[MOJOK.CO] “Daripada menanggung hukuman penjara, mending kau bacalah kiatnya dulu sambil terkekeh…”
Saya Cuma Mau Keluar…
Sebagai seseorang yang mendapuk dirinya bapak-bapak milenial zaman now, Daeng Sangkala memiliki ritus nongkrong di warung kopi bersama bapak-bapak lain yang semazhab dengannya. Sebagaimana malam-malam biasanya, hari itu mereka melarikan diri dari omelan istri-istri mereka dengan berbekal kopi, rokok, dan tentu saja yang tak boleh ketinggalan, permainan domino. Di lingkaran mereka juga terdapat Daeng Rewa, seorang haji pemilik warkop tersebut.
Menghampiri tengah malam, permainan diakhiri. Mereka semua kembali ke peraduannya masing-masing. Daeng Rewa kembali ke rumahnya yang hanya berjarak tiga ruko dari warung kopinya.
Sepulangnya dia, setelah membersihkan tubuh dan bersiap-siap hendak istirahat, baru saja rebahan, HP-nya tiba-tiba menyala.
“Halo, Daeng Rewa, jam berapa besok buka warkop ta?”
“Oe, siapa ini malam-malam telpong? Ini jam 2 malam!” bentaknya.
“Saya Sangkala, Daeng, mau ja tanya jam berapa warkop ta (kamu) besok buka?”
“Oe Sangkala, kau kelewetang ko, masa jam begini kau telpong ka (saya) setang. Biar saya buka besok, saya tidak mau kasih masuk ko!”
“Saya tidak mau ji masuk, Daeng Rewa. Saya mau ja keluar, kodong (kasihan) takkunci (terkunci) ka di WC!”
Daeng Rewa mematikan HPnya. Segera.
Makanya Minum Antimo
Semenjak berkeluarga, Daeng Sangkala telah menghentikan total kegemarannya menenggak Ballo’ (arak/minuman keras khas Makassar). Namun, hari itu adalah pengecualian. Salah seorang kawan karibnya telah kembali dari perantauan lalu mengajak Daeng Sangkala untuk minum-minum seperti masa mereka muda dulu. Meski berat, pada akhirnya Daeng Sangkala mengiyakan ajakan tersebut. Demi solidaritas, katanya.
Kedua kawan lama itu lalu menuju sebuah tempat di mana mereka menghabiskan waktu belasan tahun silam. Di sana, mereka mulai menuang ballo’ secara bergantian. Gelas pertama untuk Daeng Sangkala. Gelas kedua untuk kawannya. Begitu seterusnya, sampai mereka menghabiskan botol ketiga.
“Aiih, oleng ma saya Sangkala. Nda bisa ma (Saya sudah oleng Sangkala. Sudah tidak bisa).”
“Apa ji, paccena (cemen).”
“Kau kassa’ (kuat) mu di’ (ya)? Nda mabok-mabok pako (Masih belum mabuk-mabuk).”
“Nassami. Ka sudahka minum antimo (Ya iyalah. Saya sudah minum antimo).”
Ujung-ujungnya Judi
Siang yang terik sepulang sekolah. Sebelum sampai di rumah, Irahing menyempatkan diri untuk singgah di sebuah lapangan kecil pinggiran kota. Di sana, berkumpullah beberapa teman sebayanya sedang asyik bermain kelereng.
Tapi ada sesuatu yang aneh: setiap kali seseorang mengenai kelereng lawannya, yang kalah tidak membayar yang menang dengan kelereng sebagaimana biasanya, melainkan dengan uang. Melihat ada indikasi judi yang sedang dilakukan teman-temannya, Irahing mendatangi mereka.
“We, jangko sewa uang. Ndak boleh itu (We, jangan main judi uang. Tidak boleh itu).”
“Siapa sede’ bilang?”
“Ibu Guru tadi bilang, di sekolahku.”
“Ah, balle balleko (bohong-bohong) pasti.”
“Ih, serius ka. Kalo ko ndak percaya, mauko sewa? (Ih, saya serius. Kalau kau tidak percaya. Mau taruhan?)”
Balas Dendam
Sore yang cukup cerah di kota Makassar. Irahing sedang menunggu penjual jalangkote (panganan khas Makassar yang terbuat dari tepung terigu berisi berbagai macam sayur, telur, dan terkadang daging) yang saban sore melintas di depan rumahnya.
“Jalangkooteee…” Suara khas penjaja jalangkote mengagetkan Irahing.
“Jalangkotee, sini ki,” panggil Irahing.
Penjual jalangkote itu, seorang bocah 8 tahun, mengampiri Irahing. Tapi asal kau kenal Irahing, kau pasti tahu misi utamanya tentu bukan untuk membeli jalangkote.
“Siapa ini yang bikin jalangkotenu?” Irahing mulai bertanya.
“Bapakku.”
“Kalo kau, siapa bikin ko?”
“Eeh… Bapakku.”
“Ih, berarti ko sodara itu sama jalangkote, masa ko jual.”
Penjual jalangkote garuk-garuk kepala. Irahing tertawa, puas sekali.
Keesokan harinya, di tempat dan waktu yang sama, Irahing kembali menunggu di depan rumahnya.
Si pedagang jalangkote kembali singgah di hadapan Irahing setelah sebelumnya dipanggil. Seperti tidak ada kapoknya.
“Ada ji jalangkote?” Irahing mulai beraksi.
“Iye’ ada ji.”
Irahing lalu mengambil sebiji jalangkote.
“Apa isinya ini jalangkotenu?”
“Ih, apa ku taukan ki, nda pernah ka masuk di dalam (Mana saya tahu, saya tidak pernah masuk ke dalam).”
Pedagang jalangkote tertawa. Puas sekali. Tak ada yang lebih manis melebihi manisnya balas dendam.
Hanya Perlu Tanggung Jawab
Belum lama ini, dua tetangga Daeng Sangkala, Baso’ dan Bundu terlibat kasus yang berbeda yang memaksa mereka menjalani sidang masing-masing.
Ini hasil putusan dari Pengadilan Negeri:
“Bundu dihukum dua bulan penjara sebab membawa lari perempuan tetangganya.”
“Baso’ dihukum dua tahun penjara, sebab membawa lari sapi tetangganya.”
Baso’ pun memprotes keputusan tersebut.
“Pak Hakim, saya tidak terima putusan pak hakim. Masa si Bundu membawa lari perempuan tetangganya cuma dihukum dua bulan, na saya cuma bawa lari sapi tetangga dihukum dua tahun. Saya protes… Saya tidak terima!”
“Kammanne Baso’… Anjo (itu) Bundu divonis dua bulan sebab berani tanggung jawab, terus mau nakawini perempuan yang dia bawa lari. Kau iya? Kau mau kawin sama yang kau bawa lari, tidak? Kalo mau ko, vonisnya diubah jadi dua hari.”
Makan Setan
Aco, teman sekelas Irahing, dengan wajah yang pucat pasi menceritakan sebuah kejadian yang baru saja dia alami.
“Masa’ tadi waktu pergika WC ada ku lihat setang…” buka Aco yang tentu saja langsung dirubungi oleh teman-temannya, “Sudahmi ku bacakan Ayat Qursi tapi ndak mau lari setangna.”
“Aiih salahko memang, saya juga pernah ketemu setang, tapi langsungji lari,” tetiba Irahing memotong Aco. Semua mata kini mengarah ke arahnya.
“Iyokah? Apa itu nubaca?” tanya Aco penasaran
“Allahumma baariklanaa fii maa razaktanaa wakinaa azaa bannaar.”