MOJOK.CO – Transisi menyakitkan bagi Arsenal, Barcelona, dan Manchester United karena mereka lalai. Seperti melupakan bahwa pemain akan datang dan pergi, tetapi klub akan selalu ada selamanya.
Well, memang, nggak selalu. Atau, nggak semua klub merasakannya. Namun, perlu kamu pikirkan, ketika banyak tim besar yang selalu menderita ketika melewati masa-masa transisi. Baik ketika mereka berganti pelatih atau dalam proses mengintegrasikan generasi baru ke dalam skuat yang semakin menua.
Barcelona semakin terekspose hari-hari ini. Mereka kehilangan vitalitas di atas lapangan. Para pemain senior mudah sekali kehilangan konsentrasi. Kontrol, yang menjadi kekuatan Barcelona, mudah sekali lenyap. Padahal, tanpa kontrol laga, Barcelona masa kini tidak punya energi untuk “mengejar lawan”.
Gerard Pique, Jordi Alba, Sergio Busquets, Luis Suarez, dan Lionel Messi bukan lagi pemain lima tahun yang lalu. Kaki-kaki mereka sudah semakin berat. Ditambah sistem dari Valverde yang justru membuat susah para pemain senior. Akun Total Barca, salah satu akun lawas basis fans Barcelona menyebut tim kesayangannya dengan istilah: sekumpulan pensiunan.
Singkat kata, Barcelona gagal mengintegrasikan generasi baru ke dalam skuat mereka. Todibo, yang lebih bertenaga dan segar ketimbang Pique akan dilego ke AC Milan. Carles Alena, yang punya kemampuan melakukan penetrasi ke wilayah lawan menggunakan giringan sudah dikirim ke Real Betis.
Valverde memang bukan Frank Rijkaard atau Pep Guardiola yang sukses mengintegrasikan generasi baru. Namun, setidaknya, Valverde pelatih kawakan yang cukup pengalaman untuk mengidentifikasi bahwa pemain seniornya sudah perlu ditemani. Tentu saja, ditemani menuju masa-masa pensiun dan mempersilakan pemain muda untuk bermain.
Masalah kebijakan dan komposisi skuat juga dialami Manchester United. Pun juga Arsenal, yang kini tengah membangun pijakan baru bersama Mikel Arteta. Manchester United percaya betul kepada Ole Gunnar Solskjaer. Namun, manajemen tidak mengimbangi kerja Ole dengan membeli pemain yang dibutuhkan.
Musim panas yang lalu, misalnya, Manchester United gagal mendatangkan gelandang serang atau yang bisa kita sebut sebagai pemain #10. Atau, kalau memang begitu sulit, Manchester United seharusnya mendatangkan gelandang yang bisa membawa bola ke wilayah lawan. melakukan penetrasi.
Manchester United dikabarkan pernah mendekati Bruno Fernandes, gelandang kreatif Sporting CP. Namun, negosiasi berjalan begitu lambat. Hanya ada kegagalan di ujung jalan. Januari 2020 ini, selain striker, Manchester United seharusnya paham kalau lini tengah tidak mungkin dipasrahkan kepada Fred dan Scott McTominay saja.
Bicara transisi Manchester United, biasanya narasi akan digiring ke suksesor Sir Alex Ferguson. Transisi penuh rasa perih itu melewati David Moyes, Louis van Gaal, dan Jose Mourinho. Ada Ryan Giggs di antara pelatih-pelatih itu. Namun, sampai ke masa Ole Gunnar, transisi dengan wajah Sir Alex tidak pernah hilang.
Arsenal sama saja. Siapa pun yang melatih, rasa Arsene Wenger tidak pernah hilang dari lidah. Kombinasikan dengan manajemen yang keberadaannya “terlalu besar”, maka kegagalan yang akan menyapa.
Dulu, Unai Emery pernah meminta manajemen untuk membeli pemain yang bisa cepat beradaptasi. Dia butuh pemain yang tidak memberinya kesulitan. Maka, nama Wilfried Zaha yang muncul. Memang, Zaha adalah salah satu pemain overpriced di Inggris. Alih-alih mengusakan Zaha, manajemen membelikan Nicolas Pepe.
Selain Zaha, Emery juga minta dibelikan Thomas Partey dan Harry Maguire. Manajemen Arsenal memang membelikan Emery seorang bek. Namun dia bernama David Luiz. Maguire memang tampil tidak konsisten bersama Manchester United. Namun, di tangan pelatih berbeda, siapa tahu Maguire memang bisa bagus dan konsisten.
Inti dari kekisruhan Arsenal itu adalah tidak adanya kesesuaian visi antara pelatih dan manajemen. Bagaimana Arsenal bisa tampil baik kalau pelatih tidak dibelikan pemain yang sesuai? Masalah ini terjadi juga kepada Barcelona ketika Valverde tidak pernah meminta manajemen membeli Antoine Griezmann.
Lho, bukannya masalah itu tidak hanya dirasakan Arsenal dan Barcelona, tetapi Manchester United juga? Benar sekali. Sekali pelatih tidak mendapatkan kepercayaan penuh dari manajemen, sangat sulit melihat klub itu bisa bertarung di papan atas dalam waktu lama.
Barcelona sudah menunjukkan tren penurunan performa sejak musim lalu. Pertanda itu sudah terlihat sejak mereka kalah dramatis dari AS Roma, lalu Liverpool, di Liga Champions. Ketika Messi dan Suarez kehilangan sentuhannya, Barcelona juga kehilangan separuh nyawa.
Kebetulan lain dari kata “transisi” dari Arsenal, Barcelona, dan Manchester United adalah ketiganya memang selalu menderita di momen transisi. Sebuah momen paling berbahaya di sebuah pertandingan. Ketika sebuah tim sedang tidak berada dalam shape ideal, terutama saat transisi bertahan.
Total Barca menyebut Alvaro Morata, striker Atletico Madrid, menjadi seperti Usain Bolt. Morata tidak bisa dikejar Pique dan bek-bek lainnya. Sebuah pertanda, kombinasi kesalahan, antara sistem pelatih dan komposisi pemain.
Manchester United menderita betul di babak pertama melawan Manchester City ketika Bernardo Silva menjadi false 9 dan turun ke bawah. Transisi bertahan menjadi pekerjaan rumah juga bagi Arsenal. Situasi yang kerap membunuh mereka di masa kepelatihan Emery dan Ljungberg. Masalah Arsenal satu itu juga terlihat ketika kalah dari Chelsea.
Lagi-lagi, kombinasi sistem dan komposisi pemain. Tim-tim besar mudah terjebak dalam romantisme kejayaan lama. Membuat mereka seperti enggan berlari bersama zaman. Mereka asyik dengan sejarah dan diri sendiri. Padahal, di sekililing mereka, para rival semakin kuat dan penuh vitalitas.
Transisi selalu menyakitkan bagi tim besar karena mereka lalai. Seperti melupakan bahwa pemain akan datang dan pergi, tetapi klub akan selalu ada selamanya.
BACA JUGA Barcelona, Manchester United, Dan Arsenal Sudah Harus “Bekerja” Sejak Januari 2020 atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.