Saya pernah iseng-iseng bikin survei kecil-kecilan di lingkungan tempat saya tinggal. Hasilnya, tiga dari lima anak tetangga saya hafal Mars Perindo dengan baik. Dari dua yang tidak hafal itu: satu karena nggak punya tivi di rumah, yang satu lagi memang belum bisa ngomong.
Walaupun jauh dari kaidah ilmiah, saya rasa survei kecil-kecilan itu menggambarkan bagaimana televisi bisa berpengaruh begitu dalam terhadap pemirsanya.
Saya bicara soal televisi karena Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, mempersilakan tivi-tivi nasional menayangkan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI. Netizen menanggapi kabar itu, seperti biasa, dengan waung sekali: dengan mengusulkan judul-judul baru untuk film itu. Ada yang menyodorkan G30S/PKI Jadi Dua untuk meniru film Nagabonar, G30S/PKI Reborn supaya mirip film Warkop, sampai G30S/PKI Return biar kayak Batman.
Judul apa pun tentu bisa saja dibuat. Bisa AADG: Ada Apa dengan G30S/PKI, sampai yang paling absurd seperti Bulan Terbelah di Langit Jekardah.
Saya sebenarnya tidak punya masalah dengan itu. Tidak dengan rencana Om Tjahjo atau pilihan judulnya. Bahkan hitung-hitungan bisnisnya, seandainya film itu diputar di jaringan bioskop Cinema 21, saya yakin pendapatannya akan jauh melampaui pendapatan film Rafathar.
Saya yakin film itu akan ditonton minimal oleh tujuh juta Alumni 212—minus mereka yang sedang berurusan dengan pihak kepolisian, tentu saja.
Kalaupun ada yang harus saya pertanyakan, paling-paling—karena ini film sejarah—soal akurasinya. Kalau mau adil, atau—pinjam kata-kata Mustofa Nahra Wardaya yang getol mengusulkan pemutaran kembali film itu—“untuk mengetahui sisi benar dan salahnya”, Om Tjahjo bisa mempertimbangkan juga untuk memutar film Jagal dan Senyap bikinan Joshua Oppenheimer di tivi-tivi nasional.
Tapi saya berani bertaruh Om Tjahjo tidak akan melakukannya.
Berbeda dengan film besutan Arifin C. Noer, dua film bikinan Lek Joshua itu secara politis kemungkinan besar akan merugikan partai Om Tjahjo, pemerintah, sampai Presiden Jokowi. Tuduhan bahwa pemerintahan yang sekarang adalah agen KGB, Kuminis Gaya Baru, sampai antek asing dan aseng, akan semakin menguat.
Izin dari Om Tjahjo untuk menayangkan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI di tivi-tivi nasional itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Kalau kata meme: “Hmm … sudah kuduga ….” Yang aneh malah karena yang mengusulkannya adalah Kanda Mustofa Nahra, kader PKS paling berkilau kedua setelah Fahri Hamzah. Karena kalau dihitung-hitung, yang rugi sebenarnya malah partainya Bang Mustofa dan Om Fahri itu
Untuk memahami ini, kita harus kembali dulu ke Mars Perindo sebagai contoh kasus. Saya tidak tahu apakah tim sukses Hary Tanoe sadar atau tidak bahwa lagu kebanggaan partai mereka merasuk begitu dalam di kepala anak-anak se-Indonesia Raya. Yang jelas, tivi Om Hary identik dengan penayangan ulang film kartun lama. Mulai dari Dragon Ball sampai Naruto Shippuden yang bahkan dapat slot di jam tayang utama.
Strategi tivi Om Hary itu bekerja dengan tiga cara: Dragon Ball untuk membangkitkan nostagia anak 90-an, Naruto Shippuden meng-edo-tensei generasi 2000-an, dan keduanya menangguk limpahan penonton anak-anak zaman sekarang—minimal tiga dari lima orang anak tetangga saya. Ditambah sisipan Mars Perindo di setiap jeda iklannya, popularitas Om Hary bercahaya lintas generasi. Sambil menyelam, minum air, mandi, nyuci baju, sikatan, atau coli sekalian.
Buat Mustofa Nahra dan partainya dan orang-orang yang sepemikiran dengannya, film Pengkhianatan G30S/PKI paling-paling cuma akan menguatkan fobia mereka kepada komunisme. Membuat mereka tidak peduli pada laporan visum yang menyebut bahwa tidak ada penyiksaan yang dialami para jenderal, tidak peduli pada kemungkinan bahwa peristiwa itu adalah kisruh rumah tangga tentara, akal-akalan CIA, sampai percaya bahwa orang komunis bisa kelihatan dari sumsum tulang belakangnya.
Penayangan kembali film itu—di tivi pula, yang pengaruhnya tadi begitu luar biasa—justru akan menggerus suara orang yang satu barisan dengan Bang Mustofa.
Tapi buat Pakde Jokowi, Om Tjahjo, dan partainya, pemutaran kembali film itu akan bekerja seperti film Dragon Ball atau Naruto bagi Om Hary. Tentu bukan untuk menangguk suara pemuda tahun 60-an, karena perkiraan saya jumlahnya juga sudah tidak banyak lagi.
Gampangnya, sekarang Abangnda Jonru kan jadi susah kalau mau maksa Jokowi tes DNA untuk membuktikan bahwa sel darah merahnya nggak ada gambar palu-arit.
Sementara buat pendukung garis keras Pakde Jokowi, film itu tidak akan banyak berpengaruh. Mereka tidak akan peduli benar atau tidak partai komunis itu dulu memberontak. Yang penting jalan tol membentang dari Sabang sampai Merauke. Yang penting HTI bubar walaupun tidak dikasih kesempatan untuk membela diri di pengadilan. Yang penting Buni Yani dan Jonru … ah, sudahlah.
Yang aneh lagi dari Abang Mustofa: konon beliau lagi keliling dunia untuk melawan islamofobia, tapi di dalam negeri beliau malah mau membangkitkan komunisfobia. Bukan saya mau membela kaum komunis yang kata Pak Kivlan Zen jumlahnya di Indonesia sudah ada 15 juta orang, tapi kalau soal memberontak –dan ingin mencegahnya terulang lagi—rasa-rasanya tiga komponen yang disebut Bung Karno Nasakom semuanya pernah melakukannya.
Yang paling menyeramkan dari komunisfobia itu, dan juga islamofobia, sebenarnya adalah labelisasi. Orang yang memanjangkan jenggot, berjidat hitam, dan bercelana cingkrang, kalau beruntung akan dicap Wahabi. Kalau lagi sial, dituduh teroris. Cuma di tempat saya saja Teuku Wisnu dipuja sedemikian rupa sampai fotonya ada di semua bungkus strudel. Di media sosial beliau di-wahabi-wahabi-kan, selain karena tampilannya, juga karena pendapatnya soal agama.
Komunisfobia juga sama. Orang yang berbeda pendapat akan dituduh kiri, orang yang ikut demo buruh akan disangka komunis, orang yang membela petani yang di sawahnya mau dibangun pabrik semen akan dibilang sodaraan sama Kim Jong Un, dan seterusnya. Contohnya sudah banyak. Jokowi sendiri pernah merasakan dituduh anak PKI. Kapolri, Om Tito, pernah disebut mirip Aidit. Malah pengacara Muannas Alaidid jidatnya dibilang mirip Aidit.
Pernah nggak kita mikirin perasaan mereka yang tertuduh? Itu belum kalau kita bicara soal orang-orang yang dihukum atau dibunuh karena dituduh terlibat PKI tanpa pengadilan. Atau anak-anaknya yang mendapat stigma. Atau Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas yang menggagas Rekonsiliasi 1965, yang diteriaki orang ‘Jenderal PKI.’ Lha Sutoyo Siswomiharjo, salah satu jenderal yang diculik pada tahun ’65 itu kan bapaknya.
Tapi buat apa juga kita mikirin perasaan orang, ya? Apalagi kalau yang dituduh itu beda pilihan cagub atau capresnya. Lha wong Pak Jokowi yang pernah dituduh sedemikian sadis saja malah membiarkan menteri dalam negerinya mengizinkan film tadi ditayangkan kembali. Bahkan mengusulkan remake pula.
Dari 270 juta orang Indonesia, mungkin cuma Marno Blewah yang masih sempat memikirkan perasaan orang lain. Piye perasaanmu nek dadi kates?