MOJOK.CO – Laga Manchester United vs Arsenal adalah soal Fred. Tentang kesalahan yang pasti terjadi di pertandingan, di kehidupan kamu masing-masing.
Bola sudah bergulir selama hampir satu menit ketika wasit meniup peluit. Tiba-tiba, Martin Atkinson yang bertugas malam itu memutuskan untuk menghentikan laga. Suara-suara dari ruang VAR menyarankannya untuk memberi penalti kepada Manchester United.
Fred dilanggar Martin Odegaard. Bersih. Penalti itu sah. Fans Arsenal tahu betul kalau itu penalti yang sah. Ode tidak menyenggol bola yang tengah dijaga Fred. Penalti untuk Manchester United, yang dieksekusi dengan mulus oleh siapa lagi kalau bukan Cristiano Ronaldo. Gol nomor 801. Dia memang bukan manusia. Sangat konsisten. Bahkan terlalu konsisten. Respect.
Peristiwa penghentian laga oleh Martin Atkinson ini sedikit membuat fans Arsenal berang. Pasalnya, di babak pertama, Tomiyasu dijatuhkan Maguire di dalam kotak penalti. Tidak ada peninjauan ulang dari VAR. Sangat kontras dengan keputusan wasit untuk Fred. Fans The Gunners sangat akbrab dengan kondisi ini. Memang begitulah nasib mereka, untuk dijadikan badut oleh barisan pengadil Liga Inggris.
Di sisi lain, fans Arsenal tidak bisa selalu menyalahkan wasit. It’s okay untuk protes dan mengeluh. Namun, untungnya, kesadaran itu datang dengan cepat. Sebagai tim tamu, yang sempat nyaman sekali di babak pertama dan unggul satu gol, The Gunners menyulitkan diri sendiri.
Celakanya, sikap ini ternyata by design. Kalau rajin memeriksa catatan di berbagai media sepak bola, pembaca akan menemukan kebiasaan Arsenal untuk menurunkan tempo, menggembok pertahanan serapat mungkin, dan menggantungkan nasib kepada serangan balik.
Kemenangan dramatis atas Tottenham Hotspur dan Leicester City didasarkan kepada kedisiplinan baris pertahanan. Mereka bisa menutup semua ruang penting dengan peragaan 4-4-2 narrow. Namun, Manchester United selalu punya seal breaker. Bukan karena cara bermain mereka yang fancy, tapi tim tamu sendiri yang suka menyiksa diri.
Manchester United bukan tim yang menyenangkan untuk ditonton saat ini. Tidak perlu protes seperti itu. Ingat, cara bermain akan selalu dimaafkan kalau pada akhirnya menang. Lagipula, orang nggak akan susah payah menghabiskan ruang di otaknya untuk mengingat sebuah cara bermain payah. Orang akan mengingat Manchester United mengalahkan Arsenal. Sudah. Itu saja.
Makanya, ini sebuah tamparan paling ultimate untuk Mikel Arteta dan anak-anak asuhnya. Orang bilang skuat Arsenal saat ini masih dalam tahap Work in Progress. WOP, kata seseorang yang saya dengar di sebuah diskusi hangat dan menyenangkan antara fans Manchester United dan Arsenal.
Ketika Arsenal melewati 10 laga tanpa terkalahkan, cara bermain negatif ini masih belum terekspose. Semua sayang pemain-pemain muda ini. Semua sayang Arteta. Namun, ketika Liverpool mengajari mereka cara membongkar pertahanan rapat, semuanya jadi bukan rahasia lagi.
Sepak bola itu, terkadang, seperti kotak ingatan yang menyebalkan. Kita semua pasti ingat betul. Tentang bencana ketika sebuah tim memberikan kontrol kepada lawan yang punya Cristiano Ronaldo. Entah dengan cara bagaimana, monster itu bisa menemukan jala lawan. Sebuah “kesaktian” yang tidak dimiliki Aubameyang, pemain senior Arsenal yang kembali mengecewakan.
Oleh sebab itu, akan sangat aneh ketika Mikel Arteta mempertahankan sikap seperti ini. Jika ambisi mereka memang sebesar arogansi Manchester United setiap musimnya, Arteta tidak akan lagi mengizinkan anak asuhnya menyerahkan kontrol kepada lawan.
Panas dan dingin. Kalah dan menang. Di sepak bola, keberimbangan itu ditentukan oleh aksi mikro, bahkan nano. Bagaimana pemain memosisikan diri ketika bertahan dari sepak pojok. Bagaimana cara gelandang melakukan coming from behind dengan timing paling pas. Dan lain sebagainya. Gerak mikro itu menentukan laga.
Untuk ini, kita semua sayang Fred. Gelandang yang bekerja sangat keras ketika Manchester United menahan Chelsea. Gelandang yang membuat Arsenal seperti badut ketika unggul 0-1. Unggul karena kesalahan Fred, yang secara tidak sengaja, mengganjal kaki David De Gea. Komikal.
Tak akan ada yang menyangka ketika Fred, yang komikal itu, akan membuat tiga asis. Bahkan empat kalau kamu menghitung gol Arsenal yang dicetak Emile Smith Rowe.
Asis Fred untuk Bruno itu buah pemikiran terbaik. Dia bisa melihat kompaksi 4-4-2 Arsenal tidak lagi ada. Dia masuk ke kotak penalti tanpa dikawal secara ideal. Cut back simpel yang dia lakukan itu mahak sekali harganya.
Lalu aksinya yang membuat Ode kehilangan akal sehat. Saya yakin Ode khawatir Fred akan segera melalukan cut back yang sama. Dia, yang kehilangan ketenangan, menjatuhkan diri untuk menggapai bola. Padahal, dalam posisi itu, yang perlu dilakukan Ode cukup menutup pandangan Fred ke gawang.
Namun, bayangan mengerikan yang dihadirkan Fred membuat Ode kehilangan akal sehat. Kehilangan sesuatu yang sebetulnya dirasakan semua pemain: akal sehat, lalu disusul ketenangan. Manchester United tahu kalau mereka punya kesempatan dari semua kesalahan. Fair play untuk tuan rumah.
Laga Manchester United vs Arsenal adalah soal Fred. Tentang kesalahan yang pasti terjadi di pertandingan, di kehidupan kamu masing-masing. Dan, yang terpenting bukan tenggelam dalam kesalahan dan penyesalan, tapi menemukan resolusi untuk bangkit.
Manchester United perlahan menemukan resolusi itu setelah berpisah dengan Ole. Arsenal, nampaknya masuk dalam turbulensi. Konyolnya, ini jenis turbulensi yang dirasakan dulu United. Ketika cara bermain mereka jadi mudah diantisipasi lawan, berbuah banyak blunder, dan kesulitan mendulang poin.
Memang, pada titik tertentu, Manchester United dan Arsenal seperti satu entitas yang berdiri di depan kaca. Kadang sama-sama brilian, lebih sering jadi badut. Kompak sekali. Seperti setan sedang bermain dengan meriam. Bahaya sekali untuk kesehatan masing-masing fans.
BACA JUGA Arsenal x Manchester United: Perlombaan Menjadi Pecundang Sejagat Raya dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.