MOJOK.CO – Patrich Wanggai hanya satu korban, di mana saya yakin korban lainnya akan segera muncul dan Piala Menpora hanya salah satu pendengung saja.
Miftakhul Mifta, jurnalis senior dan penulis buku Mencintai Sepak bola Indonesia Meski Kusut menyampaikan keprihatinannya lewat akun Twitter pribadi ketika Piala Menpora bergulir. Mas Fim, biasa kami para juniornya menyapa, mengingatkan kita untuk menjaga gelaran sepak bola yang mulai menggelinding lagi.
“Tidak ada kompetisi sepak bola marah-marah. Giliran ada pertandingan, tapi tidak menjaganya. Hembok bersama-sama menjaga situasi. Bola yang sudah menggelinding ini jangan sampat berhenti lagi. Hembok bersama-sama membuktikan kalau sepak bola layak diberi kesempatan beradaptasi.” Demikian Mas Fim menulis.
Saya tidak tahu cuitan ini ditujukan kepada siapa. Namun, jika diizinkan menafsir, petuah itu dialamatkan kepada kita semua. Kepada suporter yang terlalu terbiasa berekspektasi terlalu tinggi. Kepada supoter yang terjebak di antara kegairahan dan ingatan akan makian. Kalau sudah urusan makian, tentu kita sedang membicarakan serangan rasial kepada Patrich Wanggai di tengah gelaran Piala Menpora.
Sepak bola Indonesia dan Piala Menpora akan selalu bergairah. Terlepas dari PSSI yang waras atau tidak, kompetisi yang profesional atau tidak, atau suporter bersumbu pendek atau lebih bijak. Sepak bola Indonesia bukan sekadar tontotan, tetapi sudah masuk dalam ranah cinta. Dan di dalam cinta, terperam kebencian kepada pihak berlawanan. Selalu begitu.
Sejarah sepak bola Indonesia adalah sejarah akan “kekerasan”, bukan prestasi. Tolong dipahami bahwa saya menyematkan tanda kutip di antara kata kekerasan. Dan stadion menjadi semacam sasana di mana kebencian itu dipupuk secara masif. Dan di antara kebencian itu, ada makian yang menjadi katarsis.
Yoga Cholanda, dalam tulisannya di Fandom berjudul “Patrich Wanggai dan Tak Ada Ruang Debat dalam Melawan Rasisme” menegaskan bahwa serangan rasial sudah terjadi sejak dulu.
“Hal-hal semacam ini sudah tertanam jauh di alam bawah sadar sampai-sampai kita tak lagi menyadari bahwa itu tak bisa dibenarkan. Inilah mengapa rasisme itu berbahaya. Efeknya tidak akan langsung muncul (slow burn). Ketika kita mengajari anak-anak kita untuk tidak menyukai golongan tertentu, mereka tidak akan langsung berbuat sesuatu,” tulis Yoga.
“Mulanya anak-anak kita akan memandang dari kejauhan seraya mencari bukti dan pembenaran dari apa yang kita ajarkan. Lalu ketika mereka telah dewasa, segalanya sudah terlambat. Mereka akan menjadi pembenci yang bakal menormalisasi kebencian dan kekerasan. Ketika rasisme tertanam dalam diri seseorang, mendehumanisasi para liyan akan jadi sesuatu yang sangat mudah. Para liyan itu akan dipandang sebagai manusia-manusia yang “levelnya” ada di bawah kita, dan dengan demikian, kita berhak menindas mereka. Apa ini yang ingin kita wariskan ke anak cucu?” Lanjutnya.
Kalimat Yoga tepat sasaran. Namun, di satu sisi, dia membuat kesalahan. Mas Yoga, kamu tak perlu mempertanyakan apakah kejahatan yang terjadi di Piala Menpora ini akan kita wariskan ke anak cucu? Karena pada kenyataannya, kebencian itu sudah sukses diwariskan dan akan terus langgeng selama manusia masih ada di muka bumi.
Piala Menpora cuma sebuah “panggung yang lain”. Serangan kepada Patrich Wanggai “yang lain” akan terus terjadi. Saya yakin kita punya kesadaran yang sama bahwa ketika kasus serangan rasial kepada Patrich Wanggai, keramaian itu hanya terjadi di media.
Polisi siber, mohon maaf, saya pesimis punya kekuatan untuk turun dan memberikan “semacam keadilan”. PSSI? Sudah sibuk menjaga kewarasan kompetisi Piala Menpora. Jangan bebani federasi yang tunggang-langgang dan susah payah hanya untuk menggelar sebuah kompetisi pra-musim.
Apakah PSSI berani menjatuhkan sanksi kepada suporter yang menyerang Patrich Wanggai di tengah gelaran Piala Menpora ini? Chelsea pernah menjatuhkan sanksi kepada suporternya yang terbukti rasis. PSSI berani?
Keraguan di dalam hati saya bukan tanpa alasan. Dulu, ketika masih kanak, ujaran kebencian dan makian rasis sudah menjadi “barang yang biasa” saja ketika mengunjungi stadion. Sebuah sanctuary di mana sepak bola seharusnya dirayakan dengan gembira itu.
Mereka yang lebih tua tidak memberikan pelajaran yang baik kepada generasi muda. Mereka menirukan suara monyet ketika pemain dari Papua tengah menggiring bola. Bukan hanya tiruan suara, beberapa orang tua malah menjadikan mereka bahan olokan. “Wah, ada monyet main bola.”
Situasi jahat itu terus berdengung di kepala saja yang masih penuh oleh film kartun dan kebahagiaan yang meluap karena bisa datang ke stadion. Saya menelan kalimat jahat itu sebagai sebuah olok-olok belaka. Sesuatu yang terperam lama itu berubah menjadi kebiasaan.
Kini, generasi muda yang sejak kanak dijejali makian dan kebencian terhadap liyan menggaungkan kejahatan yang sama di Piala Menpora ini. Mereka memberikan contoh kepada generasi selanjutnya. Persis seperti ketika belajar membenci tanpa mereka sadari.
Awalnya belajar memaki, membenci, lalu menyerap segala dendam menjemukan itu. Terjadilah aksi baku hantam dan saling membunuh di antara suporter. Sama seperti kekerasan, di tengah suporter, terjadi juga aksi mewariskan dendam. Masalah ini belum terurai dan kita semua cenderung malas untuk mengurainya.
Siapa yang mau bekerja keras membuka jalan damai atau mengajarkan bahwa memelihara dendam itu tidak sehat? Omong kosong. Toh lebih enak membenci ketimbang mengasihi. Membenci tidak menuntutmu untuk berpikir terlalu keras, sementara mengasihi menuntut jiwa-jiwa dewasa yang didapat dari proses berpikir. Terkadang, lebih mudah untuk membunuh daripada berpikir.
Ini kenyataan dan tantangan kita bersama. Bukan tanggung jawab federasi dan polisi siber saja. Hanya edukasi secara masif di akar rumput yang bisa perlahan mengikis ingatan akan makian dan dendam itu. Patrich Wanggai “yang lain” masih akan terjadi dan Piala Menpora hanya salah satu pendengung saja.
Kamu merasa terganggu dengan tulisan ini? Bagus. Karena dengan begitu, kamu sadar bahwa kejahatan di sepak bola memang ada. Meski terkadang tidak kamu malas mengakuinya.
BACA JUGA Piala Menpora, Kabar Baik dengan Tumbal Nyawa? dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.