MOJOK.CO – Belgia, oleh beberapa analis diprediksi bakal lolos ke semifinal. Namun, Italia masih menyimpan potensi yang belum sepenuhnya mekar. Seru.
Gusti Aditya: “Ayo, generasi emas Belgia! Tapi maaf, saya pasang judi buat Italia!”
Mbah Budi Windekind menghubungi saya. Dia pesan tulisan perihal Belgia untuk Fandom.id. Tulisannya berjudul “Belgia dan Kesempatan Terakhir Generasi Emasnya” dan sudah tayang itu, sejatinya, saya siapkan untuk ulasan laga di partai final Euro 2020 untuk Mojok. Yah, percaya diri aja dulu, kalau kalah ya tinggal left group.
Sejak tahu bakal sua Italia di babak perempat final, nyali saya ciut juga. Tabungan naskah saya, kayaknya harus dikeluarkan sesegera mungkin, mbok menowo Belgia kalah, saya nggak menyesal nahan-nahan naskah.
Maklum, sejak fase grup, sebagai pundit Belgia, saya terlalu banyak jemawa. Lha gimana nggak jemawa, lawannya stim gurem macam Finlandia, jagoannya Iqbal AR.
Tapi Belgia nahas betul di fase gugur. Mereka kudu melewati tim-tim kuat macam Portugal sebagai juara bertahan, sekarang Italia. Ibarat libido, Italia sedang naik-naiknya. Kalau lancar, bisa saja sua Spanyol di semifinal. Itu pun semisal Spanyol nggak mendadak oleng.
Tulisan saya di Fandom.id tentang Belgia tentu berbeda dengan yang akan saya bahas di sini. Tapi, ada kesinambungan yang amat penting, ini perihal generasi emas Belgia yang sejatinya—makin lama—emasnya nggak berkilau-kilau amat alias pudar dimakan usia.
Di tulisan yang tayang di Fandom.id saya punya asumsi bahwa Euro 2020 adalah pembuktian terakhir bagi generasi emasnya Belgia. Kebanyakan dari mereka sudah masuk usia matang dengan rataan 28,7 tahun. Paling tua di ajang ini bersama Swedia. Generasi emas ini sudah mengoleksi lebih dari 1300 laga internasional. Bisa dibilang, paling berpengalaman di Euro 2020.
Semisal menanti Piala Dunia di Qatar atau Euro edisi berikutnya, bisa saja badan Eden Hazard sudah menyamai tubuh sintal Doraemon alias makin ginak-ginuk. Bisa juga Romelu Lukaku kembali khilaf gabung MU (Makedonia Utara hahaha). Di sepak bola, nggak ada yang tahu. Nasib sial selalu saja datang menunggu.
Namun kali ini, lawan Belgia adalah Italia. Sebagai pundit yang pengetahuan sepak bolanya cetek namun banyak bacotnya, saya dibilang takut sih enggak (lha wong di bursa taruhan saya masangnya Italia). Tapi ini kompetisi, di mana juaranya kadang nggak terduga. Mau pakai mitos mbalik sempak pun tetap saja Euro adalah panggung drama.
Tapi kalau mau main nalar, data, dan statistik ya jelas di atas kertas Italia bakal menang. Jujur saja, tanpa Eden Hazard dan De Bruyne yang masih diragukan, generasi emas Belgia hanya generasi emas yang karatnya nggak besar-besar amat.
Tentu penikmat Euro 2020, khususnya pembaca Mojok sekalian, ingin kejutan kembali tercipta. Siapa yang nggak ingin melihat B/R bikin ilustrasi Italia akhirnya tumbang setelah melewati 31 laga tanpa kalah di era Mancini. Siapa pula yang nggak ingin, koch yang bukan koch itu terus-menerus salah prediksi.
Bagi Belgia, ini merupakan panggung pembuktian bahwa generasi emas mereka bukan hanya sebatas blueprint tanpa prototype.
Sembari menyeruput cokelat panas khas Belgia, siapa tahu segigih apapun gladiator, bisa ditaklukkan dengan negosiasi dan kecerdasan retorik—pun taktik. Harapannya, sih, sesuai kata pepatah usang asal Mozambik, walau main ancur-ancuran, but when you lebokne 2 gol dan lawan gur lebokne 1 gol, you still win this game.
Alief Maulana: “Italia tak pernah gentar hadapi generasi emas Belgia.”
Label generasi emas Belgia itu berpengaruh ke banyak hal. Pertama, sudah tentu ke diri mereka sendiri sebagai tambahan beban di setiap kompetisi. Hal ini sudah terbukti di Euro 2016 dan Piala Dunia 2018. Mereka selalu tak maksimal di fase paling krusial.
Kedua, sebagai pundit Italia, saya merasa agak khawatir juga. Meskipun mental mereka tidak sepenuhnya kokoh, komposisi skuat Setan Merah ini sangat berbahaya. Pemain-pemain yang masuk 11 pemain utama, minus De Bruyne dan Hazard yang kemungkinan absen, masih sangat berkualitas. Makanya, banyak negara besar enggan ketemu Belgia sebelum laga final.
Namun, Italia sendiri sudah terbiasa berada dalam tekanan. Ingat, di bawah Mancini, mereka mencatatkan 39 laga nir kalah. Jangan salah, catatan ini juga beban, lho. Mempertahankan itu lebih sulit ketimbang meraih. Dan, sampai detik ini, skuat Italia selalu sukses keluar dari tekanan dan tidak kalah.
Untuk Euro 2020 kali ini, saya agak optimis Italia mampu mengalahkan siapa saja. Syaratnya cuma satu, yaitu konsistensi tidak buyar. Sebelas pemain utama, plus pemain cadangan punya kualitas yang merata. Federico Chiesa, bisa menggantikan Berardi atau Insigne. Verratti, punya Locatelli sebagai alternatif.
Kondisi ini membuat saya terbayang skuat Italia di Piala Dunia 2006. Saat itu, Marcelo Lippi sangat leluasa memilih pemain untuk 11 utama. Mereka yang dipilih mempu memberikan yang terbaik. Perpaduan nama besar dan kualitas yang merata.
Oya, satu lagi tekanan mampir di pundak timnas Italia. Setelah Prancis dan Jerman kandas, Italia menjadi salah satu favorit. Bersama Inggris dan Spanyol, mereka diprediksi akan sampai di laga puncak. ‘
Saya, sih, yakin tim ini akan mekar di bawah tekanan. Perpaduan skuat tua-muda Italia saat ini masih belum mengeluarkan kemampuan terbaik mereka. Dan, sekali lagi, syaratnya nggak seribet daftar CPNS di Indonesia, kok. Kalau bisa konsisten, Gli Azzurri bakal sulit dihentikan.
BACA JUGA Spanyol Bakal Perankan Tokoh Antagonis dan Membungkan ‘Fairy tale’ Swiss di Euro 2020 dan ulasan Euro 2020 lainnya.