Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Anak Saya Lahir di Paris Justru Bikin Saya Ngeh kalau Kita Suka Inferior sebagai Orang Indonesia

Bachtiar W. Mutaqin oleh Bachtiar W. Mutaqin
21 Mei 2021
A A
Anak Saya Lahir di Paris Justru Bikin Saya Ngeh kalau Kita Suka Inferior sebagai Orang Indonesia

Anak Saya Lahir di Paris Justru Bikin Saya Ngeh kalau Kita Suka Inferior sebagai Orang Indonesia

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Begitu kenalan saya pada tahu kalau anak saya kelahiran Paris, reaksi mereka jadi beda ketimbang sama anak teman lain yang lahirnya di Demak Ijo.

Anak saya dua-duanya lahir di Eropa. Lahir di rumah sakit yang sama, cuma beda kamar bersalin saja. Tepatnya di Saint-Cloud, salah satu kota termakmur di barat daya kota Paris, Prancis.

Kalau kalian pernah dengar nama Marine Le Pen. Nah, pas musim mudik Natal beliau dapat dipastikan akan berkunjung ke Saint-Cloud, ke rumah bapaknya yaitu Jean-Marie Le Pen.

Mengetahui kedua anak saya lahir di Prancis, ada beberapa respons dan komentar dari kenalan maupun keluarga besar yang membuat saya mbatin, “Halah apaan sih?”

Mulai dari yang membahas tentang anak kami sebagai bayi bule maupun tentang betapa bangganya kami nanti sebagai orang tua karena akta dan KTP anak akan tertulis “Paris” sebagai tempat kelahiran.

Bahkan ada juga yang justru melayangkan protes karena nama kedua anak kami sangat nJawani, ndak ada unsur Prancisnya sama sekali. Lah, pitikih?

Gini lho sobat, emangnya kalau akta lahir atau KTP-nya tertulis Paris njuk kastanya lebih tinggi dari yang tulisannya Banyumas atau Sleman gitu? Terus otomatis dapat privilese pas ndaftar sekolah atau kerjaan gitu?

Kan ya ndak to? Pol mentok paling cuma ditanyain dulu ngapain kok bisa lahir di Paris? Udah. Sisanya? Ya nggak bakal peduli-peduli amat juga.

Lagian ngapain juga ngasih nama anak aneh-aneh. Masa iya nama “Nur”, misalnya, biar kelihatan kelahiran Prancis terus diganti jadi “Lumière”? Yang ada sih nanti diplesetin jadi “lumer” sama temen-temennya di desa atau sekolahan.

Gimana dengan nama lain seperti Jean-Christophe, Louise, atau Clément yang Prancis banget? Yaelah, selain ngrepotin kakek nenek sama teman-temannya pas manggil namanya, kami udah kebayang gimana ribetnya ntar masalah administrasi di tempat tinggal kami di Sleman.

Pengalaman tersebut membuat saya merenung, ternyata pada era empat titik nol seperti sekarang pun, kita dapat dengan mudah menjumpai khalayak yang masih suka minder dengan segala hal yang berasal dari—atau minimal—berbau-bau luar negeri.

Menganggap bahwa segala sesuatu yang berasal dari luar Indonesia, seperti Eropa, Amerika, Arab, atau Australia, itu pasti lebih bagus dibandingkan dengan produk atau buatan lokal. Biar-bingung-asal-British, gitu kalau kata Mas Krisyanto, vokalis Jamrud.

Terkait hal ini saya juga punya cerita bagaimana kita sebagai orang Indonesia nggak perlu inferior banget sebagai warga dunia.

Tahun 2014 saya berkunjung ke Rio de Janeiro dan mampir ke Estádio do Maracanã. Stadion yang menjadi markas klub Flamengo dan Fluminense, dan juga tempat perhelatan final Piala Dunia FIFA 2014.

Iklan

Setelah mengelilingi stadion, di pintu keluar saya mampir ke tempat oleh-oleh. Ada kostum sepak bola tim nasional Brasil, pas saya cek lho kok tulisannya buatan Indonesia.

Kejadian yang sama juga saya alami sewaktu berkunjung ke markas Paris Saint Germain di Paris dan Lazio di Roma. Ya ngapain juga saya beli di situ, mending langsung ke pengrajinnya di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah ini adalah salah satu dampak dari doktrin dan narasi “dijajah” Belanda selama 350 tahun yang selalu didengungkan semenjak dini? Sehingga secara tidak sadar membentuk mental kita menjadi inferior? Minder ketika melihat makhluk yang lebih putih, lebih mancung, atau lebih fasih berbahasa asing?

Saya coba berikan contoh mental inferior skala kecil yang kadang tidak disadari. Misalnya dengan menyebut negara-negara yang berada di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia sebagai negara Timur Tengah (Middle East).

Istilah Timur Tengah itu sangat Eropasentris. Kita ini hidup di Indonesia, seharusnya tidak ikut-ikutan menyebut Arab Saudi, Bahrain, Irak, atau Iran sebagai negara Timur Tengah. Lha wong mereka ada di sebelah barat Indonesia kok. Coba dibuka itu peta dunia kalau ndak percaya.

Rasa rendah diri tersebut menurut saya juga diperparah dengan rapuhnya iman kebangsaan kita sebagai orang Indonesia. Hal yang satu ini saya kira salah satunya dapat dipengaruhi oleh semakin meningkatnya kadar keimanan kita sebagai umat beragama.

Sebagai orang beriman, alih-alih mengucapkan “semoga lekas sembuh”, kita lebih suka menyampaikan syafakallah atau syafakillah. Mengganti “semoga selamat sampai tujuan” dengan fii amanillah, ‘terima kasih’ dengan jazakumullah khairan, dan masih banyak contoh lainnya.

Ndak salah kok dengan itu, hanya saja hal itu merepresentasikan kalau kita inferior dengan bahasa kita sendiri—bahkan ketika berdialog dengan Dzat yang paling intim. Seolah-olah Gusti Pangeran ndak bakal mudeng kita berdoa dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah.

Eits, bentar, jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa saya menganut paham chauvinisme ataupun malah menuduh saya sebagai penista agama. Plis deh, kebiasaan banget.

Gini lho, saya kasih tahu ya. Saya ini bukan tipe orang yang nggumunan alias mudah kagum. Empat tahun tinggal di Paris, puluhan kali ditugaskan ke luar negeri, dan bertemu dengan berbagai macam golongan tentu saja membuat saya bangga, tapi bukan karena ada unsur luar negerinya lho ya.

Saya bangga karena saya mampu untuk berjalan dengan dada membusung sebagai orang Indonesia.

Bukan, ini bukan karena sifat saya yang pada dasarnya memang sombong. Tapi gimana ya, lha wong kenyataannya kondisi di Indonesia itu ndak selalu lebih buruk kok.

Bahkan pada beberapa hal menurut saya malah seharusnya membuat kita bersyukur terlahir sebagai WNI.

Salah satu yang saya amati adalah belum ada yang mampu mengalahkan rasa percaya diri dan optimisme orang Indonesia dalam menghadapi kerasnya kehidupan.

Di Prancis, semuanya harus punya asuransi. Rumah, mobil, kesehatan, anak usia sekolah, aktivitas olahraga, bahkan hewan peliharaan juga ada asuransinya.

Tetangga apartemen saya, seorang penulis berkebangsaan Prancis, punya kucing dan ada asuransinya. Jadi tiap kali kucingnya berkelahi hingga terluka dan cedera, biaya pengobatan di klinik sudah ditanggung oleh asuransi.

Urusan olahraga juga begitu. Pada laga sepak bola perdana saya dengan teman-teman kantor, saya ditegur karena permainan yang keras menjurus kasar.

Maklum, kemampuan bermain bola saya yang pas-pasan tentunya harus diimbangi dengan “kemampuan” lainnya. Rupa-rupanya mereka takut cedera dan ndak punya asuransi untuk aktivitas olahraga. Ealah.

Saya jadi ingat salah satu cerita Cak Nun tentang betapa luar biasanya Indonesia. Bagaimana jutaan keluarga mampu bertahan hidup tanpa rasionalitas ekonomi. Gaji pas-pasan atau bahkan di bawah UMR tapi berani menikah njuk langsung kredit kendaraan.

Sangat percaya diri dan optimis.

Modalnya cuma premis begini: mending dipikir karo mlaku, ketimbang mikir ra mlaku-mlaku mung dadi tambah ngelu (lebih baik dipikir sambil dikerjakan, daripada dipikir tapi nggak dikerjakan dan cuma bikin tambah pusing).

Hal-hal santai dan rileks kayak gitu apa pernah ditemui di negara-negara yang membuat kita warga Indonesia minder? Babar blas nggak.

Mereka terlalu rigid dan menganggap kehidupan ini bisa dikontrol sepenuhnya. Hal yang justu bikin rasa kecewa dan tingkat stres mereka jauh lebih tinggi jika terjadi kegagalan atau ada hal di luar rencana.

Sangat beda dengan kita yang memang tak pernah punya rencana-rencana amat akan kehidupan ini, sehingga bikin kita jadi warga dunia paling selo, setidaknya segalaksi Bima Sakti ini. Kandyani og.

BACA JUGA 5 Keunggulan Bangsa Indonesia yang Tidak Dimiliki Bangsa Lainnya dan tulisan dari Bachtiar W. Mutaqin lainnya.

Terakhir diperbarui pada 21 Mei 2021 oleh

Tags: anak lahirasuransiCak Nunchauvinismeinferiorluar negeriParisTimur tengah
Bachtiar W. Mutaqin

Bachtiar W. Mutaqin

Bapak-bapak yang jadi guru Geografi di Bulaksumur.

Artikel Terkait

Cak Nun dan Komunitas Maiyah: Ruang Belajar dan Harapan yang Tak Pernah Padam | Semenjana Eps. 13
Video

Cak Nun dan Komunitas Maiyah: Ruang Belajar dan Harapan yang Tak Pernah Padam | Semenjana Eps. 13

12 Mei 2025
Bashar Al Assad Minggat, Suriah Dikuasai Alumni Al Qaeda MOJOK.CO
Esai

Ketika Alumni Al Qaeda Memimpin Pemberontakan terhadap Bashar Al Assad di Suriah dan Mereka Menang

10 Desember 2024
Demo di Jogja Kawal Putusan MK, Bukti Ucapan Cak Nun Tentang Jokowi Ternyata Benar MOJOK.CO
Aktual

Ternyata Cak Nun Benar Perihal Jokowi Firaun

22 Agustus 2024
Orde Baru Larang Jilbab, Cak Nun Lawan dengan Lautan Jilbab
Video

Orde Baru Larang Jilbab, Cak Nun Lawan dengan Lautan Jilbab

30 Juli 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.