Renegade pernah menjadi serial televisi paling menarik di Indonesia. Terlebih setelah sekian lama kami anak bangsa yang alim dan baek-baek ini harus sabar melihat siaran televisi yang itu-itu saja, dari stasiun televisi yang cuma itu saja: TVRI.
Ya, dulu di awal tahun 90-an, hanya ada dua stasiun televisi yang mengudara. Waktu itu, acara yang dapat disebut hiburan hanya tayang pada hari minggu, selebihnya dikontrak negara untuk menyiarkan acara seremonial “kerajaan” Cendana dan laporan-laporan Punakawan pembantu raja. Hiburan yang disebut hiburan itupun hanya menghibur orang-orang dewasa saja. Deret nama agung legenda dangdut macam Mansyur S, Caca Handika, Elvi Sukaesih, Camelia Malik dan Bang Haji Rhoma Irama bergantian adu suara di layar kaca burem berbentuk kubus di rumah Pak RT—saat itu televisi di desa saya hanya ada di rumah-rumah tertentu saja, satu diantaranya rumah Pak RT.
Karena tak ada hiburan di rumah, kami para bocah malah rajin bermain di luar rumah. Badan kami lebih sehat dibanding anak-anak zaman sekarang yang belum cukup umur sudah harus dibongkar duburnya karena keseringan duduk di depan PC. Tangan kami mahir menggulung benang layangan, bermain gasing, kelereng, dan menciptakan rupa-rupa bentuk dari bahan tanah liat. Tangan kami juga lincah menangkap macam-macam serangga, seperti jangkrik, gangsir, capung, dan kupu-kupu. Kaki-kaki kami kokoh menginjak tanah, untuk kemudian melompat tinggi-tinggi berebut cepat dengan anak lain menangkap layangan putus. Kami juga cekatan meraih dan menangkap jambu air milik tetangga tetangga.
Lalu dunia kami berubah. Lahir stasiun televisi baru bernama RCTI. Stasiun yang memihak kepada kami saat itu (sekarang tidak), bocah-bocah manis ini.
RCTI tidak hanya menanyangkan hiburan bagi orang dewasa saja, melainkan juga untuk kami bocah-bocah manis tahun 90-an. Film kartun yang benar-benar filem kartun mulai kami tonton rutin tiap minggu pagi—sebelumnya kami disuguhi film kartun untuk belajar bahasa asing. Kami ingat, kartun yang tayang habis subuh berjudul “Bayangan Merah”, disusul kemudian “Doraemon”. Karena itu, serial gambar gerak Doraemon kami daulat sebagai kartun tertua yang pernah mampir di benak kami. Tabik!
Sekira dua sampai tiga tahun setelah RCTI lahir, muncul stasiun televisi baru bernama SCTV. Sejak saat itu kami mulai menikmati tayangan televisi yang beragam. Mulai film kartun sampai film action bikinan Amerika, yang sebelumnya hanya bisa kami tonton di bioskop atau di video kaset pita bata punya Pak RT.
Salah satu film televisi yang kami tonton berjudul “Renegade”. Film ini dibintangi Rolenzo Lamaz, actor kece bertampang latin yang mempunyai partner etnis Indian. Film ini menjadi indikator larutnya kesan rasisme dari film-film Hollywood sebelumnya yang menganggap sebelah mata pribumi etnis Indian, bandingkan dengan film Cowboy tahun 70’an. Renegade menceritakan tentang seorang detektif swasta yang slengekan bertampag keren tapi berpenampilan ala kadarnya, kemeja flannel, celana belel, dan mengendarai motor Harley Davidson.
Gambaran manusia keren pada awal tahun 90-an diwakili oleh sosok lakon dalam filim ini. Rolenzo, dengan postur tinggi kekar, rambut gondrong, pembawaan slengekan, dan mengendarai motor besar, mewakili citra cowok keren pada zamannya. Jika Anda masih belum paham dengan apa yang saya maksud, Anda boleh mengintip video clip band rock tahun 90-an macam Bon Jovi, Guns & Roses, atau coba Anda cari Ari Sihasale muda di mesin pencari gambar, saat doi membintangi serial Ali Topan Anak Jalanan. Niscaya Anda paham yang saya maksud dengan “Cowok Kece taon 90-an”. Bhahaha….
Rupanya, gambaran manusia keren zaman ke zaman tidak lantas hilang ditelan waktu. Seperti para pecinta The Beatles dan Wak Kaji Roma Irama, mereka tetap asik membentuk cukuran rambut mirip poninya Lennon meski Lennon sudah lama wafat kena bedil , dan Roma Sang Raja dangdut itu, meski sudah jarang berdendang, tidak lantas menghentikan orang-orang untuk meniru gaya bicaranya yang berkarakter. Demikian pula penggemar citra keren masa silam macam tokoh rekaan dalam film Renegade, sebagian di antaranya para bikers Harley yang tempo hari ketimpa apes kena cegat pesepeda kota gudeg.
Sayang, selera tidak dapat dipaksakan. Kadang yang dianggap keren, malah kena cela karena waktu dan selera seringkali berubah. Mengendarai motor gede dulu dianggap keren dan gagah, bergaya macho mengenakan jaket kulit dan kaca mata hitam dianggap kece, sekarang berubah, yang lalu sudah dianggap kedaluwarsa.
Lihat saja di media, demam korea sudah mulai kabur berganti demam India, juga demam Turki, besoknya demam beneran.
Akan lain ceritanya jika kita bertanya kepada pemuda-pemuda yang rajin membaca tulisan-tulisan Gandhi, Soe Hok Gie, Leo Tolstoy, Rabindranath Tagore, dan Rumi, atau pemuda-pemuda tercerahkan di area Car Free Day (yang sayang lingkungan, kagum slogan Go-Green, takjub dengan seruan-seruan WALHI, peduli Orang Utan di seberang pulau, cermat memperhatikan perkembangan kontrak rugi Freeport, dan seterusnya), yang kesemuanya bertubuh ala kadarnya, jauh dari citra manusia keren tahun 90’an itu. Jika kita tanya kepada mereka, siapa pahlawan hari ini? Mereka, dengan air muka datar akan menjawab: “Elanto… Si Penghadang!”