MOJOK.CO –Seorang guru agama menganggap penampilan dan tingkah lakunya kurang agamis. Dia ragu-ragu, apakah dirinya masih pantas disebut sebagai guru agama?
TANYA
Dear Mojok, bantu saya kasih solusi ya…
Panggil saja saya Uul, banyak yang bilang—khususnya teman dekat dan keluarga—saya adalah orang yang sedikit manja, kadang rada tomboy, dan sedikit ngeyel. Sepertinya tak ada potongan yang sesuai dengan profesi yang saya jalani sekarang. Saya sudah 6 tahun ini lulus kuliah S1 Pendidikan Islam. Setelah lulus—sesuai dengan gelar S.Pd.I—saya mengajar di sebuah Sekolah Menengah dekat tempat tinggal saya. Sudah beberapa tahun saya ngajar tapi kok rasa-rasanya ada saja yang mengganjal di pikiran. Selama ini saya abaikan saja perasaan itu karena saya pikir toh ini sudah jalan-Nya. Jadi, ya jalani saja. Tapi ganjalan ini bertahun-tahun tak juga menghilang.
Begini Jok, memang awalnya saya memilih jurusan ini antara niat dan nggak niat. Bagaimana tidak? Ketika saya SMA, saya masih awam dengan dunia perkuliahan. Hanya karena anjuran teman, saya langsung ambil jurusan ini. Katanya, “udah ambil jurusan ini (PAI) aja, Ul. Kamu kan sekolahnya nyambi mondok, agamanya pinter, sudah pasti keterima.”
Karena saking takutnya nggak keterima di jurusan MIPA—yang notabenenya dianggap lebih sulit dari mata pelajaran lain, saya ikuti saja saran dari teman saya itu. Saya masih ingat jelas, saat mengisi formulir pendaftaran masuk Universitas. Pada kolom pilihan pertama, saya isi: Pendidikan Agama Islam. Lalu pada kolom pilihan kedua, saya isi: Biologi (jurusan yang sebetulnya sangat saya minati).
Semester awal kuliah, saya menjalaninya dengan senang hati. Jelas, karena saya bisa meyakinkan ortu untuk melanjutkan kuliah di luar kota—karena pada mulanya saya harus membujuk-bujuk ortu terlebih dahulu supaya dibolehkan kuliah. Apalagi, dengan tambahan kata-kata meyakinkan, “Saya kuliah jurusan Agama kok, Bu. Nggak mungkin ikut-ikutan temen yang nggak bener. Apalagi tahun pertama diwajibkan asrama.” Maka luluhlah hati mereka.
Nah, yang sekarang sedang saya galaukan adalah ketika saya sudah menjadi seorang guru—guru agama lagi. Pertama, sebagai guru agama, saya merasa karakter saya belum cocok untuk digugu dan ditiru. Kedua, saya juga merasa penampilan saya masih belum agamis-agamis banget. Nggak kayak ukhti-ukhti masa kini. Saya merasa nyaman mengenakan pakaian yang simpel dan kasual, meski tetap menyesuaikan tempat juga, sih.
Namun, tiap kali melihat murid-murid saya yang unyu-unyu itu paham dengan apa yang saya ajarkan, ada kepuasan hati tersendiri dan susah dijelaskan. Jadi sebenarnya, Jok, saya ini suka dengan profesi saya, namun nggak suka kalau profesi tersebut dikaitkan dengan karakter dan tampilan luar. Jadi, apa yang harus saya lakukan sekarang? Mohon pencerahannya….
JAWAB
Hai Mbak Uul yang saat ini berprofesi sebagai guru agama, tapi merasa tampilannya nggak agamis-agamis banget…
Ehm, sebetulnya saya kurang terlalu paham, bagaimana, sih, yang dimaksud baju seperti ukhti-ukhti itu? Maaf nih, apakah seseorang yang disebut ukhti punya dresscode khusus? Hehehe.
Kalau Mbak Uul bertanya pada kami tentang kegalauan tampilan luar, sih, yang terpenting dari penampilan adalah yang dapat membuat nyaman. Nah, karena profesi sebagai guru agama seakan menuntut njenengan tetap berpakaian ‘sopan’, maka setidaknya baju tersebut dapat menutup bagian dada dan tentu saja tidak ketat.
Sedangkan mengenai model baju sendiri, menurut kami tidak ada halangan bagi Mbak untuk tetap berpakaian simpel dan kasual. Yakni sebuah gaya berpakaian yang memang betul-betul membuat Mbak nyaman dalam beraktivitas. Apalagi bukankah sekarang sudah ada banyak model-model baju yang digaungkan oleh para desainer ternama dengan konsep: tetap tampil syari dan trendi?
Namun, tenang saja, Mbak Uul nggak perlu beli baju baru, kok. Apalagi harus memborong baju-baju jualan mereka yang harganya bisa ngabisin gaji bulanan sendiri—membuat tidak punya cukup dana untuk bayar kosan atau jajan lainnya. Dengan modal ngamatin baju-baju yang mereka pamerkan di Instagram, yaudah, coba baju-baju lama di lemari di-mix and match. Sekalian manfaatkan juga baju-baju lama Ibu njenengan. Siapa tahu, style unik dari daya kreativitas itu, bisa membuka ladang rezeki yang lain: jualan baju.
Selain itu, jika di daerah Mbak ada yang jual awul-awul, manfaatkan juga hal itu dengan sebaik-baiknya. Pasalnya, di situlah kita berkesempatan mendapatkan baju-baju kece—kalau beruntung juga dapat merek yang premium—namun tetap dengan harga yang cucok di kantong. Oh iya, apalagi baju-baju orang luar negeri itu biasanya ukurannya gede-gede. Jadi, tentu Mbak memiliki kesempatan lebih besar untuk punya banyak baju yang gombor-gombor dengan style Mbak sendiri. Jadi, nggak ada lagi alasan bagi Mbak untuk tampil seksi dan nggak syari, Ukhti.
Meski penampilan memang penting bagi pekerjaan ini, bagaimanapun dia hanyalah faktor penunjang. Pasalnya, yang paling penting adalah nilai-nilai yang diajarkan kepada murid-murid yang unyu-unyu itu. Misalnya sebagai guru agama, bagaimana njenengan mengajarkan nilai-nilai toleransi pada mereka. Supaya segala hiruk pikuk masyarakat yang terlalu mudah tersinggung dan curiga ini, dapat diredam dengan generasi penerus bangsa yang jauh lebih bijaksana.
Mengenai apakah njenengan pantas berada di profesi ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Menurut saya, ketika kita sering membicarakan sesuatu, harusnya alam bawah sadar kita pun akan semakin sering juga menerima afirmasi tersebut. Maka secara perlahan, sesuatu yang sering kita ucapkan kepada orang lain, juga akan kita lakukan secara perlahan. Namun, supaya hasilnya lebih mantap, akan lebih baik jika kita berusaha secara sadar melakukan sesuatu yang kita ucapkan tersebut.
Jadi Mbak Uul, saya cuma mau nitip pesen ke njenengan, untuk mengajarkan pada muridnya yang unyu-unyu itu tentang nilai-nilai yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Semoga njenengan dapat mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan antara habluminallah dan habluminannas, untuk kesejahteraan umat. Aminnn.
Duh, saya kok malah sok-sokan jadi Gus Dafi. Punten, Ukh~