Baca cerita sebelumnya di sini.
Meski tak sampai hati, saya harus bilang kalau manusia itu makhluk yang lucu sekali, lebih lucu dari sehelai daun petai cina yang diterbangkan angin sore, lalu tergeletak begitu saja di atas meja dapur. Diam dan kaku. Sungguh. Sehelai daun petai cina hanyalah sehelai daun petai cina—tak lebih daripada itu dan tak ada defenisi lain menyertainya.
Sementara, manusia adalah kebalikan dari apa yang mereka ucapkan: curang, merasa selalu paling benar, berlagak pintar padahal tololnya ampun-ampunan. Kau bisa sebut sendiri daftar panjang itu. Saya tak bakalan kaget kalau sekiranya ikan cupang, yang bertemperamen buruk dan suka naik darah itu, kepengin punah saja andai bergaul dengan manusia.
Saya yakin—oh, saya yakin sekali—saat membaca tulisan ini, setidaknya, dua dari sepuluh orang di antara kalian, buru-buru menyangkal dan menjawab dengan ujaran klise dan kampungan, yang barangkali sudah jadi pepatah lama: “Ini hanyalah masalah sudut pandang saja. Saudara tahu, seperti koin bersisi ganda—”
Sungguh pukimak, bukan?
Mohon dimaafkan bahasa saya. Saya belajar hal itu dari manusia. Hehehe.
Omong-omong, nama saya Charlie Parker, atau begitulah laki-laki plontos itu memanggil saya. Saat langit cerah dan perut saya keroncongan, saya mampir ke pasar ikan dan orang-orang di sana memanggil saya “kucing sialan”. Di sebuah bar yang tak jauh dari sini, nama saya menjadi Jim. Sesekali, kalau saya singgah di gerai kopi, orang-orang memanggil saya dengan panggilan yang membuat saya kepengin muntah: Kitty. Namun, apalah arti sebuah nama, seperti yang sering digumamkan laki-laki plontos itu (mantan istrinya memanggil dia Mas Har, jadi saya tak mau repot-repot mengganti namanya).
Umur saya enam tahun, saya tak begitu yakin. Barangkali hampir sama dengan manusia berusia 40-an. Hanya saja, saya tak pernah dilanda badai—manusia menyebutnya—krisis paruh baya. Saya lahir tanpa mengenal figur seorang ayah, sebagaimana semua kucing yang saya kenal, yang tentu saja saya tak peduli benar.
Ibu saya bernama Mimieux. Ia mati menjelang Magrib, tersedak tulang lele bakar. Rasanya sudah lama sekali, tapi saya masih ingat saya balas dendam ke pemilik warung pecel lele keesokan harinya dengan cara paling elegan yang pernah terpikirkan. Dengan hati terluka, saya sengaja buang tahi di atas meja ketika jam makan siang. Saat itu, pengunjung sedang ramai.
Dan begitulah. Saya tinggal dan tidur dari satu tempat ke tempat lain. Malam sekarang di bar atau di tempat Mas Har, malam besoknya di pasar ikan. Malam selanjutnya, kalau pikiran saya sedang jahil, saya tidur di kawasan lokalisasi dan begitu seterusnya, tergantung suasana hati. Namun, boleh dibilang, tempat tidur paling nyaman adalah di bawah gerobak dagang Haji Muhsin yang tinggal di Jalan Tiada Ujung.
Sebelum cerita ini kita lanjutkan, ada baiknya kita bersepakat dulu bahwa kalian tidak akan menyela apa pun yang akan saya katakan, atau dengan ego tersentil bilang, “Sejak kapan kucing bisa bicara?” apalagi menghubungkannya dengan tanda kebesaran Tuhan. Saya kasih tahu, ya, kalian semua, manusia selalu saja merasa sebagai makhluk paling pintar—saya tak ingin mengulang hal ini sampai tiga kali.
Jika kalian setuju, silakan mengangguk. Andai mengangguk tak memungkinkan, katakanlah beberapa dari kalian mengalami patah tulang leher karena hal yang tak butuh disebutkan, kalian cukup mengedipkan mata saja.
—Ketololan manusia nomor 18.
Kebiasaan saya tidur dan berpindah tempat berakhir ketika Mas Har ditinggal mantan istrinya (mereka belum resmi bercerai, tapi kita sebut saja “mantan istri”). Penyebabnya bersandar pada dua hal.
Alasan pertama lebih kepada perhatian Mas Har pada saya. Ia tak pernah telat memberi makan, meski saya bisa cari makan sendiri, dan selalu memandikan saya sekali seminggu. Saya kucing gemuk dengan bulu cokelat yang berkilau.
Alasan kedua, Mas Har tampak sangat kesepian dan ia memang begitu. Saking kesepiannya, ia sering mengajak saya mengobrol. Sekali waktu, Mas Har bercerita. Katanya, setiap orang punya keanehan masing-masing. Quentin Tarantino, tukang bikin film itu, misalnya. Mas Har bilang ia seorang foot fetish. Mas Har sendiri mengaku kalau dia tergila-gila pada lesung pipi.
Di lain waktu, Mas Har bercerita tentang mantan istrinya. Dia bilang, istrinya kelewat cuek semenjak sibuk bekerja meski rasa sayangnya pada Mas Har tak berkurang. Mas Har meyakini, sebuah hubungan yang sehat perlu rasa saling percaya dan komunikasi selancar saluran air. Karena satu-dua hal, istrinya tiba-tiba jadi irit bicara dan perhatiannya pada Mas Har terkesan aneh. “Seperti basa-basi dan sekadar pelepas utang,” kata Mas Har. Saat itu saya menyadari, ternyata saluran air kadang kala bisa pampat juga.
Mas Har orangnya sensitif dan kelewat perasa. Dia terlalu memuja istrinya sehingga hal itu membuatnya remuk dan hancur dari dalam, tak terucapkan. Mereka akhirnya berpisah begitu saja setelah membagi buku-buku di perpustakaan mini yang mereka bangun, sementara rencana mereka membikin kebun kecil di belakang rumah tak pernah kesampaian.
Bukankah manusia itu lucu sekali?
—Ketololan manusia nomor 6.
Hubungan antara manusia dan manusia lain yang baru saja kenal malah jadi kian memusingkan. Kepala mereka dijejali dengan prasangka-prasangka yang tak perlu dan gengsi mereka kelewat tinggi. Ketidakpastian adalah kata yang tepat buat menggambarkan interaksi di antara mereka.
Mas Har dan Kalis, misalnya.
Saya tahu mereka saling tertarik. Namun, sepanjang hari itu, di loteng kamar, di atas kios sepatu, mereka terlalu banyak berbasa-basi, menonton film Chungking Ekspress hanya buat menyiratkan kalau mereka sama-sama terluka. Pendek kata, mereka berusaha membikin satu sama lain terkesan,
Kalian tahu, monyet gemar bersekongkol dan saling berbisik-bisik seolah mereka sedang menyusun rencana buat meruntuhkan sebuah rezim. Manusia sangat terobsesi buat merusak apa pun yang bisa mereka rusak. Kerbau tak pernah berhenti mengunyah. Ia akan mengunyah apa pun yang bisa ia kunyah. Saya rasa, dua-tiga puluh tahun lagi, mereka tak sungkan mengunyah ban mobil bekas, seperti bocah SD mengunyah permen karet—sampai geraham lelah. Dan ikan… mereka suka berenang. Sementara kami para kucing, mengantuk sepanjang waktu, kalau bisa tiga per empat hidup kami dihabiskan buat tidur saja.
Maka inilah yang bisa saya tangkap dari pembicaraan Kalis dan Mas Har di sela kantuk dan terjaga, sembari tidur-tiduran di atas tumpukan kardus sepatu.
“… mi ayam terenak yang pernah aku makan … keluaran Jepang, tapi orang Indonesia tahunya sepatu capung … bagaimana dengan motorku yang diparkir di depan bar? … mau gimana lagi, aku masih sayang … hacih, hacih … kata-kata penuh racun ke telinga ibu-ibu rumah tangga … di pasar dekat sini … masa sih? … handphone butut itu … aku tak tahu apa yang akan kukatakan pada ayahku … memang bangsat sih, berlagak anti kapitalis … hacih … bukan, yang warna merah itu … kenapa kau tertawa? …
“… hacih … membual di depan orang yang ia anggap lebih bodoh … you want Chicago, I give Chicago … dia seorang janitor, di mananya aku lupa … hacih … tahi, dikibuli tukang parkir … mengulang-ulang narasi besar yang sama tentang paham eksistensialis … nah, benar yang itu … indah sekali dan bias-bias cahaya … 212 … habis dihajar orang kate … seakan tak ada lagi hari esok … rasanya sudah di ujung lidah … hacih … menasehati kecambah … sifilis atau ayan, ya? … aku tahu dia dari majalah musik … jam setengah lima … hacih, hacih, hacih … tidak juga sih … Let’s Get It On-nya Marvin Gaye lagu terbaik sepanjang masa… mengencingi sumur zam-zam … mengerjakan ini dan itu meski dia lebih banyak mengerjakan ‘itu’-nya ….”
Kalian bisa membayangkan betapa menjengkelkannya tingkah mereka, setidaknya buat saya. Bagaimanapun, saya merasa sudah mampu memahami lagak dan perangai manusia (ingat, umur saya setara umur kalian 40-an?), dan bisa dibilang, pengalaman saya sudah lebih banyak daripada yang bisa kalian jejalkan ke burit gajah Sri Lanka.
Melihat Kalis dan Mas Har bikin saya geram sendiri. Mereka saling memuji, menyentuh ujung jari seolah tak sengaja, berbicara sembari menatap langsung ke mata, tersipu malu, saling mengikuti gerakan kecil yang mereka lakukan, semisal menopang dagu, dan melakukan semua hal yang menyiratkan mereka saling menyukai.
Namun, mereka terlalu meruwetkan hal-hal yang sebenarnya bisa saja kelar dengan sekali kentut. Bangsat betul! Kenapa mereka tidak bilang saja saling menyukai dan saling tertarik dan merasa nyaman, habis itu mereka bisa bercinta sampai mati?
Seandainya saja saya bisa, saya sudah menghampiri turn table, memilih piringan hitam, dan selanjutnya The Kinks (mereka barangkali jenis manusia yang hampir mendekati masuk akal dan tidak tolol), akan memecahkan masalah mereka.
You and me were free/ We do as we please, yeah/ From morning, till the end of the day/ Till the end of the day.
Bukankah manusia itu lucu sekali?
Baca cerita berikutnya di sini.