Kaka, masih ingat Ungke yang jago tebak-tebakan itu kah? Nah, pada suatu hari yang cerah ceria, Ibu Guru kembali ajak anak-anak main tebak-tebakan.
“Selamat pagi, anak-anak samua. Hari ini kitorang bermain tebak-tebak suara binatang eee.”
“Iyo, Ibu Guruuu,” sahut anak-anak.
“Meoong, meong, ada yang tahu itu suara apa?”
“Kucing, Ibuuu!” sahut seisi kelas sama-sama.
“Kalo, moooooo, itu suara apa, anak-anak?”
“Sapi to, Ibu.”
Tiba-tiba Ungke mengacungkan tangan lalu bertanya, “Ibu! Kalo, ‘Hai, cantik, boleh kenalan?’ itu suara binatang apa coba?”
Ibu Guru de bingung dan tidak tahu mau jawab apa.
“Buaya darat, Ibuuu,” jawab anak-anak serentak.
Ibu Guru cuma tarik napas panjang
Nyamuk
Di Halmahera, jika musim panen cengkeh berlangsung, para pemilik kebun biasanya akan tidur di kebun. Ramai-ramai (kalau sendiri, siap-siap suanggi bagombal). Anak-anak sekolah juga meliburkan diri mengikuti orang tua mereka panen.
Begitu juga Ungke. Ia diajak bapaknya tidur di kebun untuk menjaga pohon cengkeh milik mereka. Ini pertama kalinya bagi Ungke. Oleh karena itu, Ungke pun mengeluh saking banyaknya nyamuk ketika malam.
“Ampong, Papa, ini nyamo pe banyak sampe.”
“Sudah, kalo begitu ngana kase mati itu lampu pelita, biar nyamuk tra lihat pe kitorang.”
Ungke pun bergegas mematikan lampu. Malam itu jadi sangat gelap. Bintang-bintang tertutup awan hitam. Tiba-tiba Ungke melihat ada cahaya-cahaya kecil di bawah pohon cengkeh.
“Papa eee, itu apa yang menyala-menyala ka?” bisik Ungke pada bapaknya.
“Sssttt, Anak, pelan-pelan saja. Tenang. Itu nyamuk dia pake senter ada cari-cari pe kitorang.”
Belajar Membaca
Sejak pagi Ungke membantu memungut cengkeh yang jatuh dari atas pohon, sedang bapaknya berada di atas untuk memetik. Ketika waktu menunjukan pukul 12 siang, mereka beristirahat makan. Menu makan siang itu ada sagu, ikan fufu, dan kecap Bango.
Di sela-sela makan siang, si bapak bertanya kepada Ungke, “Anak, jadi di sekolah ngoni sudah belajar apa saja?”
“Tebak-tebak deng membaca to, Papa.”
“Oh, lalu ngana su tau membaca?”
“Yonbeks.”
“Iyo kah? Kalo begitu coba ngana baca ini,” kata Bapak sambil menunjuk tulisan di botol kecap.
“B-A?”
“Ba,” jawab Ungke
“NG-O?”
“Ngo.”
“Ba tambah ngo, baca?”
“Kecap manis.”
Langsung sagu melayang ke kepala.
Cita-Cita
Setelah panen cengkeh, sekolah kembali ramai. Kali ini lebih ramai karena banyak anak-anak yang datang dengan sepatu hingga sepeda baru. Itu semua dari hasil cengkeh tentunya. Waktu di dalam kelas begini, kebutulan ada siswa baru. Jadi ibu guru meminta anak-anak untuk memperkenalkan diri dan cita-cita.
“Yang di belakang, sebutkan nama deng ngana pe cita-cita apa,” tunjuk Ibu Guru.
“Kalo saya nama Jamal, cita-cita jadi tentara.”
“Kase tepuk tangan untuk Jamal. Kalo yang di ujung sana?” tanya Ibu Guru.
“Perkenalkan, nama saya Majid. Saya pe cita-cita jadi juragan kopra.”
“Tepuk tangan juga. Nah, sekarang ade cantik siswa baru yang duduk di depan ini.”
“Perkenalkan, teman-teman, nama saya Juleha. Saya pindahan dari SD Morotai. Cita-cita saya menjadi dokter, ingin punya rumah, mobil yang banyak, dan keliling dunia.”
“Wah, luar biasa, mari beri aplaus untuk ade Juleha. Nah terakhir giliran ngana,” kata Ibu Guru sambil menatap Ungke.
“Oke. Nama saya Ungke. Cita-cita saya nanti jadi suaminya Juleha saja. So terima beres.”
Ibu Guru tarik napas panjang sambil garuk-garuk kepala.