pak Kiai?” tanya Fanshuri penasaran.
“Jadi begini, Fan, Mut. Kalau ya’muru itu artinya meramaikan masjid dengan mengisinya pakai kegiatan-kegiatan ibadah. Seperti tahiyatul masjid, baca Al-Quran, zikir, dan sebagainya. Atau bahkan tidak cuma untuk kegiatan ibadah yang sifatnya habluminallah saja, tapi juga yang habluminannas. Misalnya rapat soal masjid dan sebagainya.”
“Zaman Nabi dulu, masjid kan fungsinya bukan cuma sebagai tempat ibadah saja, tapi juga untuk kegiatan masyarakat. Lucunya, sekarang ini ada beberapa masjid yang difungsikan begitu eksklusif cuma boleh dipakai buat salat saja. Dikiranya hal yang dinilai ibadah itu cuma yang salat-salat saja. Padahal semua hal itu bisa dikategorikan ibadah kalau diniatkan untuk ibadah kepada Allah,” jawab Kiai Kholil.
“Lha kalau yu’ammiru emang gimana Pak Kiai?” tanya Fanshuri.
“Nah, kenapa Al-Quran tidak pakai yu’ammiru karena—walaupun artinya sama-sama meramaikan—tapi meramaikan masjid yang di sini artinya adalah menghiasi bangunannya saja. Bikin masjid gede-gede, hiasannya bagus banget, tinggi menjulang dan mewah, tapi tidak diramaikan oleh jamaahnya,” jelas Kiai Kholil.
“Nah, itulah masalahnya Pak Kiai yang bikin saya kesal. Kok sekarang semakin banyak masjid-masjid yang cuma dibangun mewah saja,” balas Fanshuri.
“Iya, iya. Belakangan ini jadi semakin banyak masjid model begitu. Memangnya itu kantor kelurahan? Kok ada jam buka tutupnya begitu? Kayak waktu salat fardu itu dianggap waktu dinas saja ya?” kata Gus Mut ikut kesal.
“Sudah, nggak perlu marah-marah. Lagian, ditutupnya masjid tadi ada hikmahnya,” kata Kiai Kholil.
Fanshuri sama Gus Mut saling pandang, hikmah apalagi ini?
Sambil merebahkan ke jok belakang, Kiai Kholil berkata, “Alhamdulillah, dengan ditutupnya masjid tadi, kalian berdua jadi sama-sama nggak ngantuk.”
Fanshuri lalu tersenyum melihat Gus Mut seolah kasih kode agar mau gantian.
“Nggak mau, aku tadi udah nyupir watu berangkat. Jangan curang ya kamu, Fan.”
*) Diinspirasi dari kisah KH. Maemun Zubair dengan KH. Subhan Makmun.