Tanya
Mas, Mbak, tolong dengarkan curhat saya~
Sebut saja nama saya Puspa. Umur saya sekarang 22 tahun. Setelah lulus kuliah pada bulan Maret tahun lalu, saya merantau ke Negeri Sakura buat jadi TKW. Pekerjaan saya tidak sangat baik, tapi juga tidak sangat buruk, biasa-biasa saja. Saya bekerja di sebuah hotel di daerah yang kalau untuk wisata memang oke banget. Tapi kalau untuk ditinggali, apa apa jadi repot. Iya, repot, soalnya saya tidak punya kendaraan pribadi jadi harus mengandalkan kedua kaki dan transportasi umum. Supermarket terdekat tutup jam 6 sore. Convenience store terdekat 15 menit jalan kaki. Kalo laper malem-malem pengen jajan takut jalan sendiri soalnya sering ada babi hutan berkeliaran.
Lingkungan tempat tinggal yang terlampau nggunung, jauh dari keluarga dan sahabat, ketiadaan teman sambat yang bisa sering ditemui ini ternyata bikin saya stres. Saya sempat tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, bahkan sampai dada sakit beberapa kali saking banyaknya pikiran. Hingga suatu hari saya berpikir, bagaimana kalau saya pindah ke ibu kota (ibu kotanya sini tapi ya bukan Jakarta) saja? Banyak teman-teman saya di sana, kalau stres setidaknya ada teman untuk bersambat ria.
Sekarang saya sedang dalam proses lirik-lirik dan cari lowongan pekerjaan yang bisa bawa saya pindah ke ibu kota. Tapi kemudian saya dilanda kegalauan hebat. Saya tahu yang namanya hidup pasti akan ada masalah, akan ada hal yang nggak srek, lalu saya takut. Bagaimana kalau setelah pindah ternyata sama saja menderitanya? Saya belum pernah tinggal di ibu kota, tapi saya yakin pasti biaya hidup lebih mahal.
Apakah ini quarter life crisis? Apakah saya yang kebanyakan mikir? Apakah ini hanya cobaan sesaat? Susah amat sih jadi orang dewasa.
Tolong bantu saya yang buntu!
~Puspa
Jawab
Begini, Puspa. Langsung saja, Ya.
Pepatah barat mengatakan, Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life. Ini pepatah yang tampaknya memang indah, tapi sayangnya, tidak banyak orang yang beruntung untuk bisa mencintai pekerjaannya, atau segala hal yang menyertainya.
Yang namanya bekerja itu kodratnya memang harus ada penderitannya harus ada kepayahannya. Kalau nggak ada penderitaannya, itu namanya bukan bekerja, tapi melakukan hobi dan dibayar. Apalagi kerjanya di perantauan.
Nah, ukuran penderitaan dalam bekerja ini masing-masing tentu saja berbeda. Dalam kasusmu, penderitaan dalam pekerjaanmu adalah lingkungan tinggal Anda. Kamu merasa tidak betah tinggal di lingkungan yang menurutmu sangat tidak ideal.
Saya nggak tahu berapa gajimu bekerja di hotel di daerah yang kamu anggap nggunung itu, tapi yang jelas, itu adalah nilai yang harus kamu tebus untuk tinggal di lingkungan yang ternyata banyak celengnya itu.
Saran saya, hal yang penting untuk kamu pikirkan adalah menentukan prioritas. Maksudnya gini, kalau niat kamu kerja di Jepang memang untuk mengumpulkan uang untuk kemudian dibawa pulang agar bisa dibikin modal usaha, maka ya betah-betahin saja kerja di nggunung itu. Kamu harus bisa bersiasat. Nggak punya teman, ya carilah teman. Takut laper tengah malam, ya nyetok ramen instan atau roti atau bahan makanan lain. Sudah transportasi, ya coba beli sepeda. Pokoknya pikirkan bagaimana caranya bersiasat.
Jangan-jangan ketidakbetahanmu itu memang karena kamu belum bisa beradaptasi. Lha nyatanya orang-orang sana betah-betah saja kan? Kamu dan penduduk di sana kan yo tinggal di daerah yang sama, dengan bahasa yang sama, bahkan dengan risiko celeng yang sama. Bedanya, mereka lebih dulu beradaptasi dengan baik, sedangkan kamu belum.
Nah, kalau prioritas kamu ternyata adalah mencari pengalaman, atau bahkan ingin melanjutkan hidup di Jepang, atau malah pengin nikah sama orang Jepang sana, maka ya cari lingkungan yang kamu merasa hidupmu nyaman. Di Kota, misalnya.
Kalau ternyata biaya hidupnya jauh lebih mahal, ya wajar tho, itulah harga yang harus kamu tebus untuk kenyamanan itu. Harga yang harus kamu tebus untuk mendapatkan akses transportasi yang lebih mudah. Harga yang harus kamu tebus untuk menurunkan kekhawatiranmu akan dikejar celeng.
“Kalau setelah pindah di kota ternyata sama-sama menderita, gimana?”
Ya, itulah pilihan. Setidaknya Itulah konsekuensinya. Sama-sama menderita, tapi kalau ada temennya, kan lebih enak tho?
Satu hal yang pasti, menyesal karena sudah melakukan satu hal itu jauh lebih melegakan ketimbang menyesal karena tidak melakukan apa-apa.
~Agus Mulyadi